Pesan dari Jakarta

Pesan dari Jakarta
©PinterPolitik

Pesan dari Jakarta

Wajah kusam ibu kota seakan perlahan menyampaikan perlakuan yang tak adil.

Teman yang baru saja mengirim pesan bergambar, memperlihatkan kemesraan antara orang-orang dari berbagai daerah yang dipersatukan. Entah itu berbayar atau dukun bertindak, yang jelas mereka bukan lagi dua orang asing yang kebetulan bertemu.

Ibu kota Jakarta sedikit lagi ditinggal pergi; karena akan berpindah IKN yang baru. Mungkin, temanku ingin menghabiskan waktu sebisa mungkin dengan cara apa pun untuk mendapatkan hangatnya kasih sayang dari ibu kota.

Temanku ini baru saja tiba di ibu kota untuk pertama kalinya di awal tahun 2021. Pandangannya terbilang abu-abu untuk memilih wanita yang ditiduri. “Baru saja kemarin dia menderita spilis karena salah pilih,” itu katanya. Balasanku; “Saya berharap jagoanmu rusak dan tak lagi berfungsi.”

Kami berteman sangat baik dari bangku SMA. Saya penasaran dengan narasi salah pilih. Mungkin saja dia melihat sosok perempuan itu sebagai ciptaan yang derajatnya di bawah laki-laki sehingga boleh-boleh saja diperbudak.

Saya juga laki-laki dan sama seperti dia. Namun saja, pesan bergambar tadi menyinggung perasaan saya yang tidak tahu-menahu apa yang terjadi di sana. Tanpa disadari, dia lagi memperdagangkan tubuh perempuan itu. Pun tanpa memikirkan perasaannya sewaktu-waktu dia menyadari tubuhnya sudah dipasarkan dengan nilai yang layak atau sekali kenal; nyaman, dia dinikmati.

Perbudakan semacam ini mungkin saja sudah sering terjadi di berbagai tempat, dan pemerintah sendiri masih mencari solusi yang entah sampai kapan ini akan meredam. Pemenuhan kebutuhan memang tidak ada yang serba gratis di kota metropolitan. Banyak lahan pekerjaan namun itu semua milik orang asing.

Warga pribumi yang sebagian besar tanahnya digusur atau dirampas secara semena-mena tak mampu melawan karena akan ditodong oleh aparat. Rasanya ingin menangis karena harus menahan lapar di negeri sendiri. Kota yang semakin padat penduduknya, semakin tidak adil juga undang-undang yang disahkan.

Karma yang  makin modern ini selalu tepat waktu dan lokasi, di mana pun selagi di bumi; karma itu akan datang. Teman saya ini bekerja di salah satu PT yang saya lupa namanya di sudut kota jakarta. Pukul 01:34 AM WIB, saya menerima pesan yang bacaannya panik. Berlari menghindari gedung itu seakan-akan ada bencana yang akan datang. Ada beberapa orang penting di PT tersebut meninggalkan tanah air karena ketakutan. Indonesia terlihat menyeramkan bagi mereka pada saat itu.

Baca juga:

Dosa sebesar apa yang pernah mereka lakukan sehingga hari ini, musibah itu menimpa tak ada ampas. Atau karena perbuatan dari teman saya ini?

Rasanya tidak mungkin. Yang duduk di gedung itu tampaknya kumpulan penjahat kelas atas yang selalu dihantui rasa ketakutan.

Jakarta bukan lagi seperti Jakarta pasca kemerdekaan (1945). Kini menjadi tempat yang serba modern yang sejalan dengan perkembangan zaman. Banyak gedung bertingkat yang tidak lagi menggunakan tangga untuk mencapai puncaknya, dan ini menunjukkan kalau negara kita adalah negara berkembang. Karena Jakarta merupakan wajah bangsa Indonesia bagi warga negara asing.

Rangkaian kejadian ini di satu sisi; kebutuhan ekonomi menjadi pemicu utama sehingga tatkasat mata saling memburu dengan waktu yang tak berhenti. Baik dan buruk adalah urusan belakangan. Diri dibekali dengan modal yang cukup, mereka siap bersaing untuk apa saja yang diinginkan.

Barangkali ada yang bermain di partai-partai politik untuk menduduki kursi-kursi jabatan, sehingga merusak mental masyarakat dengan kebijakan yang sangat membatasi hak-hak warga untuk bersosialisai dan berkontribusi untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. Pada sejarahnya, nilai budaya pribumi semakin tertinggal oleh zaman dan tak lagi memiliki nilai etis dan filosofis.

Saya maknai semua ini dengan pembekalan untuk indonesia di masa depan. Semoga saja ini tidak lagi terjadi dan segera berakhir. Mental anak bangsa dibentuk menjadi lapuk yang tak lagi kokoh ini; entah salah penguasa atau masyarakat itu sendiri. Kita hampir tiba pada penghujung pemilu, dan pe-er dari kita semua tentu saja memilih pemimpin yang bukan hanya meninggalkan luka pahit pada hati rakyat. Kita memilih mereka yang tentunya berkontribusi penuh.

Yovinianus Olin
Latest posts by Yovinianus Olin (see all)