Percuma Lapor Polisi

Percuma Lapor Polisi
©Tempo

Nalar Politik – Istilah percuma lapor polisi kian terbukti setelah Lydia (nama samaran) melaporkan kasus dugaan pemerkosaan terhadap tiga anaknya ke Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Alih-alih mendapatkan keadilan, sang ibu bahkan dituding punya motif balas dendam kepada pelaku yang merupakan mantan suaminya, ayah kandung para korban.

“Polisi menyelidiki pengaduannya, tetapi prosesnya diduga kuat penuh manipulasi dan konflik kepentingan. Hanya dua bulan sejak ia membuat pengaduan, polisi menghentikan penyelidikan,” terang Eka Rusdianto dalam reportasenya di Project Multatuli bertajuk Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan, 6 Oktober 2021.

Hal tersebutlah yang turut mendorong pesimisme Lydia atas kinerja kepolisian di negeri ini. “Jika kamu menulisnya, apa yang akan berubah? Kami mengandalkan polisi. Kami melaporkannya. Lalu apa? Pelaku masih bebas.”

Selain tak mendapatkan keadilan dan dicap bermotif balas dendam, serangan terhadap Lydia juga berbentuk label sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Kuat dugaan, penggunaan model serangan ini untuk mendelegitimasi laporan dan segala bukti yang Lydia miliki.

“Saat pemeriksaan terhadap Lydia dan saudaranya, mereka ditanya kondisi kesehatan mental keluarga. Saudaranya ditanya soal kondisi psikologis Lydia sejak kecil dan sewaktu menikah, apakah ada anggota keluarga memiliki riwayat gangguan jiwa? Saat giliran Lydia, dua dokter menanyakan apa punya ‘kelainan’ sebelum bercerai dengan mantan suaminya, serta kondisi rumah tangga mereka dulu.”

Wawancara dengan Lydia hanya berlangsung 15 menit. Hasil pemeriksaan psikiatri itu terbit pada 11 November (2019). Lydia disebut memiliki “gejala-gejala waham bersifat sistematis yang mengarah gangguan waham menetap.

Nahas bagi Lydia, ketiga anaknya (semuanya masih berumur di bawah 10 tahun) ikut diklaim “tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma”. Pemeriksaan psikologis oleh petugas Pusat Pembelajaran Keluarga, unit kerja di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, malah menyebut “hubungan dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis” serta “keadaan fisik dan mental dalam keadaan sehat”.

“Belakangan diketahui, si petugas itu tidak memenuhi kualifikasi sebagai psikolog anak.”

Apa daya, hasil-hasil pemeriksaan yang tidak kredibel itulah yang nantinya dipakai oleh Kepolisian Resort Luwu Timur untuk menghentikan penyelidikan. Ditambah dengan sejumlah surat visum, baik dari Puskesmas setempat maupun tim Forensik Biddokkes Polda Sulawesi Selatan, yang tidak menemukan kelainan atau tanda kekerasan fisik terhadap ketiga anak.

“Kepolisian Luwu Timur lalu menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan pada 19 Desember. Surat ini mengacu proses penyelidikan serta gelar perkara pada 4 Desember. Surat itu membuat ketetapan kepolisian menghentikan proses penyelidikan tertanggal 10 Desember 2019, tanpa ada detail pertimbangan penghentian.”

Kepala Divisi Perempuan, Anak, dan Disabilitas dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar, Rezky Pratiwi, menilai ketetapan itu dibuat dengan proses yang terburu-buru.

“Rentang waktu laporan dan penghentian penyelidikan cuma 63 hari. Ini sangat cepat dan kami anggap tidak masuk akal. Apalagi ini kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak,” kata Rezky.

Baca juga:

Baru pada akhir Desember 2019, angin segar untuk mendapatkan akses keadilan yang lebih kompeten itu datang dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Makassar.

Berbeda dari penanganan di Luwu Timur, selain memberi rujukan agar melaporkan kasus ke LBH Makassar yang kemudian menjadi penasihat hukumnya, Pusat Pelayanan Kota Makassar juga memberi pendampingan psikologis kepada ketiga anak Lydia.

