
Membaca bukunya Prof. Kuntowijoyo membuat saya ingin sekali membuat tulisan ini dengan judul di atas, Politik Rasional Berbasis Alquran. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan dalam memandang politik umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan tema “Identitas Politik Umat Islam”.
Islam adalah ajaran yang sangat rasional dan universal. Islam tidak hanya sebatas pada ajaran untuk melakukan ritual-ritual ibadah saja. Tetapi juga mengajarkan tentang ekonomi, politik, hukum, sosial, demokrasi, pemerintahan, sebagaimana perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah jaziratul Arabiyah. Hal ini dikarenakan agar, sebagai umat Islam, kita tidak kaku memaknai Islam.
Islam pada hal demokrasi-politik tidak bisa terlepas-pisahkan dari kehidupan keumatan. Sebab Islam juga punya kepentingan-kepentingan tersendiri dan itu akan sejalan dengan kepentingan negara secara umum.
Pada dasarnya, Islam harus mengenal politik bahkan mengatur politik. Sehingga Islam memiliki visi politik diwujudkan melalui konsep integral agama dan negara. Olehnya itu, ia (baca: demokrasi-politik) dalam Islam merupakan sesuatu yang sangat penting.
Demokrasi dan politik dalam Islam berarti (a) Demokrasi menurut pandangan Islam, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma), dan penilaian interpetatif yang mandiri (ijtihad). (b) Politik secara Islam merupakan aspek ajaran Islam yang mengatur sistem kekuasaan dan pemerintahan menurut ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Sebuah kesimpulan menarik telah dikemukakan oleh Bernard Lewis (2019), guru besar di Universitas Princeton, Amerika Serikat. Bahwa salah satu ciri yang membedakan agama Islam dengan agama Yahudi dan Kristen adalah perhatian besar dan keterlibatan langsung yang ditunjukkannya terhadap tata kelola negara dan pemerintahan, hukum, dan perundangan:
“The religion of, in contrast to both Judaism and Chris tianity, was involved in the conduct of go vernment and the enactment and en forcement of law from the very beginning,” tulisnya dalam buku Islam: The Religion and the People.
Umat (Islam) mempunyai kepentingan dengan demokrasi. Sebab hanya demokrasi ada political will untuk mengatasi kesenjangan struktural. Dalam Islam sangat menghendaki bahwa semua manusia itu sama dan tidak perbedaan. Karena yang membedakan umat Islam hanyalah potensi keimanan dan takwa kepada sang pencipta.
Baca juga:
Demokrasi juga menghendaki itu secara ideal bahwa mestinya tidak ada keberpihakan dalam struktur masyarakat. Itu artinya, dalam memandang manusia dengan kacamata Islam dan demokrasi itu sama, dan tidak membeda-bedakan.
Kuntowijoyo menjelaskan dalam tulisannya, hanya dengan demokrasi kekuasaan menjadi transparan. Hanya dengan demokrasi akan tercipta manajemen yang rasional. Itu artinya demokrasi punya keinginan kuat adanya keterbukaan dalam sistem berdemokrasi. Islam menganjurkan bermusyawarah sebagai praktek berdemokrasi secara riil.
Kalau pemahaman kita tentang politik itu seperti yang dimaknai oleh Max Webber bahwa politik adalah sarana perjuangan untuk sama-sama melaksanakan politik atau perjuangan untuk memengaruhi pendistribusian kekuasaan, baik di antara negara-negara maupun di antara hukum dalam suatu negara, berarti kepentingan Islam harus sejalan dengan kepentingan negara. Agar terciptanya tatanan sosial seperti yang diinginkan semua orang (umat) secara bersama, yakni untuk kesejahteraan dan keadilan sosial.
Kuntowijoyo berpendapat seperti ini, bahwa yang diperlukan ialah politik yang rasional dalam konteks Indonesia (kepentingan material dan kesadaran nilai). Sehingga golongan masyarakat terlayani dengan layak.
Sudah waktunya bangsa dan umat mendapatkan yang terbaik. Semua aspirasi politiknya tersalurkan, tidak berhenti di meja kaum politisi. Itu bisa terjadi apabila bergesernya subjektif menjadi objektif, normatif menjadi faktual, dan tertutup menjadi terbuka.
Ini yang dalam hemat saya harus menjadi pegangan umat (Islam) dalam berpolitik secara rasional sesuai dengan fitrah dari Islam itu sendiri. Bahwa politik jangan hanya dimaknai sebagai jalan untuk berkuasa atau mencapai jabatan tertentu saja. Tetapi, lebih dari itu, politik adalah cara untuk mencapai keadilan secara nyata.
