
Adalah tugas kita bersama hari ini untuk menjelaskan makna, tujuan, dan mengukuhkan kembali Islam Nusantara sebagai referensi khusus.
Sebenarnya, tanpa kita sebutkan sekalipun, kita semua yang ada di wilayah Kepulauan Nusantara memiliki kekhususan karakteristik dalam menjalankan syariat Islam. Memiliki cara yang berbeda dengan wilayah lainnya.
Dalam lintasan sejarah Islam di Nusantara, Wali Songo yang pada awalnya mengembangkan, sehingga mayoritas masyarakat menerima. Islam yang mereka kembangkan di Nusantara adalah Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menurut pemahaman Imam Al Asy’arie dan Imam Al Maturidi. Menggunakan metodologi mazhab Syafi’ie; menggunakan tasawuf berkiblat pada Imam Al Ghozali, Imam Al Junaidi, Imam Hasan As Syadzili, Syaikh ‘Abdul Qodir Al Jailani, dan lain-lain.
Ketika masuk abad modern, seiring dengan runtuhnya Dinasti Turki Utsmani sebagai pemimpin tertinggi umat Islam sedunia, maka ulama bersepakat mendirikan Jam’iyyah Muslimin. Mereka menamainya Nahdlatul Ulama pada 1926.
Nahdlatul Ulama atau NU sebenarnya “hanyalah” wadah spiritual umat Islam supaya tidak tercerai-berai. Dalam perkembangannya, ternyata NU tidak hanya berperan sebagai wadah spiritual belaka. Ia juga turut mengukuhkan identitas kebangsaan, sehingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ikut mendirikan, memperjuangkan, mempertahankan, dan aktif dalam era pembangunan hingga saat ini.
Para ulama NU begitu memegang teguh paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Aswaja. Hingga era 1980-an, hampir tidak ada klaim ada kelompok yang tegas mengakui Aswaja sebagai akidah, kecuali NU (dan hanya beberapa organisasi lokal lainnya).
Yang terjadi adalah mereka mem-bully NU sebagai pemecah belah umat. Karena Islam hanyalah satu, yakni Islam rahmatan lil alamin. Tidak ada Islam Aswaja. Aswaja hanyalah bualan ulama NU karena tidak ada dalilnya.
Begitu mereka melek, membuka kitab-kitab hadis yang muktabar lagi shohih, maka di sana mereka jumpai bahwa Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Dan yang mendapat pertolongan Gusti Allah Swt adalah Aswaja.
Maka berbondong-bondonglah pengakuan bahwa kelompok mereka sebagai Aswaja datang seperti air bah. Lalu tiba-tiba seakan ingin membalikkan kenyataan bahwa merekalah Aswaja sejati. Sedangkan NU bukan Aswaja, tapi ahli bid’ah lagi sesat.
Baca juga:
Menghadapi hal ini, maka ulama NU tidak tinggal diam. Aswaja telah terklaim oleh banyak sekali organisasi atau golongan Islam yang semula tidak kita ketahui bagaimana mereka. Karena Aswaja sudah tidak menjadi kekhususan lagi, maka identitas ke-NU-an ditempelkan sebagai identitas tambahan. Jadilah pada masa itu kita kenal istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah An Nahdliyyah.
Keusilan sebagian dari golongan di luar NU ternyata tidak berhenti sampai di sini. Berembuslah berbagai fitnah kepada tokoh-tokoh dan ulama NU dengan berbagai tudingan keji. Mulai dari sematan gelar liberal, Syiah, komunis, antek Yahudi, dan sejenisnya. Intinya, hendak menelanjangi seakan-akan NU yang ada saat ini telah menyimpang dari ajaran yang telah digariskan oleh para pendiri NU pada generasi awalnya.
Sejak saat itulah muncul NU dengan bergaris-garis sebagai tambahan di belakangnya. Untuk merespons keusilan ini, maka kemudian dicetuskanlah ide Islam Nusantara sebagai sebuah gagasan brilian.
Mengapa? Sebab, oleh sebagian kalangan yang menghendaki Islam secara kaffah, Islam yang murni, Islam yang kembali ke Quran dan Sunnah, masih banyak anggapan bahwa budaya lokal adalah bagian dari budaya jahiliyah. Masih mengandung unsur syirik, tahayul, gugon tuhon, dan sejenis itu. Sehingga harus dihabisi, harus dimusnahkan.
Istilah Nusantara tersematkan sebagai sebuah identitas kekhususan tentu merupakan sebuah tamparan berat. Mengapa? Sebab, kata “Nusantara” tidak mungkin bisa dicontoh, lebih-lebih diklaim lagi oleh mereka.
Sehingga mereka menjadi kaget dan langkahnya terhenti. Kena skakmat. Mati kutu. Lalu, reaksinya kita bisa melihat dengan sangat gamblang. Mencaci maki dan memfitnah istilah ini dengan membuat definisi secara sepihak yang bertolak belakang dari yang aslinya. Menyebarkan secara masif supaya kaum Muslimin di Indonesia menolak istilah Islam Nusantara.
Inilah tugas kita saat ini. Bersama-sama menjelaskan kepada masyarakat makna dan tujuan dari Islam Nusantara itu sendiri, mengukuhkan kembali Islam Nusantara. Seluruh jumhuriyah Ulama sedunia telah menerima Islam Nusantara dan telah menjadi referensi khusus. Saatnya Islam khas Indonesia ini memimpin dunia.
Salam cinta Islam Nusantara. Salam cinta NKRI.
Baca juga:
- Hari-Hari Terakhir Gus Dur - 14 Desember 2018
- Rahasia Konsistensi Amien Rais - 12 Oktober 2018
- Antara Janji Kampanye dan Realitas Presiden Joko Widodo - 11 Oktober 2018