Pertumbuhan eksklusivisme dalam masyarakat seringkali menimbulkan dampak buruk, terutama dalam hal toleransi antaragama. Kasus yang mencolok adalah Pesantren Tebuireng, sebuah lembaga pendidikan yang dikenal memiliki pengaruh signifikan dalam pembentukan pemikiran keagamaan di Indonesia. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana eksklusivisme berkontribusi terhadap meningkatnya intoleransi agama dan dampaknya bagi masyarakat luas.
Pertama-tama, mari kita lihat apa yang dimaksud dengan eksklusivisme. Eksklusivisme adalah pandangan atau sikap yang menganggap kelompok atau individu tertentu sebagai yang paling benar dan superior dibandingkan dengan yang lain. Dalam konteks keagamaan, hal ini dapat menyebabkan penyempitan perspektif dan menumbuhkan sikap intoleran terhadap paham atau praktik agama lain. Di Pesantren Tebuireng, meskipun sejarahnya kaya akan nilai-nilai pluralisme, terdapat elemen-elemen yang menunjukkan pengaruh eksklusivisme.
Salah satu indikasi kuat eksklusivisme di Pesantren Tebuireng terlihat dari pengajaran yang menekankan doktrin-doktrin tertentu dengan cara yang kaku. Santri diharapkan tidak hanya untuk memahami nilai-nilai Islam, tetapi juga untuk menganggap ajaran lain sebagai inferior. Hal ini berpotensi menimbulkan jurang pemisah yang semakin lebar antara penganut agama Islam dan penganut agama lain. Ketika perspektif semacam ini dibiarkan berkembang, maka semangat toleransi yang seharusnya menjadi landasan kehidupan beragama akan terkikis.
Lebih jauh lagi, meningkatnya eksklusivisme tidak hanya melahirkan intoleransi, tetapi juga memunculkan konflik antarpemeluk agama. Sejarah mencatat bahwa radikalisasi dan kekerasan seringkali muncul dari paham-paham yang menyiratkan bahwa hanya satu kelompok yang memiliki hak untuk menginterpretasikan kebenaran. Dalam kasus Pesantren Tebuireng, meskipun banyak santri yang teredukasi dengan baik, ajaran eksklusif dapat mengarah pada pemikiran yang sempit, hal ini akan mengarah pada praktik-praktik sosial yang merugikan.
Sensitivitas terhadap perbedaan menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh generasi muda yang tumbuh di lingkungan semacam itu. Busur ketegangan semakin meninggi ketika santri yang mengadopsi pandangan eksklusif menganggap kelompok lain sebagai ancaman bagi keyakinan mereka. Permasalahan ini sering kali diperparah oleh lingkungan sosial yang mendukung sikap intoleran, yang hanya memperkuat pemisahan antara agama yang berbeda.
Di sinilah peran penting pendidikan dalam menumbuhkan sikap toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan seharusnya mampu menjadi jembatan dialog antara berbagai pemuka agama. Konsep inklusivisme perlu ditekankan agar para santri tidak hanya belajar tentang doktrin agama mereka sendiri, tetapi juga menghargai keberadaan dan ajaran agama lain. Sayangnya, ekosistem pendidikan yang cenderung eksklusif berisiko kehilangan potensi untuk membentuk generasi yang lebih toleran.
Dampak yang lebih luas dari eksklusivisme di Pesantren Tebuireng juga mencakup pengaruh terhadap masyarakat sekitar. Komunitas yang bersikap intoleran akan menciptakan atmosfer ketidakstabilan dan kecemasan. Ketegangan sosial dapat meletus menjadi kekerasan, mengakibatkan kerusuhan dan pertikaian yang merugikan semua pihak. Dalam jangka panjang, hal ini akan menghambat kemajuan pembangunan sosial dan menciptakan polarisasi yang semakin mendalam dalam masyarakat.
Penting untuk mengalihkan fokus dari sikap eksklusif menuju suatu pendekatan yang merangkul keragaman. Pesantren Tebuireng, yang memiliki kapasitas untuk mempengaruhi banyak orang, perlu memberikan teladan dalam hal toleransi beragama. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menjalankan program-program dialog interfaith yang melibatkan pemuka agama dari berbagai latar belakang. Melalui dialog yang konstruktif, diharapkan akan tercipta saling pengertian dan penghormatan antarumat beragama.
Selanjutnya, peran pemerintah dan organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan dalam upaya meredakan ketegangan sosial. Kebijakan yang mendukung pendidikan pluralisme dan memperkuat interaksi antarumat beragama perlu digalakkan. Dukungan terhadap keragaman dapat mendorong terbentuknya jaringan komunikasi yang lebih baik dan mengurangi ketegangan yang ada. Dalam hal ini, Pesantren Tebuireng dapat mengambil bagian dengan menjalankan peran sentral dalam mempromosikan nilai-nilai inklusif dan memperjuangkan kerukunan sosial.
Secara keseluruhan, meningkatnya eksklusivisme di Pesantren Tebuireng, jika dibiarkan, akan menjalar dan berdampak pada masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi para tokoh agama, pendidik, dan pembuat kebijakan untuk bersatu dalam paradigma baru yang lebih inklusif. Keterbukaan, penghargaan terhadap perbedaan, dan dialog yang konstruktif menjadi kunci untuk meraih masyarakat yang harmonis. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi contoh positif dalam membangun toleransi antaragama di tengah keragaman yang ada.