Politik Rasional
Pada prinsipnya, seperti yang diketahui bahwa politik itu transaksi akal sehat, tukar tambah gagasan. Artinya, politik sesungguhnya mengajak kita untuk berpikir menuju sesuatu yang benar. Begitulah cara rasional bekerja. Rasional adalah suatu sikap yang dilakukan berdasarkan pikiran dan pertimbangan yang logis dan cocok dengan akal sehat manusia.
Jurgen Habermas, filosof Jerman, menjelaskan bahwa kekuatan argumen yang bersandar pada rasionalitas merupakan roh bagi demokrasi. Prinsip dasarnya, kekuasaan dalam sistem demokrasi mendapatkan legitimasinya ketika semua keputusannya lolos uji dalam diskursus publik sehingga dapat diterima secara intersubjektif oleh semua warga negara. Hal ini mengandaikan adanya warga negara yang rasional, cerdas, dan argumentatif dalam menguji dan membincang keputusan-keputusan pemerintah tersebut.
Sementara dalam konteks politik di Indonesia akhir-akhir ini, berpolitik dengan mengedepankan cara-cara rasional telah hilang dan diganti dengan yang emosional atau rasional menjadi irasional.
Mengutip Afriadi Rosdi (2018) yang mengatakan bahwa Indonesia memang sedang mengalami fakta pahit dalam dinamika kehidupan politiknya, di mana rasionalitas menjauh dalam kehidupan politik, ditukar oleh faktor emosi dan “kebenaran saya”. Sehingga tidak ada lagi tukar pikir gagasan dan tidak mau menerima pemikiran orang lain. Yang ada hanya saling menyerang, menghujat, bahkan mencaci maki.
Padahal, di kala rasionalitas lebih mengemuka dan terus dipertahankan, maka pertentangan opini di tengah masyarakat dan juga para politisi lebih berjalan dinamis, penuh warna, dan menggairahkan. Perdebatan melahirkan gagasan brilian untuk kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Kebenaran ujaran agama, bahwa perbedaan itu rahmat, akan kita temui dalam diskursus rasional ini.
Politik Berbasis Alquran
Islam sebagai sebuah ajaran yang turun langsung dari Allah bersifat tersurat yakni pada Alquran. Sehingga Alquran dijadikan pedoman dan petunjuk dalam menjalani hidup dan kehidupan bagi para pemeluknya.
Pedoman berarti segala hal yang diperbuat haruslah berdasar pada pedoman itu (baca: Alquran). Begitu juga dengan berpolitik sebagai bagian terpenting dalam kehidupan umat Islam.
Indonesia yang latar belakang masyarakatnya beragam, terdiri banyak suku, bahasa, adat-budaya, dan agam. Sehingga mengharuskan praktik politik untuk kepentingan bersama secara merata demi terwujudnya keadilan. Sebab, esensi berpolitik adalah memperjuangkan kepentingan (rakyat).
Dalam catatan pengantar dari penerbit pada bukunya Prof. Kuntowijoyo berjudul “Identitas Politik Umat Islam”, dijelaskan bahwa politik Islam harus didasarkan pada kaidah-kaidah yang jelas. Berorientasi pada kemaslahatan bersama dan tunduk pada aturan-aturan yang sejalan dengan semangat pembebasan sebagai energi pembebasan. Olehnya itu, Alquran harus dijadikan sumber dari segala sumber bagi umat (politisi) muslim dalam dunia politik.
Sebab, selama ini banyak politisi muslim yang berpolitik tanpa menggunakan nilai-nilai Alquran untuk berjuang. Tidak jarang dari mereka melakukan “pemerkosaan politik” yang sangat menodai esensi dari politik.
Nasarudin Umar (2019) menjelaskan, dalam Alquran, ada yang namanya etika berpolitik. Salah satu etika politik paling mendasar di dalam Alquran adalah menegakkan rasa adil.
Seharusnya negara (pemerintah) memasukkan sistem. Sistem pemerintahan seperti apa pun yang dilakukan, mau kerajaan atau republik, yang penting adalah keadilan harus betul-betul ditegakkan di dalamnya.
Banyak ayat memutuskan perlunya menegakkan keadilan. Di antara itu adalah: Hai orang-orang yang beriman, dapatkanlah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, tolonglah kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat ke takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah/5:8)
- Rakyat: Subjek Demokrasi, Bukan Objek - 11 Desember 2022
- Bangsa Bermasalah - 10 Oktober 2022
- Pendidikan Substantif - 1 Januari 2022