Penguasa Cerita Bertajuk Rindu

Hidupku sudah berganti, nasib baik juga menghampiri. Tapi biar begitu aku tidak bisa munafik, sampai aku menulis ini pun kau masih jadi penguasa cerita bertajuk rindu. Di depan meja kerjaku masih kubingkai dengan rapi potret kita berdua yang terlihat sangat bahagia, lengkap dengan catatan kecil yang dulu kau tulis. “Semangat, Mas, dunia tidak akan melunak. Kau yang harus jadi lebih kuat.”

Sering kuhabiskan berjam-jam menatap lembar foto kusam itu, dan rindu meluncur deras di setiap sendi dan pembuluh darahku, tapi jangan lupa soal rasa benci yang sudah mendidih merata di dada.

Beberapa bulan lalu aku berada di Bandung, mengisi perbincangan di sebuah forum menulis. Selepas acara, aku duduk-duduk di sebuah taman kota sambil minum jus dan menikmati sebatang rokok filter yang sudah kuisap setengah.

“Hai,” suara seseorang, sekiranya itu sapaan untukku karena begitu terasa dekat di sekitarku. Aku melengak, dan seketika kurasakan hawa dingin dari batu taman yang kududuki menjalar sampai dadaku lalu sesuatu yang hangat dan berdesir meluncur cepat di sekucur tubuh, seolah tulang-tulangku terlolosi dari tempatnya.

Tidak salah lagi itu adalah kau, gadis bernama Rina yang kupanggil Enu. Yang selama bertahun-tahun lalu kucari dengan susah payah, kini ada di depan pelupuk mataku tanpa ada rencana dan usaha.

Aku masih terbata dalam bisu, kau kian dekat dan malah merapat di samping dudukku.

“Kudengar Nana ada acara di sini lalu aku mampir. Sebenarnya aku mau mengacungkan tangan saat sesi tanya jawab tadi. Tapi karena aku di belakang, mungkin Nana tidak melihatku,” katamu pelan dengan senyum lembut. Cantik, kau bertambah jelita.

Aku masih diam, menahan sesuatu yang memberontak di dadaku. Entah binatang buas apa yang hidup dalam tubuhku, yang jelas kurasakan ada sesuatu yang meronta dari dalam. Menjerit dan berusaha melepaskan diri seolah dia sudah di kandang terlalu lama.

“Aku tidak tahu kalau sekarang Nana merokok,” kau bicara lagi

“Banyak yang berubah sejak kita tidak saling bertemu,” segera kujawab begitu kesadaranku kembali. Kucoba membuat sesimpul senyum mengejek di mulutku.

“Bagiku tidak, Nana masih duduk dengan cara yang sama seperti dulu,” kau berbicara dengan mata yang mengawasi sekumpulan kembang soka di depan kakimu.

“Bagaimana kau tahu aku di sini?” tanyaku.

“Cukup mudah mencari tahu di mana Nana berada. Surat kabar yang sering memuat tulisanmu dan internet.” Kau bicara dengan menggerlingkan wajahmu ke arahku. Debarku makin kurang ajar bergemuruh.

“Masih tinggal di Malang?” kau bertanya lagi.

“Aku lebih sering berpindah tempat sekarang,” jawabku berbohong.

“Yang kudengar di seminar tadi tidak begitu, Mas masih tinggal di alamat yang seperti dulu.”

Halaman selanjutnya >>>
Lalik Kongkar
Latest posts by Lalik Kongkar (see all)