
Program peningkatan kapasitas guru madrasah dan pesantren ini dirancang dengan model pelatihan khusus.
Ulasan Pers – Beberapa temuan hasil survei PPIM UIN Jakarta pada 2018, dalam rentang 6 Agustus hingga 6 September terhadap 2.237 sampel guru Muslim di Indonesia, menyebutkan terdapat sebanyak 10,01% guru Muslim memiliki opini sangat intoleran dan 53,06% memiliki opini yang intoleran secara implisit. Serta, 6,03% guru Muslim memiliki opini sangat intoleran dan 50,87% guru memiliki opini intoleran secara eksplisit.
Selain itu, dari segi demografis, guru perempuan memiliki opini intoleran yang lebih tinggi pada pemeluk agama lain, dan opini intensi-aksi radikal yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru laki-laki. Serta guru madrasah memiliki opini lebih intoleran pada agama lain dibandingkan guru sekolah. Guru sekolah atau madrasah swasta juga lebih intoleran dan radikal dalam hal opini dibandingkan dengan guru sekolah atau madrasah negeri di Indonesia.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta di atas, pada awal 2018, MAARIF Institute for Culture and Humanity juga merilis temuan riset yang dilakukan pada rentang Oktober-Desember 2017, terhadap 40 Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) negeri maupun swasta di Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Utara. Rilis ini seolah menguatkan hasil survei tersebut, yang menyebutkan bahwa proses masuknya radikalisme di sekolah melalui tiga pintu, yakni alumni, guru, dan kebijakan sekolah.
Hasil riset juga menemukan bahwa kebijakan tentang kegiatan pembinaan kesiswaan sering kali kontradiktif antara pusat dan daerah. Program pendidikan karakter yang telah dicanangkan negara sejak 2011 diterjemahkan oleh pemangku kebijakan daerah sebatas pada aspek keagamaan tertentu, sehingga menciptakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Pengakuan negara terhadap 3 dosa besar pendidikan, yang salah satunya adalah intoleransi, melalui Kemendikbudristek pada awal 2020 lalu, telah membawa angin segar bagi pendidikan di Indonesia. Pengakuan ini setidaknya telah membuka jalan bagi penguatan eksistensi dan kolaborasi damai antarumat beragama.
Untuk itu MAARIF Institute bersama dengan Institut Leimena menginisiasi Program Internasional Peningkatan Kapasitas Guru Madrasah dan Pesantren dalam Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB). Program ini juga mendapatkan dukungan penuh dari Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, LP2M PP Muhammadiyah, RBC Institute A. Malik Fadjar, dan Templeton Religion Trust.
“Melalui program ini, kami memandang dan berharap, peran guru atau pendidik merupakan salah satu pendekatan yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai toleransi di tengah realitas kehidupan bangsa yang majemuk.”
Program peningkatan kapasitas guru madrasah dan pesantren ini dirancang dengan model pelatihan sinkronus (online) dan asinkronus (offline/mandiri). Sebagai tahap awal, program ini menyasar kepada kepala dan guru-guru madrasah/pesantren Muhammadiyah di 4 wilayah, di antaranya: Lampung, D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sejak Oktober lalu, pelatihan ini telah menghasilkan tiga angkatan pelatihan. Pelatihan angkatan pertama dilaksanakan pada 4-8 Oktober 2021, yang diikuti oleh 225 guru; pelatihan angkatan kedua dilakukan pada 11-15 Oktober 2021, yang diikuti oleh 239 guru; dan pelatihan angkatan ketiga dilakukan pada 25-29 Oktober 2021, dan diikuti 194 guru.
“Saat ini kami tengah melaksanakan pelatihan untuk angkatan keempat, yang akan berlansung sejak tanggal 1-5 November 2021.”
Baca juga:
Dalam ceramah kuncinya Prof. Syafiq A. Mughni, Ph.D., Ketua PP Muhammadiyah, menyampaikan, “Bagi masyarakat Muhammadiyah khususnya dan masyarakat umat beragama pada umumnya tentu harus menjadi pijakan bumi di mana kita injak dan kita junjung bersama, dan kemudian kita mendayung diantara kehidupan plural itu sehingga kita bisa mencapai tujuan bersama yang kita cita-citakan.”
Beliau juga menyampaikan, pendidikan adalah wahana penting untuk mencapai kebajikan hubungan lintas agama dan lintas budaya.
