
Kondisi tubuh Joanna mulai rimpuk. Terkuras gaya pendakian sang pria yang non-stop itu.
Debu membuncah hebat di sebuah pendakian kemarau, sungguh terik nian. Bulir mikroskopis semburat oleh tapak-tapak berat. Sepatu bersol kekar itu terus menggerusnya. Pantulan baur gagah berpendarkan cahaya. Hingga redupnya sela-sela semak sedikit benderang.
Remangnya berjibaku yakinkan gadis itu, si Joanna, bahwa tidak ada sosok bersembunyi di sela semak. Harap maklum, dia belum terbiasa keramahan semak subalpin Rinjani.
Pojok nakal pikirannya terpaku asumsi hitam. Baginya, semak-semak di dataran rendah itu sering dipakai mesum.
Koyaklah kenangan legam di Kota Singa setahun lalu. Matanya nanar teringat goyangan semak membuntuti setiap letup erotisnya.
Sungguh paradoks saat itu, dompetnya penuh kartu sakti yang bisa sekali gesek bungkam nominal yang tersodor. Cukup untuk membayar pergumulan panas di hotel bintang lima.
Wujud di depannya divonis kejam oleh Joanna. Gerombol hijau daun itu tak berdosa, kini tertuduh bersekongkol. Telah terdakwah sebagai tameng aksi bejat. Sekompak partner of crime di Kota Singa yang dulu itu.
Joanna merundungnya tanpa alasan yang jelas, “Hai, kau sarang persembunyian makhluk jahat!” Ia menuduhnya sejahat pencoleng tanah pendudukan yang bersembunyi di balik rimbun pohon Gharqad.
“Ada apa Joanna?” tanya si pria.
“Gak ada ternyata!”
“Memangnya?”
“Makhluk itu.”
“Apa mungkin makhluk endemik bermigrasi?”
“Bisa jadi.”
“Wah!”
“Sudahlah.”
Pagi ini, di sebuah ketinggian beku yang tiada semak bergoyang. Lihatlah saja sejurus, batang dan rantingnya kokoh. Semarak berdaun hijau dan merah. Tebalnya berlapis lilin. Memperkokoh diamnya. Tidak bergoyang seperti dalam pikiran hitamnya.
Koloni cantigi purba sangatlah menawan. Hanya ditemui di puncak-puncak gunung tinggi. Rimbun dan kelok batang hitamnya memanglah melukis seringai seram. Tapi dia ramah. Dengarkanlah tulus hatinya. Riuh bermunajat di sisi eidelweis. Memohon kesucian tabiat dan habitatnya.
Begitu takutkah Joanna dengan ruang gelap dan semak yang Tuhan ciptakan? Niktofobia? Trauma asusila Kota Singa? Sekadar mencari alasan? Atau hanya bersilogisme tentang penciptaan makhluk ajaib?
Tiga hari yang lalu, sebelum berangkat, disimaknya kitab Ajaibul Makhluqot itu. Pria sanguinis nan serius itu telah membacakan untuknya.
Jadilah imaji liar yang kuat dan membekas. Tentang banal dan binalnya Gog Magog bertaring tajam. Mansak bertelinga lebar. Atau jelinya si Jasassah bak telik sandi. Terlebih si Nisnas, makhluk setengah kera yang sukanya mengendap-endap.
Sungguh ngeri pembacaan kitab itu. Membuatnya berhipotesis ekstrem. Sungguh miskin jika Joanna hanya bermodal teori migrasi distance-decay saja.
Mungkinkah telah terjadi migrasi besar-besaran makhluk unik endemik itu? Atau malah sudah mewabah pandemik? Samakah dengan migrasi manusia? Penuh sudah kepalanya, ruwet!
Bagi pemula dan senior, tiada beda. Pasti bersentuhan asmofobia, takut hantu di gelap rimba raya. Apalagi akrofobia, yang gagap ketinggian itu. Pengaruhnya bisa membuat pendaki gondrong terkencing-kencing. Semua fobia mengerucut satu arah, yaitu Takut mati, thanatofobia.
Joanna berada di salah satu seramnya, fobia gelap. Bukan hantu atau sejenisnya. Pikirannya sudah terkunci makhluk-makhluk yang tergambar di kitab itu.
