Penguasa Cerita Bertajuk Rindu

“Kau tidak akan kembali hari ini, ya, Enu?” gumamku.

Pikiranku beragitasi, menelisik ingatan menuju tahun-tahun kita selalu bersama, dan sebaris senyum simpul mencuat dari bibirku. Saat itu malam dan kau mengajariku bagaimana sebuah rasa muncul dengan sederhana dan tiba-tiba.

Langit sedang bagus, mungkin sekawanan burung emprit juga berpikir begitu. Mereka tampak senang bergoyang pada setangkai runduk padi, emprit kecil lebih suka berkelon dengan induknya di sarang yang tergantung pada pohon arbei. Sedangkan ini bukan hari baik untuk ikan wader yang berada di ujung paruh burung blekok di petak sawah lainnya.

Aku senang di sini, sekadar rehat sejenak di sebuah gubug reyot sambil melempari langit dengan sekeping batu pipih, berharap sebuah nasib baik jatuh.

Aku adalah seorang bujang penjaja bibit tanaman, berkeliling aku berdagang dengan sepeda dan keranjang di belakang. Kukayuh lagi onthelku, sekali dua kali berhenti saat pembeli menghampiri. “Alhamdulillah,” syukur tipis terucap setelah dua lembar uang lima ribu bertukar dengan bibit pohon rembesi, lalu berkeliling lagi, begitulah aku sehari-hari.

Sudah pukul 5, jangan sampai aku terlampau petang. Ada senja yang harus diburu untuk dinikmati, dan kukayuh sepeda tua itu dengan kencang hingga sampai juga pada sebuah jembatan tinggi. Di bawahnya adalah lajur rel kereta api, di utara siluet gunung merapi, dan di barat sudah hampir tenggelam si mentari. Selain di gubug tadi, menikmati senja di sini adalah hobi.

Lihatlah, teman, di sana sudah menggulung sewarna lembayung seperti hendak membuka cerita yang dibawa angin dan membariskan harapan-harapan tersembunyi, lalu sekejap hilang. Aku tersenyum. Sudah cukup kuhabiskan waktu di jalanan, sekarang aku akan pulang untuk mengerjakan tugas sekolah.

“Nana, apa jual kembang anggrek?” suara orang bertanya, aku memutar pandangan.

Ah, kau adalah gadis yang tadi kulihat sedang duduk di atas sepeda motor. Mungkinkah juga sedang menikmati sore sepertiku?

“Duh, kebetulan saya tidak membawa hari ini. Jika berkenan besok bisa saya bawakan,” jawabku

“Oh iya, Nana, saya pesan satu. Jika ada yang berwarna merah.”

“Baik, bisa saya antar di mana?” tanyaku.

“Saya  sering melihat Nana di sini setiap sore, saya juga hampir tiap hari kemari menjelang petang. Boleh bawa ke tempat ini saja,” begitulah katamu dengan binar mata yang akan kuingat selalu.

Sudah berkali-kali berganti senja, kau memesan ragam satu jenis tanaman dan lainnya, kita bertemu di tempat yang sama dan waktu yang sama. Di jembatan layang saat senja, kau juga penggemar senja rupanya. Di sana juga kukenal namamu sebagai Ayu, entah lebih tepatnya itu nama atau gelar, yang jelas itu sesuai dengan parasmu.

Suatu ketika saat pulang misa hari Minggu, aku masih di sana bersamamu, kau tengah bercerita mengenai sekolahmu tapi kupotong karena aku harus pulang. Lambaian tanganmu dan ucapan sampai jumpa lagi mengiringi aku yang memutar sepeda. Tapi baru dua tiga kayu sudah harus aku berhenti memedal. Ban sepedaku bocor, sial.

“Kenapa, Nana?” tanyamu yang menghampiri.

Halaman selanjutnya >>>
Lalik Kongkar
Latest posts by Lalik Kongkar (see all)