Perlindungan dan Tantangan Jurnalis Timur Tengah

Perlindungan dan Tantangan Jurnalis Timur Tengah
©Dunia Tempo

Informasi dalam kurun waktu ini mengabarkan seorang reporter Al-Jazeera asal WN Amerika, Shireen Abu Akleh, mengembuskan napas terakhirnya ketika tertembak oleh tentara Israel, di kota Jenin, Tepi Barat, pada Rabu, 11 Mei 2022 (Harian Kompas). Jurnalis yang kecilnya lahirnya di Jerussalem ini memberanikan diri bertugas menjadi wartawan di kawasan Timur Tengah yang rawan potensi konflik dan tentu membahayakan dirinya.

Reporter perempuan yang berkebangsaan Palestina-Amerika yang menggunakan rompi antipeluru warna hitam dengan tulisan “Press” untuk mengidentifikasi dirinya sebagai jurnalis menjadi sasaran tembak yang menyasar pada kepalanya. Begitu pun kerabat Abu Akleh di sampingnya, yakni Ali al-Samudi, yang bekerja menjadi produser Al Jazeera tertembak dengan luka di punggungnya, yang saat ini dirawat di rumah sakit. (Al Jaazeera)

Dalam keterangannya melalui kerabatnya, mereka (Israel) melepaskan tembakannya kepada dirinya dan Abu Akleh tanpa adanya peringatan untuk berhenti meliput. (Reporteros Sin Fronteras, RSF). Sehingga peristiwa ini menggambarkan bahwa penembakan jurnalis merupakan sebuah pelanggaran, harus dilakukan penyelidikan internasional secara independen.

Melihat fenomena di atas, profesi wartawan lapangan maupun koresponden lepas di Timur Tengah merupakan pekerjaan terberat. Segala risikonya dengan kerja turun ke lapangan mencari dan mengumpulkan informasi melalui peristiwa yang ada serta mengolah dan menuliskannya dalam bentuk berita.

Meskipun, profesi jurnalis bekerja sesuai dengan prosedur yang baik dan benar, kerap kali mendapatkan streotip negatif dari kalangan masyarakat, karena profesi ini dinilai menggiring sebuah opini masyarakat dengan mudahnya dalam menghakimi sebuah peristiwa, yakni benar maupun salah.

Selain itu, konsekuensi terbesar menjadi seorang jurnalis adalah jauh dari kerabat terdekat dan dapat mengancam nyawanya ketika dihadapkan pada situasi peristiwa konflik. Sehingga, urgensi perlindungan dan keamanan yang diberikan oleh jurnalis harus diperhatikan oleh semua stakeholder, baik dalam skala konflik skala nasional maupun internasional.

Hingga dalam kurun waktu ini, tidak ada yang menjamin secara sepenuhnya keselamatan bagi jurnalis yang bertugas di Timur Tengah. Meskipun, jurnalis yang ideal adalah berpegang teguh idealisme dan keberpihakan pada kebenaran yang berprinsip pada azaz jujur dan adil dalam menegakkan nilai kemanusiaan.

Berdasarkan statement melalui Dirjen UNESCO, Audrey Azoulay dalam konferensi global World Press Freedom Day (Hari Kebebasan Pers Sedunia) pada 3 Mei 2022 di Uruguay, bahwa mengatasi risiko dan peluang di era digital, semua stakeholder yang terlibat, khususnya beberapa Negara Anggota, komunitas media, perusahaan teknologi, hingga masyarakat sipil untuk saling bahu-membahu memberikan sumbangsihnya bagi perlindungan jurnalis. (UNESCO, 2022)

Baca juga:

Prinsip dasarnya, perayaan momentum Hari Kebebasan Pers Sedunia, yang dideklarasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1993 dalam rangka memberikan penyadaran secara kolektif akan pentingnya memberikan ruang berekspresi dengan kebebasan pers. Sebagai pilar dari demokrasi, maka selayaknya jurnalis media mendapatkan haknya berupa perlindungan, baik secara fisik maupun psikis, tanpa adanya intervensi konflik dari elemen mana pun.

Fenomena Jurnalis Timur Tengah

Negara di kawasan Timur Tengah, yang diidentikkan sebagai lokasi yang dihiasi dengan intrik politik dan konflik sektarian, kerap kali mendapatkan perhatian serius bagi kalangan yang turut andil dalam meneliti, mengamati, memperhatikan, hingga mengkaji kawasan tersebut sebagai wacana diskursus untuk mengambil jalan tengah yang solutif, sehingga hasilnya dijadikan rekomendasi bagi perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Selain itu, pemberitaan di media massa, baik skala lokal, nasional di Negara Timur Tengah, maupun internasional selalu membanjiri penonton di depan layar. Meskipun, tugas berat jurnalis untuk menyingkap sebuah tabir problematika yang ada pada umat manusia di kawasan tersebut.

Berdasarkan data yang dimuat oleh UNESCO sejak tahun 1993, sejumlah 1523 jurnalis terbunuh dan secara rinci pada 2022, terdapat 33 jurnalis terbunuh di seluruh dunia. Untuk kawasan Timur Tengah, data yang dimuat oleh International Federation of Journalist (IFJ), sejak 1990 hingga 2020, jurnalis yang terbunuh sekitar 561 jiwa.

Terbunuhnya seorang jurnalis, berdasarkan pantauan yang ada, karena sedang meliput sebuah peristiwa perang dan konflik, menggali sebuah data dari kelompok organisasi terorisme yang berjejaring, mewartakan dengan topik tentang kriminalitas, hingga instabilitas negara akibat maraknya pejabat yang melakukan tindakan koruptif.

Selain tertembaknya Shireen Abu Akleh hingga meninggal dunia, beberapa jurnalis lainnya yang tewas akibat bersentuhan secara langsung dengan konflik. Pemberitaan yang diwartakan oleh media albawaba pada 7 Februari 2022, Marwan Yousef, jurnalis asal Yaman, tewas di Kota Harad, Provinsi Hejja, barat laut Negara Yaman, ketika meliput bentrokan antara Tentara pemerintah Yaman dengan kaum militan sipil Houthi.

Pada 3 tahun yang lampau, kematian jurnalis berkebangsaan Saudi Arabia, Jamal Khashoggi merupakan kolumnis Washington Post, tewas pada 2 Oktober 2018, ketika berkunjung di konsulat Saudi Arabia yang berlokasi di Istanbul, Turki. Ia dikenal sebagai wartawan yang kritis, terutama mengkritik internal negaranya, Saudi Arabia. Kematian Khashoggi karena diduga dibunuh oleh orang yang berkaitan dengan internal pemerintahan Saudi.

Dan tak lupa, jurnalis perang asal Amerika Serikat sebagai koresponden perang untuk luar negeri, Marie Colvin, yang bekerja pada majalah kabar The Sunday Times, meninggal dunia ketika proses peliputannya pada peristiwa pengepungan Homs di Suriah pada 22 Februari 2012.

Halaman selanjutnya >>>
Aji Cahyono