Tak ada ruang untuk si hantu. Baginya, makhluk itu sebuah anomali penciptaan. Penyedap irama semesta. Sama ber-kingdom animalia, menapak bumi sepertinya.
Mereka bersurvival terhadap vandalisme manusia. Hingga terbiasa, cerdas dan taktis bertahan.
Sementara ini, terapi medis, psikologis, bualan berbusa para motivator, atau seambrek model terapi lainnya tak akan mampu obati fobia Joanna.
Sepertinya sudah menjadi bagian dendam kesumat Kota Singa, weiredos! Ketakutannya adalah jika menumpuknya dosa. Seperti apa yang dilakukan bertunggangan dan berkuda-kudaan di semak taman kota itu.
Bagi pria itu, segala jenis penampakan kecil kemungkinannya tidak dilakukan oleh sang Jenderal. Si pemegang takhta terkutuk katanya, di semesta ini, Ablisul Abalisah.
Keduanya kini berhenti di bongkahan batu andesit besar. Terbujuk pemandangan indah. Piawai memainkan gawainya. Membidik puncak Anjani yang gagah di ketinggian 3.726 meter itu.
Joanna berusaha sekuat tenaga bersejawat dengan bulir debu yang berpendar. Agar rasa penasaran ruang gelap di sela semak sedikit terjawab. Namun, itu tak akan mengubah dendamnya, memburu si berbulu hitam lebat.
Sudah 12 jam berlalu, terasa jauh tinggalkan pintu rimba di bawah sana. Pos pendakian Desa Sembalun yang asri. Kondisi tubuh Joanna mulai rimpuk. Terkuras gaya pendakian sang pria yang non-stop itu.
Sadis nian, tak sadarkah di sampingnya itu seorang dara jelita? Tolol. Kinerja otot sang dara memanglah cukup tangguh. Namun, ia tetap tak dapat menghindari tipisnya oksigen di ketinggian. Pendaki menyebutnya Mountain sickness.
Penyakit mahal yang hanya ditemukan di ketinggian ini bisa menimbulkan rasa kantuk yang menghebat. Tertidur sambil jalan adalah hal biasa. Bila akut, terjadi hal-hal gila. Mulai dari hipotermia ringan hingga bergestur aneh-aneh. Semisal melepas baju tanpa sadar. Pendaki menyebutnya paradoxical undressing.
Itu merupakan gejala paradoks dari hipotermia akut. Penderita seakan kepanasan. Padahal jelas berada di area bersuhu dingin. Jangan sampai terjadi! Bisa kacau nanti! Bukan bugilnya, tapi menggigilnya.
Joanna adalah amanah dari ibunya untuk dijaga. Anak perempuan satu-satunya itu sungguh besar artinya bagi ibunya. Untuknya perlu dikawal ketat. Laksana penjagaan kobaran api Majusi yang tak boleh padam.
“Kondisi?” tanya si pria.
“Fit.”
“Jangan bohong!”
“Iya, kok!”
“Bibirmu mulai mengering.”
“Dasar!”
“Ehh, jangan sensitif, ya, itu tanda dehidrasi. Nih sebotol lagi isotonik.”
“Air mineral saja.”
Basis kognitif si pria adalah kisah-kisah literatur klasik keagamaan yang banyak bercerita tentang pertarungan senyap antara dua generasi penghuni bumi, membuat Joanna betah di sampingnya.
Mereka hampir di jelang pos Pelawangan. Tempat yang dinanti pendaki. Merindui buka tenda dan rehat. Joanna makin gontai saja. Berjalan bak tawanan perang. Apa yang dilakukan selanjutnya membuat si pria terbahak.
Ternyata sebuah jurus andalan anak sastra yang jelas-jelas dan sangat tidak efektif di dunia pendakian, berpuisi keras-keras.
Laga Anion dan Kation
Dalam kekerdilan sebuah zarah
Seakan ingin bicara
Dalam makro kosmos
Materialistik hantarkan itu
Elektron berdesing
Kelilingi inti
Berlapis tujuh
Seperti hitungannya
Anion Kation bermunajat
Dikiranya itu bisa redam letih? Lelah tetaplah lelah. Obatnya rehat. Rasa yang paling dikenang Joanna hari itu adalah saat menelusuri jalur berpasir. Berasa empuk. Sepatu bot pink-nya tenggelam dalam-dalam di kubangan. Girang sekali saat membetotnya.
