Pemuda, Usir Penjajah Bernama Post-Truth!

Pemuda, Usir Penjajah Bernama Post-Truth!
©Not Even Past

Post-truth merupakan konsep yang berpendapat, “I believe therefore I’m right: Jika saya percaya, maka saya benar.” Sementara pada tatanan praktik, ia adalah klaim kebenaran yang terpegang sejak awal kejadian suatu peristiwa.

Kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan tindakan konstitusional di negara Indonesia. Seiring dengan kamajuan yang manusia ciptakan itu sendiri, ruang publik telah mengalami pergeseran yang signifikan.

Pada mulanya dunia nyata seperti jalanan adalah ruang publik, wadah untuk menyuarakan ekspresi dan pendapat. Namun kini dunia maya lebih populer di kalangan masyarakat untuk melakukan hal tersebut. Banyak masyarakat mengekspresikan dua tindakan itu ke dalamnya. Sebut saja media sosial, misalnya.

Kehidupan masyarakat dalam dunia maya tidak kalah kompleksnya ketimbang dunia nyata. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia telah menjalar di dalamnya, mulai dari agama, politik, budaya, sosial, hingga ekonomi. Tidak tanggung-tanggung, semua kalangan usia dapat mengakses dunia ini dengan sangat mudah serta cepat.

Menjadi konsekuensi tersendiri bahwa dunia maya kini banjir informasi tanpa sekat ruang dan waktu. Satu peristiwa mampu melahirkan ribuan tafsir, sesuai kepentingan masing-masing pihak.

Post-truth adalah aksi yang marak terjadi belakangan ini. Lini masa media sosial sesak dengan postingan dan komentar orang-orang tak bertanggung jawab. Alih-alih mendeskripsikan fakta sebenarnya, yang ada justru menciptakan narasi-narasi yang mis- dan dis-information.

Sebut saja aksi pembakaran bendera di Garut beberapa waktu lalu. Tidak dapat kita sangkal telah memunculkan respons yang beragam. Banyak pihak berupaya meredam keributan. Tak sedikit pula pihak berupaya merusak kedamaian.

Pada level teoritis, post-truth merupakan konsep yang berpendapat, “I believe therefore I’m right: Jika saya percaya, maka saya benar.” Sementara pada tatanan praktik, post-truth adalah klaim kebenaran yang terpegang sejak awal kejadian suatu peristiwa. Artinya, bebas kritik adalah hal yang tidak mungkin berlaku terhadapnya.

Pada akhirnya kebenaran bukanlah soal fakta objektif, melainkan emosional personal. Pengkotakan masyarakat pun tidak dapat terhindarkan, antara mereka yang mengedepankan fakta sebenarnya dengan mereka yang tidak mau terusik emosional personalnya.

Baca juga:

Sampai pada paragraf ini, benarlah bahwa dunia maya kini telah menjadi pedang bermata dua. Memberikan nilai positif untuk menjangkau sesuatu secara mudah dan cepat. Sekaligus bernilai negatif manakala tidak membarenginya dengan sikap kehati-hatian; check and recheck untuk menelan informasi yang ada.

Pergeseran ruang publik tersebut secara otomatis menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Indonesia atau bahkan dunia, sekarang maupun akan datang. Perpecahan yang timbul adalah satu bentuk penjajah model baru. Penjajah itu tidak datang dari negeri seberang, melainkan penjajah yang dengan sadar telah mereka ciptakan.

Menjadi tugas dan kewajiban pemuda untuk berjuang melawan penjajahan model baru tersebut. Secara kualitas dan kuantitas, pemuda adalah golongan yang lebih mungkin untuk kita letakkan pada posisi garda depan. Tidak serta-merta karena energi dan semangatnya. Tetapi lebih dari itu, yakni karena independensinya.

Mengubah konsep post-truth menjadi truth yang berbunyi, “I think therefore I am: Aku berpikir, maka aku ada” adalah langkah preventif yang dapat anak muda kita lakukan. Ini guna menanggulangi ekspansi para penjajah ke dunia maya, media sosial. Atau dengan wujud lebih nyata (selemah-lemahnya iman: red), seperti “puasa” media sosial guna menjernihkan pikiran dalam membaca, menilai, dan bersikap terhadap suatu peristiwa di dunia maya.

Pemuda, selamat mencoba!

Abu Bakar
Latest posts by Abu Bakar (see all)