Selain itu Prof. Syafiq mengingatkan perbedaan, pluralitas, atau heterogenitas adalah fitrah (given) yang dibawa sejak nenek moyang bangsa Indonesia sampai saat ini.
“Sebagai organisasi masyarakat baik Institut Leimena maupun MAARIF Institute tidak punya penjara atau polisi tapi kita punya kewajiban moral. Segala kemampuan intelektual dan hati nurani yang kita miliki tentu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menegakkan keadilan dan kedamaian.”
Sebelumnya, dalam paparan sambutannya, Abd. Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif MAARIF Institute, menyampaikan bahwa guru adalah komponen penting dalam proses pendidikan. “Sebagus apa pun materi pelajaran, tapi akan sia-sia jika disampaikan oleh guru yang tidak memiliki kapasitas.”
Sejalan dengan itu, Matius Ho, Direktur Eksekutif Institut Leimena, mengatakan LKLB adalah pendekatan baru untuk membangun rasa memahami, menghormati, dan persahabatan yang tulus antarumat beragama. “Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, madrasah dan pesantren memiliki peran penting dan akan ikut menentukan wajah kerukunan umat beragama di masa depan.”
Pada sambutan perwakilan dari Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, H.R. Alpha Amirrachman, M.Phil., Ph.D., Sekretaris Majelis, berharap program peningkatan kapasitas ini bisa mendorong para guru mengintegrasikan prinsip LKLB dalam pengajaran di kelas.
“Kita belajar dari siapa saja, di mana saja. Insyaallah, ilmu yang kita dapat bisa bermanfaat untuk kehidupan kita, kehidupan madrasah kita, dan kehidupan anak-anak didik kita kelak di kemudian hari.”
Pada sambutan terakhir mewakili Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2M) PP Muhammadiyah, Dr. Maskuri, ketua lembaga, menyampaikan bahwa warga perserikatan Muhammadiyah harus selalu memiliki cara berpikir tidak miopik atau sempit, sebaliknya luas dan luwes agar bisa bergaul dengan masyarakat berbeda budaya, agama, dan lainnya.
“Literasi keagamaan lintas budaya meskipun istilah baru, tapi bagi Muhammadiyah bukan hal asing karena KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah pergaulannya sangat luas tidak terbatas tokoh internal agama Islam tapi lintas di luar agama Islam.”
Baca juga:
Selama pelatihan lima hari, peserta diajak untuk memahami LKLB melalui tiga kompetensi, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi komparatif, dan kompetensi kolaboratif. LKLB secara sederhana dirangkum sebagai “You, The Other, and What You Do Together”.
Artinya, bagaimana kita memahami spiritualitas atau ajaran agama kita sendiri dalam berhubungan dengan orang lain (You), selanjutnya bagaimana kita memahami kerangka moral dan spiritual orang lain sebagaimana pemahaman orang tersebut (The Other), dan terakhir, memahami titik temu untuk bisa membangun kerja sama dan kolaborasi dengan orang yang berbeda (What You Do Together).
Peserta diajak memetakan tiga kompetensi melalui sesi-sesi dibawakan oleh Prof. Dr. Alwi Shihab (Senior Fellow Institut Leimena), Prof. Dr. M. Amin Abdullah (Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta), Dr. Chris Seiple (Senior Research Fellow), Rabi Dr. David Rosen (Board of Directors King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue), Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat Lebang, MA (Ketua Umum Lembaga Alkitab Indonesia), Dr. Muhbib Abdul Wahab (Dosen UIN Syarif Hidayatullah), Drs. Unang Rahmat MM (Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah), Dra. Yayah Khisbiyah, M.A (Lektor Kepala Universitas Muhammadiyah Surakarta), dan masih banyak lagi.
Program pelatihan ini diharapkan bisa membuka titik temu untuk membangun kerja sama dan kolaborasi antarumat beragama. Secara khusus, nilai-nilai LKLB bisa tertanam dalam diri peserta didik agar tercipta kebaikan untuk masyarakat, bangsa, dan negara.
- Memasuki Dua Dekade, MAARIF Institute Perkuat Komitmen Mengawal Visi Perjuangan Buya Syafii - 2 Maret 2023
- MAARIF Institute Dukung Penuh Kepolisian Usut Tuntas Bom Bunuh Diri - 12 Desember 2022
- Indonesia Kehilangan Pejuang Islam Wasathiyah yang Tercerahkan - 19 September 2022