Laksana anak kecil main bukit pasir. Yang dibencinya trek makadam berbatu. Memaksa pronasi kaki jenjangnya bekerja keras. Mencari lekukan untuk berpijak nyaman. Meloncat ke sana-kemari. Membuat gerakan indah pinggulnya yang lencir.
Rangkaian suka cita tersebut bisa jadi melebihi dari terapi mana pun. Mungkinkah Joanna akan sembuh?
“Berapa lama lagi pos Pelawangan?”
“Lima belas menit.”
“Gelap dong sampai Pelawangan?”
Beberapa pendaki silih berganti berpapasan. Mimik wajah yang terhidang beraneka ragam. Baik yang naik ataupun yang turun. Jika ditanya, pasti satu jawaban. Kembali selamat ke rumah. Home sweet home!
“Itu kok bawa blender segala?”
“Biasa bule. Menu kudapan premium.”
“Pasti bawa aki juga.” Ia tergelak.
Pandangan matanya terseret oleh langkah cepat porter di ujung bukit sana. Di mengamininya kecepatan langkahnya. Kaki-kaki kekar yang tak beralas itu adalah tabiat khas penduduk lereng gunung. Porter Rinjani sebagian besar penduduk lereng gunung. Hanya mendapat bayaran beberapa ratus ribu per hari. Tak sebanding beban angkutnya.
Bebannya mulai dari beratnya logistik hingga tabung gas elpiji. Bahkan untuk acara istirahat di sela-sela pendakian saja, si bule minta disediakan kursi lipat. Tak ayal bawaan porter bak gembolan pengungsi. Keadaan ini membuat tempramen porter keras. Pelampiasannya mendominasi jalur.
Tak ada kompromi bagi yang halangi laju jalannya. Apalagi mendahuluinya dengan berekor debu yang bergulung-gulung. Kata-kata kasar akan lancar didapat.
Sampailah buhul cahaya senja itu mengikat pelataran sabana. Sedikit membantu terang telusuri kontur batas vegetasi Pelawangan. Teritorial eksklusif bagi cantigi dan edelweis. Sang bayu enggan berajojing. Suasana begitu tenang. Tangan lembutnya berusaha tak jamah edelweis. Apalagi memetik untuk dibawa pulang.
“Tergiur?” tanya si pria.
“Apa?”
“Itu di dekatmu.”
“Edelweis?”
“Iya, mumpung banyak.”
“Dilarang!!”
“Pertama kali lihat, kan?”
“Ya.”
“Sentuhlah.”
Joanna menurut saja bak kerbau dicocok hidung. Dibelainya sekuntum bunga abadi itu. Lembut, memberi gesekan berbulir di telapak tangan. Kecupan bibir mungil Joanna mendarat, terpejam. Berusaha gali filosofi ketegaran sang bunga abadi. Pemandangan itu membuat si pria tak kuat menatapnya.
“Bentar lagi habis terbakar!” celetuk si pria membuyarkan rampai gestur romantisnya, agar tak keterusan.
“Kebakaran hutan?”
‘Ya, dan itu sudah terjadwal, setahun sekali, bahkan lebih.”
“Sayang banget terbakar.”
“Itulah dulu tega kubawa pulang sejumput.”
“Ah payah kau!”
“Tahu kegigihan edelweis?”
“Ndak.”
“Mereka mampu bertahan di area kering bekas abu vulkanik. Hanya dia dan cantigi yang mampu bertahan.”
“Survival alam?”
“Benar. Seperti manusia. Sejak pertama turun ke bumi hidupnya sudah bersurvival.”
“Bagaimana dengan banul Jan?”
Belum sempat terjawab, tiba-tiba langkahnya terhenti. Menatap tebing di samping jalur pendakian.
Kepalanya mendongak sangat. Menantang pantulan sinar matahari. Berusaha fokus di satu titik perspektif. Lubang gelap di tebing tinggi itu membuat dirinya tersihir. Picingan mata yang luar biasa, mendengus lirih.
