Politik Indonesia selalu diwarnai oleh dinamika yang kompleks, terutama ketika menjelang pemilihan umum. Pemilihan Presiden (Pilpres) mendatang tidak terkecuali. Namun, tahun ini, ada nuansa baru yang menggelayuti atmosfer politik kita: fasisme. Satu hal yang menjadi perhatian adalah, bagaimana fasisme, yang selama ini menjadi persoalan di berbagai belahan dunia, memiliki sayap di tanah air kita?
Fasisme, meskipun seringkali terdengar sebagai istilah yang berat, sebenarnya merujuk kepada bentuk otoritarianisme yang ditandai oleh keterbatasan kebebasan individu, pengorbanan hak asasi manusia, dan penanaman rasa takut yang mendalam di kalangan masyarakat. Dalam konteks Pilpres, ini bukan sekadar peringatan; ini adalah janji dari sebuah realitas yang terancam. Menghadapi periode pemilihan, ketakutan menjadi alat manipulasi yang ampuh: para politisi sering mengandalkan pemakaran rasa takut untuk meraih dukungan.
Rasa cemas terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan politik sering kali digunakan untuk membentuk opini publik. Dalam banyak hal, masyarakat menjadi korban dari suatu retorika yang menyesatkan, yang melukiskan calon lawan sebagai ancaman bagi harmoni masyarakat. Namun, di balik narasi tersebut, ada tantangan besar yang harus dihadapi, yaitu: adakah pilihan yang lebih baik dalam sistem politik yang otoriter?
Perkembangan media sosial saat ini menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan suara kepada yang terpinggirkan; di sisi lain, ia juga menyediakan platform untuk penyebaran propaganda. Berita palsu dan narasi yang membingungkan sering kali mendominasi narasi publik, menciptakan ketakutan dan kebingungan di tengah masyarakat. Dalam konteks fasisme, ketakutan ini diperkuat oleh pendekatan yang digunakan oleh para politikus, yang sering mengadopsi taktik penodaan yang syarat dengan rasa tidak percaya dan permusuhan terhadap kelompok minoritas.
Pilpres mendatang mengisyaratkan tantangan besar bagi demokrasi kita. Bagaimana kita dapat menjalani pemilihan di tengah ketakutan kolektif? Penting untuk membangun narasi yang alternatif—satu yang menampilkan keberagaman sebagai kekuatan, bukan sebagai ancaman. Melalui pendidikan dan dialog terbuka, kita bisa mendorong masyarakat untuk memahami bahwa keberagaman dapat menghasilkan solusi inovatif terhadap masalah yang ada.
Meragukan kinerja para pemimpin politik yang ada juga merupakan langkah awal yang perlu diambil. Analisis kritis terhadap janji-janji mereka dan realisasi program-program yang telah disusun dapat menempatkan masyarakat jauh dari ketidakadilan yang terjadi. Keterlibatan masyarakat dalam proses demokrasi tidak cukup berhenti pada memilih, tetapi juga harus mencakup partisipasi aktif dalam diskusi politik. Keberanian untuk berbicara dan bertanya adalah langkah vital dalam melawan politik ketakutan yang mengintimidasi.
Relasi antara penguasa dan rakyat juga memerlukan evaluasi yang mendalam. Dalam konteks fasisme, hubungan ini sering kali dipenuhi dengan ketidakpercayaan dan ketegangan. Para pemimpin sering kali menciptakan ‘musuh bersama’ untuk menyatukan massa, tetapi ini hanya memperdalam jurang pemisah yang ada antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Untuk menghindari hal ini, kita perlu menghargai keberagaman pendapat dan pandangan. Menumbuhkan perspektif inklusif harus menjadi prioritas.
Selain itu, penting juga untuk melihat bagaimana dunia luar memandang strategi politik kita. Banyak negara telah mengalami transisi menuju otoritarianisme di bawah pengaruh fasisme, dan pemilihan mereka sering kali dipenuhi dengan kekerasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia. Apa yang terjadi di negara lain dapat menjadi cerminan bagi potensi yang dihadapi Indonesia jika langkah-langkah tepat tidak diambil. Kemitraan internasional yang mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia perlu diperkuat.
Di tengah situasi yang mencekam, mungkin harapan bagi integritas Pilpres berada pada generasi muda. Mereka yang lebih terdidik dan lebih terpapar informasi global memiliki potensi untuk mendorong perubahan yang signifikan. Dengan pendekatan yang inovatif dan semangat perubahan, generasi ini dapat berfungsi sebagai penggerak perubahan positif dalam mengatasi hegemoni fasisme yang mengintimidasi.
Saat kita mendekati Pilpres, sikap skeptis terhadap politik ketakutan harus diperkuat. Pemilih cerdas harus dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan untuk menganalisis situasi. Mereka harus mampu mengidentifikasi manipulasi yang mungkin terjadi serta mencari alternatif-alternatif yang lebih baik. Dengan memahami sejarah dan potensi diri, masyarakat memiliki kekuatan untuk mengubah tikungan gelap ini menjadi jalan yang lebih cerah, menciptakan sistem yang inklusif dan adil untuk semua.
Dengan demikian, kita mendapati diri kita di persimpangan penting. Pilpres yang akan datang menyajikan bukan hanya pertarungan politik, tetapi juga pertarungan antara keberanian untuk membuka diri dan ketakutan yang ingin membungkam suara. Kini saatnya bagi kita, selaku warga negara, untuk tidak hanya memilih, tetapi untuk berkontribusi secara aktif dalam mengukir masa depan bangsa. Karena pada akhirnya, suara kita adalah senjata terkuat melawan politik ketakutan yang mengintimidasi.








