
Diplomasi Indonesia sebelum Kolonialisme
Sebelum masuk ke kolinialisme, kerajaan-kerajaan besar di Indonesia seperti Sriwijaya di Palembang dan Majapahit di Jawa telah mengarungi peradaban dan mampu membuktikan diri pada dunia dengan kemajuan-kemajuan di bidang seni, agama, sosial, budaya, bahkan politik. Pada masa itu, kerajaan-kerajaan tersebut sudah mengenal strategi diplomasi untuk mecapai kepentingan mereka, seperti penyebaran agama, kepentingan politik, dan kepentingan perdagangan.
Kepentingan-kepentingan tersebut dapat dicapai melalui interaksi yang baik dan saling menguntungkan dengan pihak luar. Biasanya raja-raja akan mengunjungi kerajaan lain untuk menjalin keterikatan dengan kerajaan tersebut, misalnya melakukan strategi pernikahan untuk memperluas wilayah atau melakukan perjanjian-perjanjian dagang demi memperluas akses perdagangan antarkerajaan. Selain itu, kerajaan-kerajaan pada masa itu juga sudah melakukan interaksi-interaksi saling menguntungkan dengan bangsa luar.
Misalnya ketika Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan Hindu terbesar di Indonesia melakukan interaksi atau kunjungan-kunjungan dengan bangsa-bangsa luar. Hal tersebut menjadikan Sriwijaya sebagai pusat peradaban Hindu dunia sehingga memancing mobilisasi masyarakat di luar Sumatra untuk melakukan perdagangan di sana. Sistem perdagangan di masa itu masih menggunakan sistem yang tradisional, yaitu sistem barter di mana penjual dan pembeli akan bertukar barang sesuai kesepakatan bersama.
Setelah Sriwijaya tumbang akibat perang saudara, kiblat peradaban beralih ke Pulau Jawa, tepatnya di Kerajaan Majapahit yang pada saat mampu menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara, mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Papua, hingga ke ujung timur Indonesia. Pada masa itu, banyak saudagar kaya dari Arab berdatangan untuk membeli rempah-rempah. Kedatangan bangsa Arab ke Nusantara tersebut adalah awal berkembangnya Islam di Indonesia yang memantik munculnya kerajaan-kerajaan Islam, seperti Mataram Islam, Samudra Pasai, Demak, dan Gowa-Tallo.
Diplomasi Indonesia pada Masa Kolonialisme
Pada masa kolonial, interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa luar diawali dengan penaklukan Malaka oleh bangsa Portugis yang pada masa lalu merupakan bangsa yang kuat dan tidak terkalahkan. Bangsa Eropa menginginkan penguasaan terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia untuk memperluas wilayah, meningkatkan perekonomian, dan menyebarkan agama Kristen. Setelah melakukan perdagangan di Malaka, Portugis membawa rempah-rempah yang sangat bernilai di Eropa sehingga menyulut Belanda untuk mendatangi Nusantara.
Belanda berbondong-bondong mendatangi Nusantara dan kemudian menaklukan Banten. Setelah itu, mereka melakukan kerja sama-kerja sama dengang dengan raja-raja Nusantara dengan tujuan ingin memonopoli rempah-rempah.
Karena para saudagar Belanda tersebut saling bersaing dan terjadi jatuh-jatuhan harga yang merugikan pemerintahan Belanda, pemerintah Belanda mendirikan semacam kamar dagang sebagai wadah pada saudagar Belanda untuk melakukan perdagangan agar tidak terjadi jatuh-jatuhan harga. Kamar dagang tersebut adalah Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) yang merupakan masa lalu kelam bagi Indonesia.
Diplomasi Indonesia dalam Melawan VOC
Bagi bangsa Indonesia, VOC adalah penjajah yang kejam dan menyengsarakan, namun Belanda sendiri menganggap bahwa VOC bukan bertujuan untuk menjajah, namun berdalih hanya ingin melakukan perdagangan. Belanda menganggap bahwa mereka baru melakukan penjajahan secara resmi ketika mereka melangsungkan Agresi Militer Belanda II.
Namun bagi Indonesia, VOC tetaplah penjajahan dan suatu bentuk pelanggaran terhadap hak-hak bangsa Indonesia karena bagaimana bisa seseorang berdagang dengan pasukan bersenjata, melakukan eksploitasi, dan bahkan kekerasan? Kehadiran VOC memaksa Indonesia mendapatkan kerugian di bidang ekonomi dan politik karena eksploitasi dagang yang makin menggila serta kebutuhan biaya perang yang makin menyita finansial Indonesia pada waktu itu.
Baca juga:
- Amangkurat II; Wahyu Keprabon dari VOC dan Negara Kertasura Adiningrat
- Politik Adu Domba ala Belanda
Perjuangan diplomasi Indonesia dalam melawan VOC dapat dilihat secara jelas dalam tindakan Sultan Agung, raja Mataram ketika menghadapi utusan VOC yang datang menawarkan kerja sama dagang. VOC datang secara langsung menghadap Sultan Agung dengan membawa beberapa kotak kain sutra dan emas batangan sebagai strategi diplomatik mereka.
Pada awalnya, Sultan Agung memberikan izin dagang kepada VOC di Mataram selama 6 bulan dengan syarat VOC harus membayar pajak 60% kepada Mataram. Namun, VOC justru bertindak serakah dan malah membangun kantor dagang sendiri di Batavia sehingga hal tersebut menyulut kemarahan rakyat Mataram dan akhirnya memutuskan untuk perang.
Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya Indonesia menerima tawaran kerja sama VOC sebagai jalan damai rupanya tidak cukup memuaskan para saudagar kaya dan serakah yang memenuhi tubuh VOC. Alhasil, perang dilakukan untuk melindungi bangsa Indonesia bertahun-tahun ke depan.
Namun upaya perang pun sangat minimal untuk berhasil karena persenjataan dan modal perang VOC sangatlah besar dan memadai. VOC justru makin kuat dan kaya hingga akhirnya terjadi aksi saling berebut kekuasaan di tubuh VOC. Anggotanya banyak melakukan korupsi, VOC terlilit utang, dan akhirnya lenyap dengan sendirinya.
VOC memang dikenang dunia sebagai organisasi dagang terkaya yang pernah ada. Namun di mata Indonesia, VOC hanyalah sekumpulan saudagar-saudagar serakah yang merenggut kesejahteraan rakyat Indonesia pada waktu itu.
- Tantangan Diplomasi Era Soekarno: Memori Kelam Indonesia-Malaysia - 10 Oktober 2021
- Perjuangan Diplomasi Indonesia Melawan VOC di Era Kerajaan - 5 Oktober 2021