Perbandingan Elektabilitas Capres Jelang Pilpres 2014 dan 2024

Perbandingan Elektabilitas Capres Jelang Pilpres 2014 dan 2024
©SMRC

Nalar Politik – Rilis survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bertajuk “Prospek Partai Politik dan Calon Presiden: Kecenderungan Perilaku Politik Pemilih Nasional” hari ini (28/12) menggambarkan secara jelas bagaimana perbandingan elektabilitas capres jelang Pilpres 2014 dan 2024 (dua calon teratas dalam semiterbuka).

Di jelang Pilpres 2014, tepatnya pada Desember 2011 atau sekitar 2,5 tahun menjelang pemilihan, Megawati Soekarnoputri mendapat dukungan paling besar 19,8 persen, disusul Prabowo Subianto dengan perolehan 12,1 persen. Capaian dukungan untuk keduanya cenderung stagnan dari Maret 2010 ke Desember 2011.

Meski nama Joko Widodo belum muncul waktu itu, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut akhirnya mampu unggul di hari-H.

Sementara, pada Desember 2021, sekitar 2,5 tahun menjelang Pilpres 2024, giliran nama Prabowo Subianto yang mendapat dukungan paling besar, yakni 19,7 persen. Perolehan dukungan untuknya relatif seimbang dengan capaian Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yakni 19,2 persen.

Ketika dukungan pada Prabowo cenderung stagnan dari Maret 2020 ke Desember 2021, yakni dari 19,5 persen menjadi 19,7 persen, dukungan untuk Ganjar malah menguat drastis, yaitu dari 6,9 persen menjadi 19,2 persen.

“Karena Pemilu 2024 kondisinya sama dengan 2014, yakni sama-sama tidak ada petahana, apakah Ganjar akan unggul di Pilpres 2024 bila dicalonkan karena sudah lebih cepat muncul dan kompetitif dibanding Jokowi menjelang 2014?” jelas SMRC dalam rilisnya.

Untuk menjawab satu problem dalam perbandingan elektabilitas capres itu, SMRC menampilkan analisis hubungan “tahu” dan keterpilihan tokoh.

“Banyak faktor yang menentukan pemilih memilih seorang calon presiden. Secara psikologis, kognisi (pengetahuan) tentang calon adalah syarat dasar bagaimana pemilih memilih,”

Bisa saja, misalnya, pemilih memilih calon A karena hanya tahu A, tidak tahu calon yang lain. Namun, bila pemilih tahu semua calon yang bersaing, yang menentukan selanjutnya bukan lagi “tahu”, tapi faktor lain, termasuk “suka” pada calon.

“Kesukaan kemudian lebih menentukan dari sekadar tahu.”

Baca juga:

Pertanyaannya, bagaimana tingkat tahu dan tingkat suka pemilih pada nama-nama yang banyak disebut mungkin akan jadi calon presiden?

Memang, dalam hal tahu tokoh (kedikenalan), Prabowo dikenal oleh hampir semua pemilih (96 persen). Anies dan Sandi pun demikian, masing-masing dikenal luas oleh 86 persen dan 80 persen pemilih.

Namun, untuk hal suka tokoh (kedisukaan), Prabowo hanya disukai oleh 71 persen pemilih dan Anies 74 persen. Angka ini tergolong tidak tinggi untuk tokoh yang punya popularitas kuat. Hal berbeda ditunjukkan Sandi yang cenderung lebih disukai pemilih (80 persen).

“Sejumlah nama tingkat kedikenalannya sementara masih rendah (di bawah 80 persen) tapi kedisukaannya relatif tinggi (di atas 80 persen) adalah Ganjar (tahu 67 persen, suka 86 persen), Khofifah (tahu 51 persen, suka 81 persen), dan Ridwan Kamil (tahu 66 persen, suka 80 persen). Apa implikasi semua ini?”

Karena untuk dipilih seorang yang dikenal harus disukai, maka untuk sementara yang paling kompetitif untuk dikampanyekan bagi SMRC adalah Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Ganjar Pranowo, dan Khofifah.

“Kenaikan kedikenalan mereka potensial menaikkan elektabilitas mereka karena punya tingkat resistensi (tidak suka) yang lebih kecil dibanding nama-nama lain. Nama-nama itu, kalau disosialisasikan secara intensif, kemungkinan akan mendapat elektabilitas lebih baik daripada nama-nama lain.”

Dari temuan SMRC ini, dalam setahun terakhir, awareness pada Ganjar tampak naik signifikan (dari 54 persen menjadi 67 persen). Tak salah ketika elektabilitasnya pun dalam semiterbuka ikut naik cukup pesat dari 8,2 persen menjadi 19,2 persen.

“Mereka yang potensial tersebut bukan ketua atau elite inti partai. Ini tantangan bagi elite partai bahwa pemilih lebih menyukai tokoh-tokoh di luar elite inti partai.”

Baca juga: