Penundaan Pemilu seperti Fantasi Kosong menjadi Fantasi Seksual

Relasi antara fantasi seksual dan kuasa pengetehuan tertandai dengan kehadiran informasi sebagai cara pengetahuan muncul melalui survei.

Kelompok masyarakat yang terepresentasikan oleh responden akan membuat diri menggeliat, mendesah hingga merapuh saat makin tertarik dengan informasi, maka makin tinggi pengetahuannya untuk menolak wacana penundaan pemilu.

Mempermasalahkan wacana penundaan pemilu hanyalah fantasi kosong karena melibatkan jalinan antara pemerintah yang menegaskan tidak pernah membahas rencana penundaan pemilu dan suara rakyat sebagai pihak yang menyoroti “kegenitan” elite politik.

Selain melanggar konstitusi hingga alasan kemerosotan demokrasi karena akan membuka jalan bagi rezim otoritarian, tidak lebih juga sebagai fantasi kosong dari elite politik di negeri ini.

Tetapi, cobalah elite politik menggunakan fantasi seksual. Bapak-bapak yang di Senayan kita harapkan masih tetap berada dalam “status kodratinya” berupa fantasi seksual tanpa menabrak konstitusi dan tanpa ancaman masa depan reformasi.

Bisa kita katakan, fantasi seksual orang dewasa dari para elite politik tidak akan berhubungan dengan psikiater. Hanya fantasi kosong akan berhubungan dengan kritisisme sosok intelektual jika elite politik bersikukuh pada mengenai wacana penundaan pemilu bertentangan dengan data dan fakta kehidupan di negeri kita. (beritasatu, 5/3/2022)

Bagaimanapun juga, tampaknya terjadi pengondisian ganda, yang tercermin dari bentuk pernyataan-pernyataan.

Lebih baik di tingkat elite politik berpikir dalam konteks pengondisian ganda. Cuma sayangnya, pengondisian ganda menimbulkan kecurigaan dan mengundang banyak penafsiran dari sejumlah pihak yang menolak wacana penundaan pemilu.

Baca juga:

Suatu strategi yang khas negara jalankan, di mana pengondisian ganda memang cair, tetapi masih terlihat sebagai sesuatu yang tidak tegas dan lamban pergerakannya.

Sebagaimana tanggapan dari sejumlah pengamat, mengatakan bahwa pernyataan presiden tidak tegas dan lamban. Bagi negara lewat pernyataan presiden menunjukkan diri sebagai sosok strategis.

Bagi pengamat, pernyataan presiden justru menjadi rahasia terselubung yang membuatnya berfungsi saat wacana penundaan pemilu bergulir di ruang publik.

Pernyataan dari puncak tertinggi negara justru bagian dari strategi. Demikian halnya ketika pernyataan Presiden Indonesia telah terapreasiasi karena arahnya pada ketundukan atau ketaatan pada konstitusi. (kompas, 07/03/2022)

Meskipun sebagai penanda kebebasan berpendapat, wacana penundaan pemilu memungkinkan untuk mengamandemen konstitusi. Begitulah penilaian yuridis-politis. Pernyataan secara resmi bukanlah proyeksi mutlak dari kepala negara pada pemihakan tertentu, tetapi kepentingan terselubung.

Sekadar strategi penjinakan saja tidak mempan untuk menggoda orang-orang di ruang publik. Karena apa? Tidak lain dari masyarakat berada di era media sosial, yang meledak keluar dan sulit untuk terinterupsi aliran bebas wacana seketika membludak.

Berkat ketransparanan media sosial, sehingga membuat sebagian besar masyarakat pun tidak meniru para elite politik tergesa-gesa dan ikut larut untuk menyerukan wacana penundaan Pemilu 2024.

Berbagai alasan penundaan pemilu terutarakan dan aneka strategi pembujukan dari segelintir elite politik, yang ternilai telah terpisah dengan induk partai politik. Para elite cenderung lebih dekat dengan lingkaran kuasa negara, yang memupuk manuver untuk meningkatkan rangsangan fantasi seksual kepentingan di balik wacana.

Halaman selanjutnya >>>
Ermansyah R. Hindi