Peran Intelektual dan Peradaban Politik

Peran Intelektual dan Peradaban Politik
Dok. Pribadi

“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya; tanpa kita mengerti tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapilah.” – Pesan untuk peran intelektual dari Soe Hok Gie.

Kutipan itu, saya kira, bukan pesimistis belaka, melainkan sensasi peradaban!

***

Kesibukan nasional kita belakangan ini adalah menonton politik. Terdapat panggung debat calon presiden dan calon wakil presiden yang telah usai, terdapat pula panggung debat tim suksesnya, entah itu di TV, YouTube, atau media sosial. Dalam suasana itu, yang terus-menerus mereka pertontonkan adalah tentang visi-misi para kandidat.

Yang menjadi persoalan adalah kepada siapa slogan, janji, dan citra itu tertuju? Apakah kepada mayoritas masyarakat yang 60 hingga 70 persen berpendidikan rendah?

Pada kelompok ini, politik bukanlah apa yang terumuskan dalam visi-misi, melainkan apa yang langsung dapat kita nikmati hari ini. Dengan sangat mudah kita dapat memprediksi pilihan politik kelompok ini, yakni adalah menurut, tergantung, sami’na wa atho’na pada the informal leaders, entah itu ulama/kiai, kerabat dekat, pemimpin komunitas, bahkan penyuap gelap.

Hal yang sebaliknya, apabila visi-misi tersebut benar-benar tertuju untuk merangkul kaum profesional dan pemilih rasional, yang menjadi persoalan bukanlah slogan visi-misi tersebut, melainkan pada implikasi kebijakannya. Mereka akan mengkritisi pada tataran dampak kebijakan akan terlihat kontradiktif, irasional, dan inkoheren yang dipaksakan terhadap kondisi konkret masyarakat, baik dalam segi ekonomi, kebudayaan, maupun sosialnya.

Lalu apa peran intelektual dalam kondisi peradaban politik yang demikian?

Mengabstraksikan Fenomena Peran Intelektual

Upaya memproyeksikan gagasan dan problem sosial suatu bangsa ke dalam lautan imajinasi kebudayaan adalah peran intelektual. Dengan semangat itu, kita mendapat pegangan konseptual untuk menghasilkan sejarah bangsa. Artinya, kita dapat mengenali peran intelektual apabila ada perdebatan berkualitas tentang imajinasi kebudayaan, bahkan secara global.

Tantangan besar bangsa kita hari ini adalah mewujudkan masyarakat terbuka dengan keadilan dan kesejahteraan sebagai tujuan bersama, sebagaimana Bung Hatta dalam bukunya Demokrasi Kita, bukan isu tentang bergantinya ideologi negara menjadi negara agama. Hal tersebut mendapat asumsi dasarnya dari tujuan reformasi, yaitu pendidikan politik rakyat.

Karena, bagaimana mungkin keadilan dan kesejahteraan bersama terselenggara bila setiap warga negara yang mengalami dampak kebijakan publik tersebut tidak berlaku sebagai subjek rasional?

Sederhananya begini, ketika keadilan terimplementasikan dalam kebijakan dan aksi, akan sering terjadi benturan di masyarakat. Suatu hal yang ideal, bahkan dari proposal capres dan cawapres, terkadang perlu kita kontekstualisasikan dengan kondisi masyarakat.

Dengan demikian, membuka pintu peluang bagi masyarakat untuk mempertanyakan kembali apakah kebijakan itu baik dan sesuai dengan kondisi mereka adalah suatu keharusan. Maka perlu daftar kebijakan, hak dan kewajiban, namun apakah masyarakat memiliki akses bahkan pengetahuan untuk membaca daftar tersebut.

Jadi, kita perlu pisahkan psikologi massa yang ditakut-takuti dengan isu bergantinya ideologi negara dan lain sebagainya, dengan mengeksplorasi visi-misi para kandidat. Untuk itu, dasar penyelenggaraan komunikasi politik yang sehat dapat terjadi apabila setiap warga negara berlaku sebagai subjek politik rasional dengan berlakunya kurikulum politik publik. Kurikulum tersebut mengabstraksikan fenomena dan terajukan dalam lautan imajinasi kebudayaan.

Adalah tugas dari capres dan cawapres untuk memproduksi proposal sosial masing-masing yang kemudian saling mereka perdebatkan dan akhirnya mereka edarkan menjadi bahan perbincangan publik. Proposal itu harus masuk dalam pikiran publik supaya terprovokasi untuk menggunakan hak paling dasar warga negara, yakni terlibat dalam pembuatan kebijakan publik.

Provokasi ini cukup hidup dengan adanya pengamat politik Rocky Gerung. Akan tetapi, efeknya tidak maksimal sampai pada kelas menengah bahkan kelas masyarakat bawah. Sehingga kotak suara 17 April itu sepertinya tidak terpenuhi oleh suara para pemilih rasional, namun para penonton primordial.

Apabila demikian, yang dapat menjadi penyalur nafas kebudayaan adalah para intelektual di mana pun itu, entah di seminar, ruang diskusi, kantor, meja kabinet, bahkan warung kopi sekalipun, dengan membuka ventilasi politik untuk dialiri imajinasi. Imajinasi kebudayaan menjadi mungkin sebab kebudayaan selalu berada dalam wilayah interpretatif, selalu tertafsirkan.

Halaman selanjutnya >>>

Moch Zainul Arifin
Latest posts by Moch Zainul Arifin (see all)