“Lihat itu!” Joanna sedikit ketakutan. Mundurlah ia hingga tepat di dada pria itu.
Sial! Siang bolong gini masih saja niktofobia? Pikir si pria.
“Apa itu?” tangan Joanna terus saja menunjuk sasaran di tebing.
“Monyet dan rumahnya, huh!” Kalau sudah fobia ya begitulah. Reflek, mudah teperdaya.
“Tunggu!” Joanna sedikit tertinggal di kelokan.
“Apa? Ayo jalan!” seru si pria yang sudah jauh di depan. Langkahnya trengginas bergerak ala pasukan taktis. Mengandalkan bisep kakinya yang seksi menonjol. Bahu bidangnya cukup nyaman untuk beban berat tas berukuran 100 liter itu.
“Jembatan besi tadi kok bisa ada di jalur pendakian?” tanya Joanna sambil berlarian kecil mengejar jarak, dan sesekali berhenti. Bibir tipisnya menyedot keras ujung selang hydration pack.
Srooott!!
Ah, sialan! Pikir si pria lagi. Sirkumferensi erotis mengurungnya lagi.
“Biasa itu, di Semeru juga ada jembatan,” jelas si pria.
“Alangkah indahnya kalau tetap berwujud titian pohon,” kata Joanna.
Joanna terlihat berjalan sempoyongan. Beban tas punggung bukan penyebabnya. Paling kalau dibuka cuma berisi celana dalamnya yang pink itu dan cemilannya. Sedang sisanya jelas si pria yang bawa.
“Kulkas dua pintu”, istilahnya di kalangan pendaki untuk beban tas yang besar. Hal lumrah jika mengawal pendaki perempuan. Menu dan aksesorinya lebih lengkap. Kini tak bisa dibedakan lagi predikat si pria, pembawa kulkas dua pintu, pemandu ataukah porter?
Senja sudah bertengger manis. Semburatnya warnai petala langit. Keduanya berjalan beriringan. Seorang jaka dan raraha. Pelan lincah lewati bebatuan andesit terakhir yang tercecer sepanjang trek pendakian.
“Maksudmu biar tetap alami tanpa tambahan bangunan?” tanya si pria
“Eeh…,” Joanna mencari spasi.
“Kau ingin ciptakan kemesraan di atas titian pohon?” tanya si pria.
“Enak aja!” Joanna ngamuk. Gerak lenting lengannya mendarat di tas pria itu. Membuatnya sedikit terhuyung. Joanna tertawa lepas.
“Kau berharap lewat di atasnya? Sebisa mungkin aman tidak terpelanting dengan cara lumrah ala pendakian?” si pria mulai merundungnya.
“Cukup!!” teriak Joanna.
“Gandengan tangan, tarik ulur mengukur keseimbangan tubuh ketika menyeberang?” lanjut si pria.
“Ahhhhh!!” Joanna terpojok. Malunya tujuh turunan.
Siang tadi keduanya sempat berdiri mematung di tepi jembatan besi itu. Kata pak insinyur, itu mempermudah jalur pendakian. Memberi ruang aman dari ceruk dangkal.
Di pagar jembatan mereka memandang ke bawah. Jangan harap berisi air. Yang terlihat bekas jalur pendakian alami. Kini tergantikan dengan apa yang mereka pijak sekarang. Besi rongsok!
“Wahai titian pohon, di manakah kau?” si pria mulai usil.
“Wahai Katerina, di mana kau!” balas si Joanna.
“Kok Katerina?”
Keduanya saling pandang, seolah beradu tanda tanya. Memancarkan getaran-getaran berang campur entah. Saling menusuk jantung masing-masing.
“Rusuh!”
“Maaf.”
“Titian terbaik itu jembatan shirothol mustaqim. Bukan Katerina yang kini sudah diambil si bangsat itu,” si pria itu sadis bermanuver. Menghindar taktis sambil berserapah.
“Mulai, deh.”
Irama keroncong perut membuyarkan kilas balik pertarungan. Kudapan yang sedari tadi hanyalah cemilan ketela rambat tak mampu bertahan lama.
