
“Penyebar Islam di Mandar adalah Syeh Abdurrahman dan Syeh Abdurrahim Kamaluddin. Artinya, Mandar dijaga oleh Rahman di gunung dan Rahim di pesisir.” Itu versi seorang kawan padaku, seorang laki-laki yang merupakan anggota dari suatu organisasi pemuda Islam yang idealis.
Itu dulu yang diungkapkan padaku beberapa tahun yang lalu, 2012, ketika aku sedang menyusun tesis Imam Lapeo wali dari Mandar, Sulawesi Barat. Kami banyak berdiskusi tentang tokoh-tokoh ulama, wali-wali yang ada di Mandar. Namun, saat itu aku belum mengerti apa maksudnya. Yang kutangkap hanyalah banyak wali yang hadir di Mandar sebelum Imam Lapeo.
Dari kota lain seperti Jogja dan Makassar, aku memang telah berkali-kali ke Mandar karena memang bersuku Mandar sekaligus pulang ke kampung halaman ke Sulawesi Barat. Di sana, selain bersilaturahmi, aku dan keluarga juga berziarah ke beberapa makam (kubur), petilasan, dan lain-lain ke mana-mana, tetap saja belum mengenal Mandar dengan baik dan benar.
Aku baru sedikit “ngeh” ketika memang sudah ditakdirkan tinggal dan mengabdi di Mandar sejak lulus kuliah. Dulu, biasanya kami pergi berziarah bersama ibu atau ummiku yang juga suka berziarah, ia bisa mendapat gelar sebagai sarjana kuburan (sarkub). Ummiku senang sekali mengajak kami pergi berziarah. Kini, aku terkadang pergi bersama sanak saudara, sepupu, dan teman-teman.
Saat ini, berziarah bagiku mungkin lebih kepada keinginan sendiri, bukan karena disuruh oleh ummiku atau diajak olehnya atau lebih tepatnya lebih kepada panggilan jiwa. Seperti saat ini, kami ingin menyiarahi makam orang yang selamat di Lambanan “to masalama Lambanan” yang lain. Jika kemarin kami telah menyiarahi makam Syeh Musaftabullah atau annangguru Malolo, kali ini makam to salama yang terletak di atas gunung Desa Lambanan, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Menurut Pua Kaco, bapak yang akan mengantar kami berziarah, makam di atas gunung adalah makam “to salama Lambanan” yang merupakan guru dari annangguru malolo yang digelar dengan to masalama iya malah mambare dadua alewana, maajuma toi diong maajuma toi dio Pallis; orang yang selamat yang bisa membagi dua dirinya karena beliau bisa berada di dua tempat secara bersamaan, berada di bawah (Lambanan) dan daerah Pallis.
Sumur Tua dan Langgar Pertama di Lambanan
“Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara…”
Pua Kaco mengantar kami menuju ke atas gunung Lambanan. Kami ke atas selain bersama Pua Kaco juga dengan keponakannya, bapak dan ibu, suami-istri yang baik hati yang bersedia menemani kami berziarah dan bercerita berbagai hal kepada kami. Ada tiga motor yang beriringan naik ke atas gunung; aku dan Ammoz, Ani dengan ibu yang baik hati, dan bapak yang membonceng Pua Kaco.
Pemandangan di atas gunung sangat indah. Sejauh mata memandang, hampir semua terlihat hijau. Gunung-gunung tampak terlihat di semua sisi. Terlihat juga rumah-rumah penduduk di pesisir yang tampak berwarna-warni karena perbedaan catnya, dan langit terlihat begitu biru, cerah sekali.
Sekitar sepuluh menit melakukan perjalanan, kami berhenti pada suatu jalan yang menuju ke arah bawah (penurunan) yang tampak penuh dengan pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan. Untung Pua Kaco membawa parang (pisau besar), ia kemudian membabat hampir semua pohon-pohon dan rumput yang menghalangi jalan setapak.
Untungnya lagi, cuaca hari ini bagus, tidak hujan, jalanan tidak becek walau tampak ada yang basah. Tampaknya tanahnya subur, gembur, dan lembab, mungkin juga karena pengaruh di bawah areal pohon bambu, dan pohon aren yang banyak.
