Penangkapan Dandhy Bikin Rezim Jokowi Makin Serupa Orde Baru

Dwi Septiana Alhinduan

Penangkapan Dandhy Laksono, seorang aktivis dan pembawa acara yang vokal dalam mengkritik pemerintah, telah mengguncang panggung politik Indonesia. Bagaimana bisa seorang individu, dengan latar belakang media yang kuat, menjadi sasaran di tengah kebebasan berekspresi yang dijanjikan? Pertanyaan ini menjadi cerminan tajam tentang situasi politik di bawah rezim Jokowi yang, semakin hari, tampak kian mirip dengan Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto.

Sejak kedatangan Jokowi sebagai presiden pada 2014, harapan untuk reformasi dan transformasi politik menggembirakan sebagian besar masyarakat. Namun, dengan berjalannya waktu, berbagai kebijakan dan tindakan pemerintah justru menunjukkan pola yang sama seperti otoritarianisme yang pernah terjadi pada era Orde Baru. Penangkapan Dandhy adalah salah satu dari sekian banyak contoh yang bisa dijadikan batu loncatan untuk mengeksplorasi kembali kondisi kebebasan sipil di Indonesia.

Dalam konteks ini, mari kita telusuri beberapa elemen yang menciptakan kesamaan antara rezim saat ini dan era Orde Baru. Pertama, adalah penggunaan kekuasaan untuk membungkam kritik. Penangkapan Dandhy diiringi dengan narasi bahwa ia merupakan ancaman bagi stabilitas nasional. Seringkali, pemerintah bersembunyi di balik dalih bahwa kritik-kritik tersebut dapat memecah belah masyarakat, padahal sebenarnya terdapat agenda yang lebih terdalam: menjaga kekuasaan dan mengendalikan informasi.

Mengingat kembali sejarah, Orde Baru dikenal dengan pendekatan represifnya. Media massa yang tidak sejalan dengan pemerintah sering kali ditutup atau diancam. Serupa dengan itu, tindakan penangkapan Dandhy bisa dianalogikan sebagai sinyal bagi siapa pun yang berani bersuara. Dengan semakin kuatnya pengawasan pemerintah atas media sosial dan platform digital lainnya, penting untuk mempertanyakan: Apakah kita sedang menuju ke suatu era di mana suara-suara kritis akan diawasi dan dihilangkan?

Kedua, ada aspek legitimasi moral yang dipertahankan oleh rezim. Pemerintah saat ini mengedepankan narasi pembangunan dan stabilitas. Namun, apakah stabilitas tersebut benar-benar berarti jika hak-hak individu dan kebebasan berbicara terancam? Penguasa sering kali menjadikan narasi ini sebagai tameng, mereduksi diskusi kritis tentang kebijakan mereka menjadi sekadar perdebatan tentang keamanan dan ketertiban. Terlepas dari apapun sisi yang ingin diambil, tantangan bagi masyarakat adalah mengemukakan suara mereka meskipun dalam situasi yang semakin tertekan.

Ketiga, adalah penanganan terhadap oposisi. Dalam banyak hal, rezim Jokowi telah mengadopsi pendekatan yang mirip dengan teknik penanganan oposisi pada masa lalu. Dengan mengkategorikan individu-individu kritis sebagai “musuh negara”, pemerintah secara otomatis menjustifikasi tindakan represif terhadap mereka. Penangkapan tokoh publik seperti Dandhy memberikan sinyal ingin menciptakan ketakutan di kalangan publik. Namun, di tengah kebisingan tersebut, muncul pertanyaan: Apakah ketakutan ini akan mematikan suara rakyat atau justru mendorong solidaritas yang lebih kuat di kalangan mereka yang pro perubahan?

Di lain sisi, perlu dicatat bahwa masyarakat tidak tinggal diam. Aktivisme digital semakin marak, di mana rakyat memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan pendapat dan mengorganisir gerakan. Media sosial, yang kerap kali menjadi alat pemerintah untuk menyebarluaskan propaganda, pada gilirannya juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melawan. Dandhy sendiri sebelum penangkapannya aktif menggunakan platform tersebut untuk menyuarakan berbagai isu yang belum terpecahkan, menyoroti ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Faktanya, satu tindakan represif tidak serta merta memadamkan semangat kebangkitan. Penangkapan Dandhy dapat memicu perlawanan yang lebih besar. Sejarah menunjukkan bahwa ketika hak-hak fundamental dicabut, maka suara dissent semakin keras! Rakyat akan berupaya mencari ruang untuk mengekspresikan pikiran mereka, entah melalui protes atau kampanye digital. Namun, tantangan kita adalah bagaimana menjaga semangat ini tetap hidup, tanpa terjebak dalam narasi kekerasan.

Akhir kata, penangkapan Dandhy Laksono merupakan spion dari apa yang kian hari semakin mengkhawatirkan. Masyarakat harus menyadari bahwa ketidakadilan yang dialami oleh satu individu bisa menjadi sinyal alarm bagi banyak orang. Sebagai warga negara yang berdaulat, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga kebebasan berbicara dan mendukung mereka yang berada di garis depan perjuangan. Kembali pada pokok permasalahan: bagaimana kita akan merespons tindakan represif ini? Mari kita pikirkan secara serius, karena jawaban yang kita ambil hari ini akan menentukan arah kehidupan demokrasi kita di masa depan.

Related Post

Leave a Comment