Saatnya perut meminta nasi. Titian pohon yang diimpikan telah tiada. Padahal itu satu-satunya arena romantis yang akan digunakan untuk menjeratnya, sial!
Senja jelang Magrib. Sampailah di pos Pelawangan setelah lunas lewati 7 bukit penyesalan. Nyatanya tiada kata sesal sedikit pun. Tak seseram namanya.
Joanna asyik terbungkus dengan kasmaran dan fobianya. Pura-pura untuk banyak bertanya dan puas melihat ekspresi mangsanya. Tanpa disadari telah melibas tujuh bukit.
Sungguh tak terasa. Sedang si pria sudah terlatih tentunya. Keduanya kini bersyukur dapat menyiksa kaki-kaki dan otot-otot tubuh.
Menciptakan keletihan untuk menghindar maksiat. Percikan erotis mereka begitu kuat. Si pria yang sok alim kadang tak tahan memendam alur alami produksi organ primernya.
Sedang si Joanna, ruang genital super. Bisa saja membuncah liar hormon feminal itu. Hari ini, cukuplah dengan menikmati sintesa endorfin dan adrenalin masing-masing.
Malaikat pun seolah memuji. Ini dia makhluk-makhluk unik yang keras mengekang diri!
Pos Pelawangan cukup ramai. Sudah banyak tenda berdiri. Namun apa lacur, tiada lagi sisa lapang tanah untuk bertenda. Mereka tertegun melihat lapang-lapang yang tertancap bambu dengan karton bertulis “booked”.
“Bisnis?” tanya Joanna.
“Tentu, dan berebut.”
“Turis diutamakan?”
‘Tidak juga, lokal yang mampu bayar porter dan guide pasti menikmati lapang VIP, tepat menghadap Danau Segara Anakan.”
“Kita bertenda di mana?”
“Yuk!”
Memarginalkan diri adalah resistansi yang aman. Berdua memilih di rerimbun semak. Jauh dari kata nyaman dan miring.
Sedikit beradu dengan dahan-dahan cantigi yang dihormatinya. Terimalah dengan ikhlas. Malam sudah datang. Lekaslah bertenda dan hangatkan si Joanna.
Berceritalah lagi tentang titian pohon di gunung-gunung Indonesia yang kini sudah tergantikan jembatan. Agar si Joanna makin blingsatan.
Tenda pun sudah berdiri, si pria bercerita lagi. Di sela-sela ceritanya, gestur Joanna menghebat. Pasti terbawa alur naratifnya yang aduhai. Bola mata indahnya ikut menari-nari berorientasi, berkomplikasi, dan beresolusi.
Serbuan kernyit dahi, kembang-kempis hidung dan gelengan leher jenjang. Ini ujian berat bagi si pria. Bisa-bisa peristiwa di Taman Hidup terulang.
Nyatanya, ini pertama kali berduaan dengan pendaki perempuan. Si pria merasakan sesuatu tentang Joanna. Sepertinya pernah menahan sekarat nafsu. Berusaha mengendalikan kenangan sebuah kenikmatan level ubun-ubun yang pernah dinikmati dulu. Sepertinya kesamaan keadaan psikologis.
Sebelum jauh meleleh, si pria mengakhiri dengan mengeluarkan secarik kertas yang bertulis: 1846, 1884, 1900, 1906, 1915, 1944, 1949, 1953, 1965, 1994, 2004, 2009, 2015.
Dipegangnya kertas itu dengan terang cahaya lampu tenda. Mudah bagi Joanna untuk membaca tulisan itu. Duduknya tak jauh darinya. Walau si pria berusaha sedapat mungkin jaga jarak, agar tak berahi. Haram, kata pak ustaz.
“Sepertinya angka tahun, ya?”
“Erupsi Rinjani.”
“Ohh.”
Dimasukkan kembali lagi kertas ke kantongnya. Mengeluarkan kertas lainnya berwarna merah muda. Janna geli dan tertawa melihatnya.
Dari penjuru mata angin.
