Pendidikan dalam Lanskap Pembangunan

Pendidikan dalam Lanskap Pembangunan
©Antara

Platform Yogyakarta sebagai kota pendidikan—terakui atau tidak—patut terus kita pertanyakan bahkan kritisi. Pasalnya, pendidikan tak lagi memberi transformasi signifikan pada masyarakat. Pendidikan seolah hancur dalam lanskap pembangunan.

Taman Siswa, sebagai satu peninggalan berharga sekaligus kekayaan Yogyakarta yang mengantarkan title-nya sebagai kota pendidikan, kini hanya sebagai artefak sejarah tanpa perenungan subtantif dan reflektif.

Asumsi di atas tentu bukan tanpa dasar. Mari kita lihat perubahan sosial masyarakat Yogyakarta dalam lanskap pembangunan hotel yang merajalela—tak hanya dalam bingkai sosial, tetapi juga dampaknya pada lingkungan dan budaya.

Masyarakat Yogyakarta makin konsumtif, berpola hidup materialis. Dan lihatlah kemacetan di sepanjang jalan. Air jadi kasat, dan makin hilangnya budaya guyub. Individualis (tak bertanggung jawab) jadi trend tak terhindarkan. Pertanyaannya, di mana posisi pendidikan?

Nasution (1999) menegaskan bahwa fungsi pendidikan adalah sosialisasi. Fungsi tersebut menegaskan pendidikan sebagai elemen yang memberi nilai, keterampilan, pengetahuan, dan perilaku dalam masyarakat.

Jadi, pendidikan memberi satu jawaban dalam proses perubahan zaman. Pendidikan harus hadir di tengah realitas masyarakat untuk memberi konsepsi jawaban atas sejumlah persoalan.

Konsepsi ideal itu nyatanya tidak berlaku jika berhadapan dengan “kapitalisme”, yang salah satu produknya adalah lanskap pembangunan sebagai alibi. Justru memprihatinkan, pendidikan jadi mesin dan antek kapitalisme yang membabi buta.

Peserta didik hanya terarahkan untuk jadi “pekerja yang baik”, taat terhadap belenggu kapitalisme yang cadas dan dehumanis. Artinya, pendidikan kini hanya jadi tangan panjang kepentingan kapitalisme.

Baca juga:

Bagaimana seharusnya pendidikan? Bagaimana kita mereposisi pendidikan yang sudah jadi mesin hegemoni kapitalisme?

Pertanyaan di atas membutuhkan satu kesadaran penuh yang utuh dan komprehensif. Pertama-tama adalah meletakkan kebutuhan masyarakat yang hidup dalam ruang pembangunan.

Pembangunan adalah suatu yang tidak dapat kita hindari dalam perubahan sosial yang cepat. Setiap daerah dan setiap bangsa membutuhkan pembangunan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi. Tanpa pembangunan, mustahil mencapai suatu kemajuan.

Alih-alih demikian, bukan berarti pembangunan memberangus sisi lingkungan dan sosial. Atas nama pembangunan, semua serbabisa dilakukan.

Tentu tidak! Sebagaimana Portes (1976) mengatakan bahwa pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial, dan budaya. Pembangunan adalah proses yang direncanakan untuk memperbaiki aspek kehidupan segenap masyarakat.

Dapat kita tarik benang merahnya, pembangunan tidak semestinya jadi proses dehumanisasi dan alat perusak lingkungan. Pembangunan kita harapkan mampu mentranformasi sosial, budaya, dan ekonomi untuk kesejahteraan umum, bukan pribadi atau kelompok tertentu.

Kedua adalah fungsi pendidikan untuk mempertahankan konsepsi pembangunan ideal. Sudah mafhum kita pahami bahwa pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan. Artinya, pendidikan punya fungsi signifikan untuk merelasikan pembangunan dan kebutuhan masyarakat.

Secara historis, pendidikan berperan dalam pencapaian kemerdekaan dan pembangunan. Pendidikan tidak jadi elemen naif yang bias fungsi sosialnya.

Baca juga:

Pendidikan tak hanya bergairah di dalam ruang kampus atau intitusi pendidikan lainnya, tetapi fungsi pendidikan adalah mampu menengok kembali persoalan yang rumit di masyarakat. Ia hadir dalam kompleksitas problem yang masyarakat hadapi.

Hemat penulis, pendidikan tetap jadi kunci dalam menerjemahkan pembangunan sesuai kebutuhan masyarakat. Karena pembangunan tidak bisa kita hindari kendati permasalahan juga banyak bersumber darinya. Hanya melalui pendidikanlah generasi penerus dapat mengarahkan pembangunan ke arah yang kita harapkan, tentu untuk kepentingan masyarakat secara umum.

*Khefty Almawalia, Anggota Forum Silaturahim Keluarga Mahasiswa Sumenep Yogyakarta (FSKMY); Koordinator Gerakan Keperempuanan Aisyah Yogyakarta

_____________