Amik menjawab secara filosofis, “Ketika kita ke Jawa, kita banyak meninggalkan banyak yang bagus di tempat asal, sehingga di tempat kita datang kita akan berusaha semaksimal mungkin. Jadi di Jawa kesannya kita pun harus bisa lebih baik lagi di sana (belajar bersungguh-sungguh).”
Di Jawa banyak fasilitas, kata Amik, karena pertama banyak orang di sana dengan beragam kebutuhannya. Ini juga bisa menjadi autokritik terhadap negara karena negara lebih memfokuskan kepada daerah yang lebih banyak orangnya. Sehingga, tentunya di sana lebih banyak hal yang kita butuhkan.
Latifah kemudian bertanya lagi, “Ketika kita berbicara tentang pemerataan pendidikan, apakah pendidikan sejauh ini sudah rata?”
Amik menjawab lagi dengan tegas, “Jelas belum, tapi usaha untuk ke sana ada. Seolah-olah saya ini menteri pendidikan, saya bilang kalau Nadiem Makarim selalu dia berusaha untuk meratakan pendidikan. Cuma kita bandingkan berapa ki bersaudara seumpama kita bersaudara, tidak usah kita bandingkan berapa juta jiwa ki ini di Indonesia, 200 juta jiwa, usaha maksimalnya untuk memeratakan pendidikan menjadi satu pekerjaan rumah, PR negara. Cuma kalau kita mau membandingkan bagaimanapun kalau di mata saya sendiri tidak bakalan bisa benar-benar bisa merata. Tapi usaha ke sana ada.”
“Karena ya,” tambah Amik, “pertama kita masih negara berkembang, yang kedua peran-peran komunitas yang kak Zuhriah ceritakan minggu lalu bersama Sufis Institute di kelas Manajemen Perpustakaan, sehingga usaha mewujudkan pemerataan pendidikan menjadi PR kita semua. Untuk sama-sama bagaimana caranya memaksimalkan diri untuk berbagi ilmu kepada yang lain, gabung dengan komunitas pendidikan, relawan pendidikan ke desa terpencil atau minimal di sekeliling ta mi dulu, seperti saya ini yang ditodong kak Zuhriah untuk membagikan ilmu dan pengalaman biar sharing pengetahuan dan pendidikan yang sedikit yang saya punya.”
Amik berkata lagi jika sebenarnya ia sedang meneliti model pendidikan yang agak lain di Jogja.
“Cuma saya pikir saya butuh waktu yang lebih lama dan tepat. Seperti SALAM, sebuah pendidikan nonformal, tidak ada mata pelajarannya, tapi yang menjadi pelajarannya adalah eksperimen.”
“Apa yang ingin anak satu semester pelajari, misalnya satu anak cenderung sama satu hal saja, maka itu saja yang difokuskan, untuk dipelajari selama satu semester itu. Dan evaluasi dengan anak-anak memberikan presentasi apa yang sudah dipelajari kepada fasilitatornya. Dan ada jenjang dari SD, SMP, SMU.”
Baca juga:
Misalnya, ada yang suka olahraga, musik, dan lain sebagainya, maka akan dikonsultasikan kepada fasilitatornya. Mereka yang akan benar-benar belajar. Mereka bukan guru, bukan pengajar tapi yang mengarahkan. Di sana tetap mendapatkan ijazah jika mereka mau.
Latifah tidak bosan-bosannya bertanya. Ia kemudian curhat jika ia pernah ingin kuliah mengambil jurusan seni di Jawa tapi orang tuanya tidak mengizinkan. Lalu Amik membalas, “Kalau soal izin ke orang tua, silakan lobi orang tuanya, dan semoga belajar di kampus sekarang berkah. Jika jalur beasiswa, silakan tanya ibu Zuhriah. Banyak juga beasiswa tersedia seperti LPDP, yang terpenting beasiswa.”
Mirsal, seorang mahasiswa yang suka membuat video itu, kemudian bertanya via chat, “Bagaimana caranya mengimplementasikan hasil belajar ibu dari luar ke dalam kampung sendiri?”
Kemudian Amik menjawab, “Seperti ibu Zuhriah mengajar di kampus Mamuju, mengabdi pada kampung halamannya sendiri.”
Kata Amik lagi jika ia pernah membuat acara English Camp di Polewali Mandar.
“Setiap orang punya hak dan kewajiban untuk berkontribusi dengan caranya masing-masing yang pernah kuliah, minimal dengan doa. Tapi jangan hanya berdoa saja. Minimal memberikan kontribusi yang semaksimal mungkin ke Sulbar. Kak Zuhriah jauh-jauh dari Sulbar, ke Jogja, dan kembali mengajar ke Sulbar.”
Amik mengaku jika ia pun senang ikut “mengajar” di sini.
Aku pun bertanya pada Amik pendapatnya tentang UIN, UIN Makassar dan UIN Jogja. Amik menjawab jika banyak persamaan antara dua UIN ini, misalnya mata pelajaran dan jadwal yang sama. Perbedaannya yang signifikan, perbedaan budaya. Di UIN SUKA, Amik lebih melihat banyak orang sehingga lebih banyak dan luas cara pandangnya.
Baca juga:
- Antitesis Pendidikan ala Kemendikbudristek
- Guru Penggerak: Inovasi dan Harapan untuk Pendidikan Indonesia Pascapandemi
Sebagai close statement, Amik membaca tulisan Agus Mulyadi, Redaktur Mojok.co yang memberikan kata pengantar di buku SALAM yang berjudul Sekolah Menengah Suka-Suka, SMA Sanggar Anak Alam.
“Satu-satunya modal utama (selain kesalehan, tentu saja) yang saya andalkan untuk bisa bertahan hidup adalah skill menulis. Skill itu pula yang kelak saya andalkan untuk bisa mencari follower, pacar, bahkan istri.”
Amik kemudian membaca tulisan Agus lagi, “Seorang bijak pernah mengatakan, kalau kau ingin ijazah, sekolah. Kalau kau ingin pintar, belajar. Tentu sukar bagi saya untuk tak setuju. pengalaman mengarungi mengarungi kehidupan tanpa ijazah-lah yang kemudian makin menyadarkan saya bahwa sekolah formal itu penting namun tak sepenting itu.”
- Kita Punya Level Kebucinan yang Berbeda-beda - 26 Februari 2023
- Masih Maukah Kita Mengetahui Masa Lalu dari Masjid Tenggelang? - 21 Februari 2023
- Maharani Poktowuna, Perempuan Mandar yang Cantik dan Berambut Panjang - 20 Februari 2023