Ramailah orang berbondong
Dengan asa yang sama
Pagi ke petang hingga lepas senja
Berasak-asak dalam bahang
Biar bau peluh basi
Nafsu yang kuat tak sedikit pun menjera
Kali ini si Joanna tak tertarik sedikit pun dengan rentetan syair. Bosan! Banyak model gituan di kelasnya. Yang dirinduinya hanyalah gambar sketsa dan coretan acak fisiologi makhluk-makhluk buruannya itu.
“Tiap sudut trek ada saja tarikannya. Lirik mata menjeling, mengacu, menembak setepat-tepatnya sasaran yang menaut hati. Harap ada sesuatu mengena perhatian. Andai hati terpaut pasti akan jadi rebutan.” Si pria meninggi berekstasi.
Memaksa parafrasa ungu atas bait-bait yang ditulisnya. Berharap Joanna kembali tertarik. Tak tega dia melihat reaksi brutalnya jika memilih menggambar sketsa fisiologis makhluk itu.
“Masa iya jadi rebutan?”
“Itulah kearifan, bukan bentuk raga dan tampilan.”
“Terus?”
“Pengetahuan jenis ini sampai ke tangan seseorang melalui wahyu, ilham, mimpi-mimpi, intuisi, pengalaman dan jalur mistik. Manusia itu selalu pada watak dasarnya. Fitrah tidak brutal dan kejam.”
“Apa hubungannya dengan Ajaibul Makhluqot!!”
“Jelas ada, unsur spiritual adalah penyempurna hidup. Berhubungan kuat dengan realitas ketuhanan.”
“Artinya, wajib memercayai keberadaan makhluk seram itu?”
“Manusia diberi sifat-sifat malakut dan diperbolehkan untuk hidup bersama wujud-wujud spiritual untuk sementara waktu, kenapa tidak?”
Joanna masih belia, hanya bisa pasrah dan melongo di matanya. Terlalu dini melahap ujaran filsafat. Mahasiswa semester awal fakultas sastra itu masih tanggung. Belum balig menerima prolog filsafat, apalagi firasat.
Mata kuliahnya memaksanya menerobos hutan rimba. Mencari inspirasi ide cerita dan bahan baku karya sastra. Karena di kota sudah jenuh topiknya. Joanna ingin merasakan langsung sumber inspirasi fiksinya.
Malampun merayap mendekati dini hari. Waktu ideal bagi para pemuncak gunung untuk melakukan summit attack. Pun begitu keduanya, setia bersama pemuncak lainnya. Bahu-membahu memberi semangat melahap trek yang hampir semuanya pasir. Sekali injak, terbenam hingga betis.
“Pakai masker, mbak,” saran seorang pendaki perempuan yang trengginas mendahului.
“Iya, kak,” jawabannya basi-basi.
“Pakai?” tawar si pria.
“Ndak,” jawab Joanna.
“Sakit, loh.”
“Sini, huh, maksa!” Disambarmya bandana hitam itu.
“Bau!!”
“Kok dibau?”
Joanna hanya terdiam, terkunci.
Bagi yang pernah mengalami, akan terhidang minuman berbulir debu. Ketika air tertuang dari mulut botol. Berasa kriuk. Berperisa tanah yang tersiram hujan, petrikor.
“Kiri!” si pria mengarahkan pijakannya yang mulai goyang.
“Wah berguna juga gaiter ini.”
“Break!!” teriak Joanna bawel, berkali-kali tadi gedebuk. Payah, fisik amburadul, kurang persipan. Padahal sudah diwanti-wanti untuk rutin jogging.
“GPS-nya,” pintah si dara.
“Nih,” terulur pelan di kegelapan.
Sejurus kemudian, sinar layar gawai nir kabel berbasis satelit itu menyorot wajahnya. Mancung memang hidungnya. Bukan ukuran rata-rata. Dengan pipi putih penuh nan lembut.
Bodoh banget lelaki di sampingnya itu. Menyia-nyiakan begitu saja kesempatan yang tak didapatkannya di Danau Misterius Taman Hidup dulu itu.
Jemari Joanna lincah dan beringas pencet tombol-tombol antarmukanya. Jelas tak ahli, sebab diperlukan ilmu geospasial untuk mengoperasikannya. Itu mungkin hanya selingan. Agar lama di sampingnya.
