Penguasa Cerita Bertajuk Rindu

Kini dapat kulihat lelehan air bening keluar dari matamu. Seketika musnah sudah amarahku, berganti dengan perasaan yang entah bagaimana aku merumusnya ke dalam tulisan ini. Aku hanya bisa mengatup rahangku kuat-kuat, sambil meremas lututku dengan keras. Bodoh, katakan saja. Tinus, kau adalah lelaki bodoh!

“ Maaf… maafkan aku,” dan air mata itu jatuh di rerumputan, dan isak tangismu pecah.

Runtuh sudah pertahananku, tak kuasa rasanya melihatmu bersimpuh di depanku dengan tangis. Dengan setengah sadar kupegang kedua tanganmu lalu mengangkatnya. Kurasakan waktu melambat, kuresapi betul bagaimana halusnya tangan yang lima tahun lalu begitu mudah kuraih kini sudah jadi milik orang lain. Aku mencoba membimbingmu berdiri lalu duduk kembali di sampingku. Kuhela napas panjang, lalu mengangguk.

“Dengan satu syarat,” kupaksa senyum tidak ikhlas muncul di wajahku.

“Apa itu?”

“Ceritakan bagaimana hidupmu. Berikan aku bagian-bagian baiknya saja.”

Kau menyeka air matamu. Setelah napasmu kembali pulih, kau mulai bercerita.

Kini aku tahu mengenai bagaimana hidupmu, jelas kau sudah bahagia dengan suamimu yang berprofesi sebagai polisi dan dua anak kembarmu. Tidak jauh berbeda dengan dulu, kau juga masih senang berburu senja. Tawa dan celotehmu pun kembali seperti bagaimana kita saling bergurau kala remaja. Sesekali kucuri pandang wajahmu dan dadaku berdesir.

Dua jam sudah kita berbincang di taman Dewi Sartika, aku sadar bahwa tiap detik aku bersamamu maka aku akan tenggelam lebih dalam ke sebuah kolam nostalgia yang tidak akan bisa terulang.

“Apa Nana masih mencintaiku?” Aku terkejut dengan pertanyaanmu yang tiba-tiba, aku memilih diam. Tak pantas aku berkata aku masih mencintai wanita yang jarinya sudah berinang.

“Sebaiknya Nana jawab sekarang, suamiku sudah menjemput di depan.” Aku terdiam, lalu hening. Kau merapikan tasmu dan berdiri mematung seolah menunggu jawabku.

“Aku bercanda, Nana, aku harus pulang sekarang. Terima kasih sudah memaafkanku dan obrolan hari ini tidak akan aku lupakan.” Kali ini dengan senyum aneh kau ulurkan tanganmu. Kita bersalaman.

Setelah berpamitan kau melangkah, baru lima tapak kaki, kau membalik badan.

“Bolehkah aku meminta nomor ponselmu?” aku menggeleng segera.

“Aku mengerti, Nana,” katamu sambil permisi dan pergi tanpa menoleh lagi. Kulihat dari kejauhan kau hampiri sebuah mobil keluarga berwarna hitam yang membawamu pergi dari kehidupanku. Dan sekarang tinggallah aku sendiri dalam rimba yang sepi.

Malang, yang tidak lekang waktu
Orang yang masih mencintaimu

Lalik Kongkar
Latest posts by Lalik Kongkar (see all)