Penguasa Cerita Bertajuk Rindu

“Sedang tidak bernasib mujur,” jawabku dengan menunjuk ban.

Aku ingat betul, saat itu kau bersikeras untuk membantu. Akhirnya aku terbujuk, kutitipkan sepedaku di sebuah warung, dan kau meminta aku menaruh keranjang daganganku di jok belakang motormu, lalu kita berbonceng bersama.

Kutunjukkan jalan menuju rumahku tapi pada persimpangan kau berbelok ke arah yang berbeda. Aku bertanya, tapi kau menjawab, “Ikut saja dulu,” dan aku diam.

“Apa ini rumahmu?” tanyaku saat kita berhenti.

“Ya, masuk dulu,” perintahmu.

Kutapaki lantai rumahmu yang beralas marmer, berbeda sekali dengan hunianku. Aku duduk di teras, dan kau masuk lalu kembali dengan membawa dua buah mangkuk.

“Sore tadi aku memasak ini, dan aku ingin menikmatinya denganmu sebelum kau kuantar.” Kuterima wadah berisi bubur kacang hijau buatanmu itu.

“Silakan dimakan,” katamu dengan mengangkat mangkuk, uap tipisnya masih keluar.

Kau menghirupnya dari dekat dengan senyum yang selalu kusuka. Kumasukkan sesendok ke mulut, sambil menatap lekat wajahmu, dan di situlah aku sadar: Aku jatuh cinta.

Entah berapa lama aku tersenyum sendiri di sini. Yang jelas senyum itu segera luruh saat aku tersadar. Kau belum juga kembali.

****

Sudah 5 tahun sejak saat itu, aku menunggumu di peron stasiun 6 jam sehari selama 2 bulan, tapi kabar tak muncul barang sebiji dari ponselku. Rumahmu kosong, dan aku tidak tahu di mana kau kini beralamat.

Jangan tanya kemana aku mengembara, gadisku, setengah pulau Jawa sudah kuhabisi untuk mencari, tapi jumpa tak kunjung temu. Kau adalah tanda tanya terbesar yang ingin kutahu di mana jawabannya. Hingga sampailah aku pada titik jengah, bosan, kecewa lalu kata serapah rajin keluar dari lisanku saban aku mengingatmu.

“Enu, kau gadis berengsek,” begitu batinku tiap mengingat namamu.

Waktu sudah dikokang dan dilesatkan, aku melanjutkan hidup. Kudapati satu hal mengenai ini. Kehilangan seseorang tidak akan membuat hidupku berhenti, bukankah aku masih bisa bergerak, berjalan, dan berlari? Bahkan kurasa lebih cepat.

Suatu hari di masa remajaku, aku berdiri di depan cermin kamarku, meraba semua bagian wajahku dan tak kutemu barang istimewa di sana. Mungkin itu alasan kau pergi? Atau karena dinding-dinding rumahku yang masih beranyam bambu ini?

Aku menghela napas panjang, membuat cermin di depanku berembun. Lalu kuusap dengan telapak tangan, dari pantulannya perhatianku tertuju pada tumpukan benda di atas meja. Tumpukan buku, ya aku harus meninggalkan kehidupan kere ini!

Halaman selanjutnya >>>
Lalik Kongkar
Latest posts by Lalik Kongkar (see all)