“Dalam laporan psikologisnya, lewat metode observasi dan wawancara, ketiga anak ‘tidak mengalami trauma tetapi mengalami cemas” serta ketiganya konsisten menceritakan dan saling menguatkan cerita satu sama lain mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka.”

Dari cerita mereka, kemungkinan terduga pelakunya lebih dari satu orang, konsisten dengan tuturan salah seorang korban kepada ibunya saat proses penyelidikan ditangani Polres Luwu Timur.

“Cerita korban diperkuat dalam rekaman foto dan video yang disimpan Lydia, yang menggambarkan bekas-bekas kekerasan fisik ketiga anaknya.”

Meski polisi di Polres Luwu Timur dan Polda Sulsel mengabaikan cerita dan bukti-bukti tersebut, Pusat Pelayanan Kota Makassar yang memeriksa psikologis para korban meyakini bahwa terjadi kekerasan seksual. Pihaknya bahkan menyebut bahwa proses penyelidikan Polres Luwu Timur “cacat prosedur” sejak visum pertama hingga pengambilan keterangan setiap anak.

“Seharusnya anak-anak didampingi oleh orang tua serta pendamping hukum, pekerja sosial, atau pendamping lain sebagaimana mandat UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jadi Kepolisian Resort Luwu Timur sangat tidak profesional,” tegas Rezky.

Ia menyayangkan karena kepolisian malah fokus pada Lydia yang disebut punya motif lain. Ibu korban justru diperiksa psikiater yang prosedurnya tidak layak.

“Keterangan terhadap anak tidak didalami dan tidak dilakukan pemeriksaan saksi lain untuk menemukan petunjuk-petunjuk baru. Misalnya, keterangan tetangga atau orang yang mengenal mereka.”

Keberpihakan Polisi dan Pusat Pelayanan Luwu Timur kepada Terduga Pelaku

Bersama LBH Makassar, pada 26 Desember 2019, Lydia mendatangi Polda Sulawesi Selatan. Ia meminta gelar perkara khusus atas penghentian penyelidikan di Polres Luwu Timur.

Pada 10 dan 13 Februari 2020, tim hukum melayangkan surat gelar perkara khusus berikut lampiran foto-foto luka pada anus dan vagina ketiga anak, tetapi tak ada jawaban. Hal ini kian menegaskan istilah di awal, percuma lapor polisi.

“Pada 19 Februari, Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Pol Ibrahim Tompo malah menyampaikan ke media kalau mereka telah ‘melaksanakan gelar perkara internal’ dan penghentian penyelidikan disebutnya sudah sah dan sesuai prosedur.”

Walau pada akhirnya gelar perkara khusus dilakukan pada 6 Maret di Kantor Polda, selain mendadak, hasilnya tetap sama: Polda Sulsel merekomendasi Polres Luwu Timur untuk tetap menghentikan proses penyelidikan atas laporan pencabulan tersebut.

Tak menyerah, upaya lain terus dilakukan. LBH Makassar telah mengirim surat aduan ke sejumlah lembaga pada Juli 2020, di antaranya ke Kompolnas, Ombudsman, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulsel, Bupati Luwu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, dan Komnas Perempuan.

Berbeda dari keterangan Polres Luwu Timur yang mengklaim telah mengklarifikasi ke lembaga-lembaga tersebut dan menyebut “semua aman saja”, surat rekomendasi Komnas Perempuan ke Mabes Polri, Polda Sulsel, dan Polres Luwu Timur tertanggal 22 September 2020 justru meminta melanjutkan kembali proses penyelidikan kasus pidana tersebut.

“Rekomendasi inilah justru yang tidak dilakukan oleh Polres Luwu Timur saat menangani pengaduan kasus pencabulan terhadap ketiga anak Lydia.”

Dari situ pulalah LBH Makassar menilai ada keberpihakan polisi dan Pusat Pelayanan Luwu Timur kepada terduga pelaku.

“Kalau sudah ada testimoni anak, harusnya dimulai dari situ. Digali dulu bukti-bukti pendukung. Sangat kelihatan keperpihakan itu. Kalau di kasus-kasus kekerasan seksual lain yang kami dampingi, biasanya didiamkan oleh polisi. Kalau ini malah dibuatkan administrasi pemberhentian.”