Kami tiba di sebuah sumur tua namun tidak terlihat lagi sebagai suatu sisa benda kuno. Tepat, seperti kata seorang teman, Muja yang sudah pernah ke sini sebelumnya, melalui chat di WhatsApp sambil menyertakan foto sumur yang terlihat biasa saja ia mengatakan, “Sumur dekat langgar pertama di Lambanan, kak. Sayang dipugar warga. Keaslian sumurnya tidak kelihatan.”
Iya, memang sangat disayangkan. Entahlah, mungkin karena kita memang yang tidak banyak paham tentang nilai historis atau memang kita memang lebih suka pada sesuatu yang baru.
Muja juga menambahkan bahwa sumur ini sebagai sumber air bagi orang di langgar yang merupakan tempat dimandikannya murid-murid to salama setelah masuk Islam. Jika diperhatikan, mata air sumur ini sangat kecil berasal dari sebatang bambu kecil. Air menetes setetes demi setetes demi mengisi sumur yang kurang lebih sedalam tiga sampai empat meter. Sumur itu dibentuk dengan beberapa cincin sumur.
Aku kurang tahu jika ada kisah spiritual sebelum adanya mata air atau sumur ini, seperti kisah sumur atau passauang lawas di Majene, Sulawesi Barat. Di mana sumur itu ada karena Syeh Abdul Mannan seorang penyebar agama diperkirakan pada abad ke-16 yang dimakamkan di Salabose. Petilasan beliau merupakan tiga sumur yang airnya terus melimpah ruah “passauang lawas” konon katanya itu karena ketukan Syeh ketika tidak mendapatkan air untuk berwudu sehingga beliau mengetukkan tongkatnya ke tanah lalu muncullah mata air (sumur) yang airnya tidak pernah kering hingga saat ini, masyaallah.
Kemudian kami tiba pada areal perkebunan cokelat (kakao) yang katanya di sana dulu adalah langgar yang pertama kali didirikan di Tangnga-Tangnga, di tengah-tengah perkampungan penduduk di atas gunung yang kemudian dialihkan oleh Raja Balanipa ke arah pesisir, sehingga langgar pun bergeser ke sana. Di sana kini hanyalah pohon cokelat dan sebuah pohon kapuk yang sangat besar yang mungkin sudah berumur puluhan tahun atau lebih.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan. Rupanya, tadi kami telah melewati makam to salama sebelum tiba di sumur tua dan langgar pertama. Makam itu terletak di tanah lapang di atas ada pohon dan sebuah rumah yang berukuran kecil, makam to salama Lambanan yang bisa membagi dua dirinya.
Menurut Muja, ia mendapatkan informasi jika makam ini adalah makam Syeh Abdurrahman dikisahkan beliau juga yang memiliki empat puluh (40) pengikut pertama yang diistilahkan dengan moking pattapuluh (mukim empat puluh). Senada dengan Muja, Pua Kaco juga mengatakan, ketika murid beliau sudah berjumlah empat puluh, beliau pun mendirikan masjid karena ketika jemaah sudah berjumlah empat puluh maka didirikanlah masjid.
Kami pun menyiarahi makam yang terlihat kuno itu. Penandanya dari batu yang berbentuk ragam hias zaman dulu yang tidak begitu kumengerti apa namanya. Di sampingnya, banyak penanda yang lain namun berukuran lebih kecil. Hanya to salama ini penandanya yang terlihat lebih besar dan sudah disemen pada ukurannya.
Ketika Pua Kaco mengatakan to salama yang di atas gunung ini adalah guru (Syeh Abdurrahman), beliau adalah guru dari Annangguru Malolo atau Syeh Musaftabullah, saat aku pun seperti tersadar. Inilah yang disebut Rahman yang dikatakan kawan padaku, Rahman yang di atas gunung, Rahim (Syeh Abdul Rahim Kamaluddin) yang dimakamkam di pulau To salama, Binuang, Polewali di daerah pesisir yang menjaga Mandar.
- Kita Punya Level Kebucinan yang Berbeda-beda - 26 Februari 2023
- Masih Maukah Kita Mengetahui Masa Lalu dari Masjid Tenggelang? - 21 Februari 2023
- Maharani Poktowuna, Perempuan Mandar yang Cantik dan Berambut Panjang - 20 Februari 2023