Pada belah waktu dini hari, sampai di puncak Anjani. Bersiap sedia mengabadikan matahari terbit. Wajah Joanna sudah kacau. Polkadot bercampur galur candramawa. Membelang hitam putih oleh keringat, pasir dan debu.
“Inikah yang kita cari?” tanya Joanna.
“Sebagian.”
“Sisanya?”
“Keteguhan, kesabaran, cinta alam, dan Tuhannya.”
“Mahal!”
“Apa?”
“Budget hobi kita.”
“Bukan hobi, tapi jalan untuk mendekatiNya.”
“Klise.”
‘Sungguh!”
Mentari muncul dari ufuk timur. Berbarengan kilatan lampu blitz puluhan pendaki yang bertengger di puncak Anjani. Mereka membabi buta membingkai matahari terbit, Arunika!
Joanna benar-benar sangat menikmati. Sedikit lupakan makhluk-makhluk sialan itu. Tiada ruang gelap lagi di puncak Anjani. Lupakan pedih Kota Singa. Hatinya benar-benar melayang, bersama kabut yang berkumpul jadi awan.
“Seperti kehidupan, paradoks menempati ruang hati.”
“Maksudnya?”
“Ketika memandang kelebihan dan kekurangan seseorang.”
“Subjektif dan objektif maksudnya?”
“Benar.”
“Contohnya?”
“Seperti kumenilaimu, kau begitu cantik.” Si pria memberanikan diri merayu. Seperti dulu di danau misterius itu. Sesuatu yang dianggap bodoh baginya.
“Sialan!”
Akankah pertemuan ini menjadi sebuah al Isyq? Kasmaran yang menggila? Dibantingnya membahana dekati romantis fantastis ala Qeis Layla? Melibas batas.
Sebagaimana fana ini yang pernah indah dengan ingar-bingar cerita pasangan mesra di dunia.
Mereka yang tercatat dengan nama pasangan Qeis-Layla, Tarzan-Jane, Ali-Fatimah, Anthony-Cleopatra, Tristan-Isolde, Adam-Hawa, Napoleon-Josephine, atau Hanzel-Gretel.
Cinta ini mencabik-cabik kurus keringnya. Hingga kekal dan akan abadi membaui semua citra si pria. Menyayangi segala yang berbau dirinya. Seperti tadi dini hari, membau bandana kecutnya, huh!
Puncak Anjani bagi mereka berdua bak peraduan menghadap Segara Anak. Sedikit merebas, titik air mata berandang. Joanna si dara melasak, manggut-manggut, berkumur dua kata sederhana, Ya Alloh.
Namun tahukah bahwa anggukan ke atas melanyak al Arsy, Kursi-Nya. Sedang anggukan ke bawa melanyak bumi-Nya. Seperti sebuah dawai transversal yang beralun.
Balabad anggara meyapu laju penyesalnnya atas kota Singa. Meniupi lapisan jaket goretex basahnya. Memampatkan lekuk tubuh, melukis diorama diri. Celih tuk toleh ke belakang. Bisa hilang keseimbangan dan terjungkal.
Cahaya ampunan pun perlu durasi untuk merambat. Liar di kota Singa yang tak terkendali karena gegap gempitanya kelemahan diri. Ingin dirinya unjuk kepada-Nya. Dengan cara apa pun yang disanggupi saat itu.
Syauq Yaa Naaqotullooh
Rindu unta Allooh
Padamu pernah bersusu
Syauq Yaa Najiyullooh
Rindu pada yang pernah diselamatkan
Syauq Yaa Safiyullooh
Rindu pada yang pernah dicipta
Syauq Yaa Kalimullooh
Rindu pada yang pernah terkalam
Syair-syair arkais yang berpola rima acak-acakan dan dipaksa seragam pada lafaz Alloh itu mengalun lembut dari bibir Joanna.
Sedang si pria termenung pada titik kesadarannya, kagum akan perjuangannya. Melawan trauma deflorasi yang pernah direnggut paksa.
- Kreol dan Pijin; Arbitrer yang Terpinggirkan - 7 Oktober 2021
- Bergaduh di Balairung Raja - 6 Oktober 2021
- Intuisionisme Filantropis Pemaksimal Utilitas - 4 Oktober 2021