
Kontestasi sebagai bagian dari pesta demokrasi menggelar bermacam rupa realitas. Sejak pra-pengusungan Calon Presiden dari masing-masing partai politiknya (Parpol), kosmetik politis para calon, gabungan koalisi yang diterpa ambiguitas, hingga pada berbagai permainan yang didesain khusus para elite politik bagi saya cukup menggelitik. Tentunya, karena beberapa alasan yang tak kalah menggelitik juga.
Permainan para elite tersebut kian nyata ketika momentum Pemilu makin dekat (hanya tinggal beberapa bulan saja). Bandar memegang kendali, masyarakat sebagai pengisi suara menjadi target pasar.
Hal itu terjadi berulang-ulang setiap periode pemilihan dengan desain permainan yang (bagi saya) tidak jauh dari yang sebelumnya, nyaris sama atau bahkan tak ada kebaruan sama sekali. Seperti permainan dikotomi politik yang selalu menjadi menu Pemilu setiap tahunnya.
Dalam istilah yang berbeda, dikotomi politik juga masyhur disebut sebagai polarisasi. Bagi kalian yang tertarik dengan isu politik, saya yakin isu ini kalian anggap sebagai isu yang kolot.
Bagaimana tidak? Isu ini timbul (nyatanya) tidak hanya pada momentum Pemilu. Namun, dalam sejarah politik kita, Anies Baswedan berhasil menguasai kursi DKI gara-gara isu demikian. Atau dengan kalimat yang lebih naif, Ahok ditumbangkan gara-gara ini.
Ketiga pejabat publik yang digadang-gadang akan maju pada kontestasi telah mengeluarkan statement yang nyaris serupa tentang polarisasi. Dengan nada yang berbeda namun memiliki kesamaan substanstif, ketiganya (Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto) sepakat bahwa seharusnya momen kontestasi ini tidak boleh ada yang namanya polarisasi. Semuanya harus berjalan damai, bahkan seorang Anies dengan rekam jejak strategi polarisasinya waktu di Pilkada juga menyerukan hal serupa.
Lucu bukan main! Saya sepakat dengan pernyataan Yunarto beberapa waktu lalu bahwa hal demikian adalah hanya bagian dari kosmetik politik.
Lalu kenapa polarisasi atau yang saya sebut sebagai dikotomi politik dicap sebagai momok negatif bagi banyak kalangan? Bahkan para Capres (entah dengan tulus atau tidak) mengajak kita untuk menjauhinya? Apakah dikotomi demikian selalu berindikasi pada nada negatif?
Baca juga:
- Ganjar dan Anies Potensial Masuk Putaran Kedua Pilpres 2024
- SMRC: Ganjar Semakin Unggul Menjelang Pilpres 2024
Oposisi Biner
Ini ada kaitannya dengan teori oposisi biner. Oposisi biner biasanya dibentuk menurut dua pengklasifikasian.
Oposisi biner sebenarnya, secara sederhana, dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang berusaha membagi dunia dalam dua klasifikasi yang berhubungan secara struktural. Misal dan contoh gampangnya begini: ada malam ada siang, ada besar ada kecil, ada baik ada buruk, ada hitam ada putih. Oposisi biner biasanya (meski tidak selalu) membagi dua hal tersebut pada dua konotasi. Yang satu berkonotasi positif, satunya berkonotasi negatif.
Hitam selalu diumpamakan dengan keburukan, putih dinarasikan sebagai kesucian dan kebersihan, pasti salah satunya lebih positif dari yang lain. Putih lebih baik dari hitam, siang lebih baik dari malam, terang lebih baik dari gelap, dan seterusnya.
Jika dikaitkan dengan Pilpres? Saya kira kalian bisa menjawab tanpa harus saya jelaskan lebih dulu. Apalagi sudah banyak example yang bisa kita lirik kembali sebagai jawabannya.
Lagi-lagi saya ambil contoh di Pilkada DKI Jakarta kemarin. Karena bagi saya, momentum itulah yang paling pekat polarisasinya, apalagi berhubungan dengan sentimen agama.
Saat itu, kubu Anies memainkan polarisasi agama yang cukup legit, antara calon walikota islam dan calon walikota kristen. Anies sebagai calon dari kalangan muslim, dan Ahok dari calon kalangan non-muslim (Kristen). Polarisasi itu (singkatnya) berhasil membawa kubu Anies pada kemenangan, meski carut-marut publik begitu terasa dengan pengkhianatan-pengkhianatan yang terjadi.
Ini kemudian terus berkelanjutan (entah secara sistematis atau tercipta sendiri). Publik seolah menikmati suguhan polarisasi (lebih-lebih mengenai agama) dan tidak sadar sedang diadu domba.
Dan bisa jadi, realitas itu akan muncul pada Pilpres kali ini dengan babak baru namun memakai kemasan lama. Misal dua Calon yang jadi maju, Ganjar Vs Anies katakanlah, maka Ganjar akan dicap sebagai kaum nasionalis, dan Anies sebagai kaum agamis, dengan konsekuensinya: pemilih akan terpecah pula, berikut permusuhannya.
Halaman selanjutnya >>>
- Pilpres 2024, Oposisi Biner, dan Dikotomi Politik yang (Telanjur) Klise - 18 Mei 2023
- Spektrum Politik Identitas: Sikap Gentle ala Partai Ummat - 11 Maret 2023
- Menjodohkan NU dan FPI, Logiskah? - 11 Januari 2023