Dalam kancah politik Indonesia yang selalu dinamis, pengakuan Mohammad Nuruzzaman mengeksplorasi fenomena yang mengganggu – permainan isu SARA. Permainan ini bukan sekadar strategi jangka pendek; ia merupakan reflecti dari ketidakpuasan kolektif masyarakat yang tengah terjebak dalam labirin pragmatisme politik. Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri perjalanan Nuruzzaman, mantan anggota Partai Gerindra, yang berani menantang arus dengan mencuatkan keprihatinan akan penggunaan isu SARA dalam politik.
Ketika Nuruzzaman mengundurkan diri dari Partai Gerindra, pernyataannya menciptakan gelombang yang menghebohkan. Ia menyoroti bagaimana partai tersebut terlibat dalam meramu isu SARA sebagai alat untuk mengamankan kekuasaan. Isu SARA, dalam konteks ini, adalah seperti mata pisau yang tajam, mampu melukai persatuan dan menghancurkan keharmonisan antar kelompok masyarakat. Sebagai pemain di pentas politik, Nuruzzaman memberikan gambaran bahwa ada sesuatu yang sangat kelam dalam strategi politik yang mengandalkan kebencian dan perpecahan.
Pihak-pihak tertentu mungkin melihat SARA sebagai alat yang efektif dalam meraih simpati dan dukungan. Namun, segalanya ada harga yang harus dibayar. Seiring dengan tumbuhnya ketegangan sosial, terdapat risiko yang lebih besar – yaitu munculnya polarisasi yang mendalam dalam masyarakat. Ketika politik diwarnai oleh isu SARA, maka dialog yang konstruktif menjadi sirna, digantikan oleh narasi-narasi provokatif yang memecah belah.
Lebih jauh, Nuruzzaman menggambarkan fenomena ini sebagai “musuh dari dalam.” Agresi terhadap identitas dan kebudayaan yang beragam bukan hanya menyerang individu, melainkan juga mengancam integritas bangsa. Sebuah bangsa yang dibangun di atas keragaman seharusnya dibina melalui pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan, bukan penistaan. Dalam pandangannya, partai politik seharusnya menjadi rumah bagi semua, bukan ladang untuk menanamkan ketegangan.
Gegap gempita pengakuan Nuruzzaman tak pelak memunculkan reaksi beragam. Di satu sisi, ada yang mendukung keberaniannya, menganggap kembali pernyataan tersebut sebagai panggilan untuk pulang ke akar nilai kemanusiaan. Di sisi lain, ada juga yang mencemooh, membawa narasi bahwa integritas politik diukur dari ketahanan terhadap serangan isu SARA yang terus-menerus. Namun, perlu diingat bahwa keberanian Nuruzzaman tidak hanya terletak pada tindakan mundur dari partai. Itu lebih kepada keinginan untuk melawan ketidakadilan yang mengemuka di depan mata.
Kritik yang dilontarkan oleh Nuruzzaman bukanlah semata-mata untuk merobohkan fondasi partai, melainkan mendorong para pemimpin untuk melakukan refleksi. Apakah mereka siap untuk menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka telah terjebak dalam permainan catur yang tidak bernilai, di mana setiap langkah hanya saus yang menyamarkan kondisi sebenarnya? Dalam pandangannya, elit politik seharusnya mengarahkan diskusi menuju substansi, menggugah kesadaran akan isu-isu mendasar yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Penting untuk dipahami bahwa pengakuan ini bukanlah celaan. Ini adalah lampu kuning yang berkedip, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga integritas moral dalam berpolitik. Adalah tugas kita sebagai bagian dari masyarakat untuk mencermati setiap tindakan yang dilakukan oleh para wakil kita. Jika mereka memilih untuk memainkan isu SARA, maka kita perlu bersikap kritis, mempertanyakan niat di balik setiap langkah yang diambil.
Selain itu, skenario ini juga mengharuskan kita untuk menghadirkan pendidikan politik yang lebih baik. Kesadaran kolektif akan isu SARA akan memberikan alat bagi masyarakat untuk menilai tindakan politik yang diambil. Ketika masyarakat menjadi lebih berpendidikan tentang dampak dari politik identitas, maka secara otomatis, mereka akan lebih tahan terhadap propaganda yang memecah belah.
Secara keseluruhan, pernyataan Nuruzzaman memunculkan debat yang sangat diperlukan dalam konteks politik Indonesia saat ini. Ibarat menari di tepian api, risiko yang ditawarkannya bisa berujung pada kebakaran yang lebih besar jika tidak dikelola dengan bijaksana. Saat kita merenungkan pengakuan ini, mari kita gunakan sebagai momentum untuk menciptakan politik yang lebih bersih, transparan, dan inklusif. Kita harus beraspirasi untuk menjadi arsitek masa depan, di mana keberagaman dihargai, bukan dijadikan senjata.
Dengan demikian, kita menyongsong perubahan yang lebih positif dalam politik Indonesia. Pengakuan Nuruzzaman adalah pengingat bahwa di tengah keterpurukan, terdapat secercah harapan. Mari kita pegang persepsi ini dengan teguh, berkomitmen untuk melawan permainan isu SARA demi menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan berkeadilan.






