Pelarangan Jilbab sebagai Koreksi Negara atas Kekeliruannya di Masa Silam

Pelarangan Jilbab sebagai Koreksi Negara atas Kekeliruannya di Masa Silam
©Lurzer's Archive

Nalar Politik – Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Luthfi Assyaukanie, menilai “pelarangan jilbab” dalam salah satu pertanyaan Tes Wawasan Kebangsaan masuk Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai koreksi negara atas kekeliruannya di masa silam.

Hal tersebut sekaligus menjadi respons Luthfi atas keberatan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menurutnya terkesan memojokkan orang yang memakai jilbab.

“Saya tidak tahu sejauh mana kebenaran isu ini. Tapi, kalau benar begitu, saya melihatnya sebagai tindakan reaktif negara kepada perlakuannya sendiri. Negara sedang melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang dilakukannya di masa silam,” jelas Luthfi melalui keterangan tertulisnya hari ini, Selasa (1/6).

Ia turut mengingatkan bahwa PKS merupakan bagian negara yang pernah berkuasa selama 10 tahun bersama Susilo Bambang Yudhoyono. Pada eranya, jelas Luthfi, partai tersebut sempat meracuni negara dengan ideologi puritan, termasuk memaksakan pemakaian jilbab pada rakyat.

“Pemaksaan pemakaian jilbab itu dilakukan secara sistematis, lewat peraturan di sekolah, di birokrasi, peraturan daerah, dan tekanan sosial yang bertubi-tubi. Akibatnya, seperti kita lihat sekarang ini, kaum perempuan merasa tertekan secara sosial jika tidak pakai jilbab.”

Menurut pendiri Qureta tersebut, tidak ada yang bisa menghentikan tindakan pemaksaan pemakaian jilbab oleh negara kecuali negara sendiri.

“Dari sudut pandang kebebasan, negara telah salah dan melanggar hak asasi warga karena selama ini telah memaksakan pemakaian jilbab. Maka, kalau sekarang negara berusaha memberesi urusan ini, saya melihatnya sebagai usaha koreksi atas kesalahannya sendiri di masa silam.”

Oleh karena itu, lanjut Luthfi, PKS atau siapa pun yang keberatan dengan urusan paksa-memaksa itu harus sadar bahwa memakai atau melepas jilbab adalah hak setiap warga.

“Negara tidak boleh ikut campur dalam pilihan warga mau memakai jilbab atau tidak. Sekali suatu rezim merasa benar ketika mereka memaksa orang berjilbab, rezim berikutnya memiliki hak yang sama untuk melarangnya (pelarangan jilbab).”

Luthfi juga menyadari bahwa perdebatan soal jilbab dewasa ini jelas tidak berimbang. Para pendukung ideologi jilbab, katanya, punya kelebihan. Mereka kerap menggunakan otoritas agama untuk meneror warga.

“Sering kali warga dalam posisi lemah dan tak berdaya, karena takut dipersekusi dan di-bully jika menolak jilbab. Itulah kenapa negara sering ikut-campur dalam urusan ini. Hanya negara yang sanggup menghadapi kegilaan orang dalam beragama.” [fb]

Baca juga: