
Kita semua pasti pernah mendengarkan semboyan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Apalagi pada saat pesta demokrasi. Semboyan tersebut seolah-olah bergema di mana-mana, termasuk di mulut para calon pemimpin yang mencalonkan dirinya.
Entah pencalonan tersebut murni dilatarbelakangi dengan ide-ide perubahan, pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat, atau dilatarbelakangi oleh niatan memperkaya diri dan sanak famili.
Perilaku sebagian para politisi di era kekinian ini semakin mencengangkan. Bagaimana tidak, kasus korupsi, money politic, politik transaksional, dan KKN sudah menjadi konsumsi publik dalam siaran media-media.
Padahal, selama ini, para politisi dipercaya sebagai sosok yang jujur, cerdas, alim dan santun. Itu bisa dilihat dari senyum para politisi ketika mencari dukungan masyarakat atas dirinya, juga janji-janji manis yang diucapkan pada saat kampanye. Hal ini telah membalikkan anggapan positif tentang kredibilitas para politikus.
Apalagi yang terseret dalam kasus korupsi tersebut adalah wakil rakyat. Tentu sangat menyakitkan hati. Terlebih menyakitkan lagi bagi rakyat yang dulunya memilih atau mencoblos politisi yang terjerat kasus korupsi tersebut. Hal ini seakan-akan menyobek kesadaran publik. Bahwa para politisi yang mengaku sebagai wakil rakyat dan juga sering mendengungkan semboyan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Sudah bukan mewakili rakyat lagi, akan tetapi mewakili kepentingan pribadi dan kepentingan sekelompok orang saja.
Perihal kasus korupsi. Di akhir tahun 2017 lalu, rakyat Sulawesi Barat dikagetkan dengan berita mengenai penetapan Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Barat sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyimpangan APBD Provinsi Tahun Anggaran 2016.
Selain Ketua, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Kejati Sulselbar) juga menetapkan tiga Wakil Ketua DPRD sebagai tersangka. Penetapan tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan yang diterbitkan Rabu, 4 Oktober 2017 (news.metrotvnews.com).
Atas berita tersebut, menjadi hal yang wajar jika banyak masyarakat yang tidak lagi mempercayai lembaga yang katanya tempat menampung aspirasi rakyat. Itu dikarenakan lembaga tersebut juga berpotensi sangat besar untuk melakukan praktik korupsi, baik korupsi bersifat perseorangan ataupun berjamaah.
Ada semacam kredo yang berkembang di tengah masyarakat. Bahwa dunia politik itu sarat dengan tukar-menukar jasa. Dalam bahasa perniagaan, bisa disebut sebagai proses tranksaksional.
Artinya, ada tukar menukar jasa dan barang yang terjadi antara para politisi dengan konsituen yang diwakili maupun dengan partai politik. Dengan demikian, semakin banyaknya politisi yang terjerembab dalam skandal korupsi, menunjukkan kepada publik akan politik transaksional tersebut.
Ketika pesta demokrasi telah tiba, konon katanya partai politik memilih para politisi untuk maju sebagai pemimpin atas dasar isi dompet. Bukan atas dasar kualitas dan integritas yang dimiliki. Maka, bahasa yang digunakan adalah seberapa tebal isi dompetmu. Bukan mempertanyakan seberapa berkualitas dirimu.
Para politisi yang diusung oleh partai politik pun rela mengeluarkan banyak dana dalam membiayai kegiatan kampanye. Dalam logika bisnis, modal yang dikeluarkan tersebut harus kembali.
Padahal, besarnya gaji bulanan yang diterima ketika menduduki jabatan legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif belum tentu mampu mengembalikan modal yang dihabiskan ketika kampanye. Jalan pintas yang paling cepat dalam mengumpulkan modal yang habis ketika kampanye, yaitu dengan memuaskan nafsu korupsi.
Melihat praktik korupsi yang tumbuh subur, khususnya di skala daerah, tentunya menimbulkan gagasan mengenai pembentukan lembaga. Ia mesti khusus membahas isu-isu terkait korupsi dan praktik-praktik curang para politisi, pejabat, dan cara mengatasi hal tersebut.
Mengingat bahwa rakyat adalah silent mayority, perlu peramu strategi untuk membangunkan rakyat dari keterdiaman. Membangun dengan pendekatan kasus menjadi salah satu strategi awal. Mencoba menanamkan pemahaman di dalam diri setiap masyarakat bahwa koruptor adalah pencuri uang rakyat.
Idealnya, harus ada suatu kelompok di dalam masyarakat yang menyalakan lilin untuk menjadi salah satu penerang relung-relung kuasa politik dan batin pejabat dan rakyat. Namun begitu, pekat dan gelapnya aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme, juga politik dinasti yang terbalut dalam atmosfer kehidupan yang pragmatis, konsumtif, hedonis, dan wacana yang hegemonik, membuat hal itu tidak teramini.
Memperjuangkan perubahan tentu memerlukan gagasan. Membangun gagasan adalah upaya mendekatkan asa yang akan dicapai. Namun demikian, gagasan tidak akan terwujud jika tidak ada tahapan-tahapan yang dapat dioprasionalkan. Karena dengan melaksanakan gagasan, cita-cita akan mudah dicapai.
Mengenai sekelumit permasalahan yang menjangkiti konstelasi politik di Sulawesi Barat, entah itu kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, juga mengenai permasalahan mutasi PNS, konflik kepentingan, konflik sosial antara pendukung A dan pendukung B ketika pemilu, black campaign, money politic. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, dari golongan manakah kelompok masyarakat yang ideal dalam menyalakan lilin untuk menjadi salah satu penerang relung-relung kuasa politik dan batin pejabat dan rakyat?
Menurut saya, kelompok ideal dalam menyalakan lilin perubahan bagi masyarakat adalah kelompok masyarakat yang akrab disapa agent of change, agent of control, serta iron stock, yaitu mahasiswa. Mahasiswa tentunya dituntut untuk menjawab sekelumit persoalan yang terjadi pada lingkungan sosialnya. Dilatih untuk peka dalam menanggapi kondisi sosial di sekitarnya. Menjadi motor penggerak dalam melakukan perubahan-perubahan.
Mengambil sikap serta melakukan aksi nyata atas problematika yang terjadi. Salah satunya, yaitu dengan memberikan penyadaran kepada masyarakat mengenai kejahatan politis yang terjadi di daerah. Hal ini bisa dilakukan dengan pengedukasian masyarakat, tulisan yang sarat akan pengetahuan yang disebarluaskan, juga gerakan budaya literasi.
Kenapa harus mahasiswa? Karena mahasiswa adalah elemen masyarakat yang paling idealis dan memiliki semangat tinggi dalam memperjuangkan sesuatu. Mahasiswa juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah juga dalam menggerakkan lapisan masyarakat.
Kapasitas intelektual yang dimiliki mahasiswa tidak diragukan lagi. Jika kita menilik sejarah, tumbangnya rezim Soekarno dikarenakan pergerakan masif dari mahasiswa. Begitupun rezim Soeharto. Ini adalah pertanda bahwa kelompok masyarakat yang ideal untuk menjadi motor penggerak perubahan, yaitu dari kalangan mahasiswa.
Diharapkan nantinya mahasiswa yang terjun dalam pembangunan daerah tidak menjadi “pelacur intelektual”. Dalam artian, tidak menggunakan ilmu pengetahuannya untuk kepentingan pribadi semata tanpa kemudian memperhatikan kondisi sosial masyarakat di sekitarnya. Mahasiswa dituntut untuk tidak bersikap konformis apabila dihadapkan oleh realitas dunia kerja.
Idealisme mahasiswa adalah kemewahan terakhir yang menjadi ciri khas perjuangannya. Dr. Yusuf Al-Qardhawi, seorang ulama besar Indonesia berkata, “Apabila ingin melihat suatu negara di masa depan, maka lihatlah pemudanya hari ini.” Saya plesetkan sedikit, “Apabila ingin mengetahui kemajuan suatu daerah di masa depan, maka lihatlah aktivitas pemudanya hari ini.”
#LombaEsaiPolitik
___________________
Artikel Terkait:
- Bikin Malu! Pimpinan DPRD Sulbar Jadi Tersangka Korupsi APBD
- Wali Kota dan 18 Anggota DPRD Kota Malang Terlibat Korupsi Massal
- Menuju Generasi Emas - 1 Mei 2019
- Kapital - 3 September 2018
- Aku Rindu - 6 Juni 2018