Dalam bingkai sosial politik Indonesia, interaksi antara aparat penegak hukum dan organisasi masyarakat (ormas) yang sering kali berseberangan dengan hukum telah menimbulkan berbagai kontroversi yang mendalam. Fenomena ini, yang kerap terjadi di level lokal hingga nasional, mengajak kita untuk merefleksikan ulang mengenai peran dan kewibawaan institusi kepolisian. Ada pertanyaan mendasar yang perlu diajukan, yaitu: Apakah tindakan polisi dalam berkomunikasi atau mendekati ormas yang melanggar hukum ini memang diperlukan demi kepentingan keamanan publik, atau justru menjadi sebuah bentuk penggadaian kewibawaan mereka?
Ketika berbicara mengenai ormas pelanggar hukum, kita tak bisa lepas dari kompleksitas dinamika yang mereka miliki. Banyak ormas yang sekilas dapat dilihat sebagai penyelenggara kegiatan sosial, ekonomi, bahkan budaya. Namun, di balik itu terdapat sejumlah oknum yang terlibat dalam praktik-praktik yang melawan hukum. Di sinilah polisi harus berhati-hati. Sowan mereka ke ormas tidak jarang dipandang sebagai pengakuan legitimasi, seolah memberikan restu atas tindakan melawan hukum yang mereka lakukan. Tindakan ini tentunya bukan saja merusak citra polisi, tetapi juga dapat melemahkan institusi negara di mata masyarakat.
Dalam konteks ini, kewibawaan merupakan elemen esensial. Kewibawaan kepolisian seharusnya didasarkan pada integritas, profesionalisme, serta kedalaman pemahaman hukum yang harus ditegakkan secara konsisten. Ketika polisi melakukan pendekatan kepada ormas yang cenderung melanggar ketentuan hukum, hal tersebut seakan mengisyaratkan bahwa ada ruang untuk negosiasi terhadap hukum. Sikap ini tidak hanya menciptakan ambiguitas, tetapi juga berpotensi memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi hukum.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam praktiknya, kepolisian dihadapkan pada banyak tantangan. Ada kalanya pendekatan dialogis dianggap lebih strategis untuk menciptakan suasana damai, terutama dalam situasi yang menyentuh isu-isu sensitif. Situasi ini memicu pertanyaan tentang bagaimana seharusnya polisi bersikap terhadap ormas tersebut. Apakah pendekatan dialogis ini bertujuan untuk meredakan ketegangan atau justru berisiko mengkristalisasi relasi yang tidak sehat antara keduanya?
Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa dialog bukan berarti kompromi terhadap pelanggaran hukum. Sowan ke ormas pelanggar hukum tanpa batasan dan pengawasan yang jelas dapat menjadi jalan menuju normalisasi perilaku ilegal. Dalam banyak kasus, polisi yang berhadapan dengan ormas semacam ini sering kali mengorbankan cita-cita penegakan hukum demi stabilitas keamanan jangka pendek. Oleh karena itu, penting bagi kepolisian untuk mengevaluasi dengan hati-hati sejauh mana langkah-langkah tersebut dapat diterima oleh publik.
Keberhasilan polisi dalam menghadapi ormas tidak terletak pada dialog semata, tetapi pada pendekatan berbasis hukum yang transparan dan akuntabel. Kepolisian harus mampu menjadi ujung tombak dalam mengedukasi masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka, sehingga wibawa institusi hukum tidak hanya terjaga, tetapi juga diperkuat. Masyarakat berhak tahu bahwa hukum tidak hanya untuk ditegakkan, tetapi juga untuk dihormati.
Salah satu akar permasalahan dalam interaksi ini adalah rendahnya pemahaman hukum di kalangan masyarakat. Banyak orang yang masih menganggap bahwa keberadaan ormas tersebut merupakan penjamin keamanan dan keadilan. Ini menunjukkan adanya ketidakpahaman tentang peran hukum yang seharusnya dipegang oleh negara. Dalam hal ini, kepolisian harus mengedepankan upaya edukasi hukum, dengan melibatkan masyarakat dalam dialog terbuka. Tidak cukup hanya sekadar memberikan informasi sepihak; perlu adanya interaksi dua arah yang melibatkan semua unsur masyarakat.
Dari sisi lain, institusi kepolisian wajib memiliki strategi komunikasi yang jelas. Strategi ini termasuk menegaskan posisi mereka sebagai penegak hukum yang independen dan tidak terikat oleh kepentingan tertentu. Keterlibatan afirmatif dalam kegiatan sosial masyarakat juga merupakan langkah yang bijaksana untuk menegaskan kembali keberpihakan polisi terhadap penegakan hukum, bukan sebaliknya. Ini adalah salah satu cara untuk membangun kembali jembatan kepercayaan antara polisi dan masyarakat.
Akhirnya, masyarakat juga memiliki peranan penting dalam membentuk dinamika ini. Kesadaran kolektif untuk menolak praktik-praktik atau hubungan yang tidak sehat antara ormas dan kepolisian perlu ditanamkan. Dengan meningkatkan literasi hukum di kalangan masyarakat, diharapkan muncul kesadaran untuk menguatkan kontrol sosial terhadap setiap tindakan yang dinilai melanggar hukum. Jika masyarakat proaktif berpartisipasi dalam menjaga kewibawaan hukum, maka tekanan terhadap polisi untuk berkompromi dengan ormas pelanggar hukum akan berkurang.
Kesimpulannya, polisi seharusnya tidak menggunakan pendekatan yang dapat menggadaikan kewibawaan mereka dalam berinteraksi dengan ormas pelanggar hukum. Dengan cara yang lebih strategis dan berbasis hukum, penegakan hukum dapat berlangsung tanpa terganggu oleh pengaruh eksternal yang berbahaya. Kewibawaan polisi harus dipelihara bukan hanya melalui tindakan represif, tetapi juga dengan membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat berdasarkan rasa saling percaya dan penghormatan terhadap hukum.






