Peran Intelektual dan Peradaban Politik

Politik yang imajinasi kebudayaan asuh akan memunculkan harapan. Bukan harapan akan dogmatis, melainkan harapan akan keadilan historis. Upaya itu pertama-tama perlu kita mulai dengan memeriksa seluruh proposal yang terajukan dari para kandidat; apakah hal-hal ideal yang mereka janjikan cocok dengan kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat.

Demokrasi, karena itu, memerlukan sebuah argumentative society, yaitu kondisi kebudayaan di mana transaksi politik kita periksa secara rasional, sehingga kemasukakalan sebuah gagasan dari para kandidat dapat kita perbincangkan dan kritik sebagai warga negara. Para intektual adalah mereka yang menguji demokrasi dan merawatnya dengan jalan menjembatani kemasukakalan sekaligus ketidakmasukakalan kebijakan dalam argumentasi rasional warga negara.

Momentum dan Gerakan Sosial

Mengapa harus warga negara? Bukankah tugas itu dapat DPR dan partai politik lakukan?

Memang! Namun status ontologi warga negara lebih tinggi dari keanggotaan partai politik. Tanpa warga negara, demokrasi tidak akan terselenggara, namun politik dapat berjalan tanpa partai politik. Untuk itu, electoral politics tidak boleh menghalangi prinsip primer demokrasi, yakni citizenship politics. Apalagi warga negara terkena dampak langsung dari kebijakan proposal yang terajukan.

Sedangkan DPR dan partai politik, setelah suara pemilu legislatif terselenggara dan terkumpul, maka pemetaan politik koalisi telah usai. Peta itu adalah dasar pembagian kekuasaan di DPR.

Bagi partai, statistik pemilu adalah alat transaksi politik pemilu presiden 2024 bila presidential threshold masih berlaku. Jadi, hanya begitulah rutinitas politik formal terselenggara, namun ruang imajinasi intelektual dalam format politik transaksional tidak diperlukan, karena tidak terdapat kegelisahan eksistensial yang bernafas dari politik semacam itu.

Politik intelektual salah satunya bergerak dalam gerakan sosial, gerakan HAM, gerakan perempuan, aktivis lingkungan, dan gerakan budaya. Dalam platform politik kiri, misalnya, terdapat momem kekosongan (dalam term Zizek) atau event (dalam term Badiou) untuk menerangkan jalan menuju transformasi politik, sosial, kebudayaan, bahkan reforma agraria secara total.

Dalam konteks masyarakat demokratis Indonesia, momen itu sebetulnya ada pada pilpres, momen kekosongan kekuasaan. Apabila dalam rezim totaliter, momen itu tepat muncul dengan revolusi atau reformasi seperti 1965 dari Soekarno ke Soeharto dan 1998 dari Orde Baru ke orde demokrasi yang menghasilkan perubahan total.

Baca juga:

Namun, sialnya, dalam sejarah, pengetahuan akan momentum itu selalu kita mengerti setelah momen itu berakhir. Misal pada Malari 1974, pilpres 2004, 2009 dan 2014 yang tidak terjadi perubahan total. Maka selalu ada keterlambatan historis sehingga energinya tidak cukup dan menjadi lembek saat kita butuhkan pada perubahan radikal.

Untuk itu, memang, bagi banyak gerakan sosial, para kandidat yang tersedia tidak memiliki kapasitas yang diharapkan mencapai perubahan radikal, entah itu karena trade record atau tidak independen. Sehingga kampaye golput marak di mana-mana. Tetapi politik alternatif yang dapat dicapai, setidaknya, sebetulnya harus dari dulu, adalah di parlemen sebagaimana asal-usul memilih parlemen dalam buku Parlemen atau Soviet karya Tan Malaka.

Bagi gerakan perempuan, adalah memaksimalkan affirmative action (kuota 30% perempuan di parlemen)dengan perempuan-perempuan yang memahami isu gender (bukan sekadar perempuan) untuk menuntun kebijakan publik yang tentu akan berimbas pada sosial dan budaya berbasis gender equality supaya peradaban patriarki terkikis sedikit demi sedikit. Demikian gerakan sosial lain, yang setidaknya dapat menyelundupkan dan menyodorkan ide HAM, ekologi, dan budaya yang telah terolah sedemikian rupa ke dalam partai dan parlemen.

Di samping itu pula, mendidik civil society adalah suatu keniscayaan. Sebagaimana dari awal tadi, hak mendasar warga negara adalah terlibat mengawasi kebijakan publik. Maraknya hoaks, atau dalam tradisi akademis post-truth atau posmodernisme, menyebabkan bercampurnya yang benar dan yang salah. Dalam kondisi demikian, setidaknya penalaran kita tetap bagus dan lurus, bahkan menjadi fakta baru.

Rasionalitas tersebut dapat mencontoh metode analisis para pendiri bangsa. Yaitu dengan melihat tidak hanya kondisi internal republik, melainkan sekaligus menganalisis kondisi global; seperti Tan Malaka melalui bukunya Naar de Republiek Indonesia; Sutan Sjahrir dengan bukunya Perjuangan Kita; Soekarno dengan Mencapai Indonesia Merdeka; dan Bung Hatta dengan Mendayung Antara Dua Karang. Buku-buku dari founding fathers tersebut adalah basis cara melihat Indonesia yang harus setiap warga negara baca.

Terakhir, tentang pasca-pemilu, kita akan kembali pada kondisi konkret politik nasional. Yang perlu gerakan sosial dan para intelektual awasi adalah integritas kinerja KPK. Sebab bergantinya elite, yang pasti di legislatif, entah apa juga terjadi di eksekutif, akan berdampak pada perlindungan pintu belakang para koruptor.

Sebetulnya, fungsi KPK adalah lembaga hukum yang membantu polisi dan jaksa menangkap koruptor. Tetapi dua lembaga ini jarang sekali menangkap koruptor sehingga kinerja KPK yang jadi keutamaan. Di samping itu pula, terus mengawasi perumusan kebijakan. Dengan demikian, beratkah menanggung peran intelektual seperti itu?

***

Ada yang berubah, ada yang bertahan
Karena zaman tak bisa dilawan
Yang pasti kepercayaan harus diperjuangkan

~ Chairil Anwar

Kutipan itu, saya kira, bukan pesimistis belaka, melainkan keyakinan akan kemampuan!

Moch Zainul Arifin
Latest posts by Moch Zainul Arifin (see all)