
Terma perempuan ideal merupakan pengistilahan yang debatable. Tidak semua orang, terutama kaum lelaki penyuka perempuan, memiliki kecenderungan sama atas penentuan sosok perempuan yang ideal. Kita memiliki kriteria masing-masing ihwal sosok perempuan ideal berdasarkan kebutuhan atau keinginan sesuai selera kita.
Banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa kita mengidamkan keidealan tertentu pada perempuan. Entah dorongan hasrat seksual, intelektualitas, etika, moral, gaya hidup, kepercayaan, bahkan faktor teman-teman sepergaulan hingga lingkungan keluarga begitu berperan membentuk mindset kita untuk merumuskan sekiranya seperti apa perempuan yang kita sebut “ideal”.
Saya sendiri, sebagai lelaki penyuka perempuan, kerap terlibat pembicaraan dengan sesama teman penyuka perempuan lainnya ihwal perempuan ideal. Tentunya kami sama-sama memiliki ketertarikan terhadap perempuan hingga bisa terlibat dalam pembicaraan tersebut.
Keidealan sosok perempuan yang kami idam-idamkan jarang sekali bisa sama. Kadang saya dan beberapa teman memiliki kesamaan kriteria untuk merumuskan hal tersebut. Kenapa bisa begitu? Sebab kami memiliki kesamaan latar belakang.
Semisal, ketika saya dan seorang teman secara kebetulan menyepakati kriteria sosok perempuan ideal dalam sebuah pembicaraan. Kami bisa saja saling menyepakati bahwa sosok perempuan yang gemar membaca, pendiskusi, peduli nasib orang lain, supel, luwes, kritis, dan berpemikiran terbuka adalah sosok perempuan ideal.
Wajar saja bila kami bisa menyepakati hal tersebut. Tiada lain karena saya dan teman saya itu sama-sama aktivis pergerakan dan pegiat literasi amatiran.
Artinya, sosok perempuan ideal yang kami idamkan sesuai dengan kebutuhan kita sendiri. Walau ternyata kami masih juga mengangankan diri untuk bisa dekat dengan sosok perempuan yang memiliki kriteria lain. Berarti selain urusan kebutuhan, kami masih punya keinginan untuk merasakan sosok perempuan tertentu. Dan ini yang membikin orang macam saya rentan untuk mengubah-ubah kriteria dalam menentukan keidealan sosok perempuan.
Pengidealan atas sosok perempuan yang rentan berubah-ubah ini, bagi saya, bukanlah kelabilan. Ini kasus yang teramat wajar dialami individu yang tertarik pada perempuan dan memiliki sumber daya referensial melimpah. Sudah pasti faktor-faktor yang saya sebutkan di atas bisa memengaruhinya.
Baca juga:
Dan pengidealan sosok perempuan bukan hanya secara nonfisik. Urusan fisik kerap memengaruhi penentuan kriteria, yang ternyata hal ini rentan berubah-ubah juga. Kalau penentuan keidealan perempuan secara fisik, biasanya didorong faktor gaya hidup dan hasrat seksualitas.
Jadi, secara fisik dan nonfisik, keidealan sosok perempuan yang kita idam-idamkan bisa saja berubah. Namun bukan berarti tanpa halangan untuk kita bisa merdeka memilih sosok perempuan.
Ada kecenderungan tertentu (faktor eksternal diri kita) yang kadangkala mencoba memaksakan kriteria-kriteria ideal atas perempuan. Selera berperempuan kita kerap diatur nilai-nilai yang entah dari mana asalnya; komersialisme, maskulinitas, kekolotan, dan politik kekuasaan.
Bahkan saya sendiri harus pintar-pintar mengatur diri untuk menentukan langkah kapan saatnya melawan atau menahan diri bila ada paradigma sesat atas kriteria perempuan. Beberapa orang yang saya kenal menganggap bahwa kriteria fisik pasti mempengaruhi hal nonfisik tertentu pada perempuan. Begitu pun sebaliknya. Saya jelas menolak paradigma demikian.
Perempuan bukanlah makhluk pasif yang bisa berperilaku dan berpemikiran berdasarkan bentuk tubuh tertentu. Begitu pun bentuk tubuh tak melulu menyebabkan perempuan hanya bisa berkelakuan dan menganut pemikiran tertentu. Maka pandangan yang menyatakan bahwa kaitan antara bentuk fisik dan aspek nonfisik pada perempuan adalah absolut, itu jelas-jelas pandangan salah kaprah: jelas-jelas mentah!
Saya dan beberapa teman penyuka perempuan bisa berpemikiran dinamis atas sosok perempuan ideal. Dengan penuh kesadaran dan berpernyataan jujur, keidealan kami atas sosok perempuan memang rentan berubah-ubah. Semua itu, ya, tergantung pada selera yang berlandaskan kebutuhan hidup atau kenginan dalam angan.
Tantangan bagi orang macam kami ialah kecenderungan tertentu yang mengidealkan perempuan harus menjadi sosok tertentu. Bahkan berlandaskan tafsiran nilai-nilai yang antah-berantah, ada pihak-pihak tertentu yang berani dan penuh percaya diri mengklaim perempuan harus menjadi sosok tertentu biar bisa dikata “ideal”.
Di era keterbukaan informasi dan pluralitas ruang komunikasi sekarang ini, klaim-klaim antah berantah atas pengidealan sosok perempuan bisa dengan mudah kita temui, wabilkhusus di ruang digital. Ada yang kolot dan memihak sosok perempuan tertentu. Ada juga yang secara demokratik menghormati gerakan perempuan harus didukung sesuai kebutuhannya masing-masing.
Halaman selanjutnya >>>
- Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi - 28 Februari 2023
- Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar - 23 Februari 2023
- Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal - 22 Februari 2023