Posisi Menteri Sosial Bakal Jadi Batu Loncatan Risma?

Posisi Menteri Sosial Bakal Jadi Batu Loncatan Risma?
©Kompas

Kedudukannya sebagai Menteri Sosial tentu saja bisa dimanfaatkan untuk bisa lebih sering terjun ke lapangan dan meninjau problematika sosial yang ada di masyarakat.

Beberapa pekan lalu, Presiden Joko Widodo secara resmi melantik segenap pejabat publik. Hal yang menjadi sorotan sudah barang tentu adalah langkah reshuffle menteri Kabinet Indonesia Maju yang dilakukan pria asal Kota Surakarta tersebut.

Dalam beberapa figur yang dilantik sebagai menteri atau wakil menteri, terdapat nama-nama tenar yang sudah lama dikenal oleh masyarakat. Salah satunya adalah nama Tri Rismaharini atau yang lebih akrab disapa Risma.

Dalam seremoni pelantikan yang dihelat di Istana Negara itu, Risma mengambil sumpah jabatan sebagai Menteri Sosial untuk menggantikan Juliari Batubara yang tersandung kasus pidana korupsi dana bansos Covid-19.

Sebelum pelantikan tersebut digelar, sejatinya nama Risma telah santer disebut-sebut bakal mengisi posisi Mensos yang lowong. Terlebih, masa jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya akan berakhir pada Februari mendatang. Apabila menilik situasi tersebut, agaknya antara kursi Mensos dengan Tri Rismaharani seakan sudah digariskan untuk berjodoh.

Meskipun mengemban posisi sebagai menteri adalah sebuah kebanggaan yang luar biasa, publik berasumsi jika kedudukan sebagai menteri bukanlah tujuan akhir yang ingin dicapai oleh Risma. Kepopuleran Risma dalam belantika perpolitikan nasional dan usianya yang bisa dibilang urung terlampau tua (59 tahun) adalah aspek yang bisa menjadi faktor kunci jika karier politiknya masih cukup panjang.

Menariknya, banyak posisi strategis yang bisa dibidik oleh Risma dalam waktu mendatang. Yang paling dekat tentu saja adalah posisi Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang pemilihannya kemungkinan besar akan dilangsungkan pada 2022 mendatang, sebagai revisi UU No. 10 tahun 2016 dan UU No. 7 tahun 2017 yang menjadwalkan Pemilihan Kepala Daerah akan dihelat berbarengan dengan penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2024 mendatang.

Dikutip dari CNN Indonesia, Wakil Ketua Komisi II DPR yang berfokus membidangi bidang dalam negeri, sekretariat negara, dan pemilu, Saan Mustopa, mengonfirmasi jika wacana pemilihan serentak kepala daerah dan presiden akan ditunda hingga 2027. Sebagai penutup, Saan mengatakan apabila keputusan perihal penyelenggaraan Pilkada tahun 2022 dan 2023 akan diteken paling lambat awal 2021.

Menerawang situasi tersebut, sahih rasanya apabila menyebut Pilkada DKI Jakarta 2022 adalah kontestasi politik yang bisa saja diikuti oleh Tri Rismaharini, mengingat namanya juga sempat santer akan maju dalam Pilgub DKI 2017 lalu. Kinerja apik Risma selama menjabat sebagai Wali Kota Surabaya semenjak 2010 silam sudah diakui banyak pihak dalam tingkat nasional maupun internasional. Perempuan kelahiran Kediri itu bahkan sempat diganjar penghargaan sebagai salah satu wali kota terbaik oleh The City Mayors Foundation pada 2015 silam.

Risma dianggap menunjukkan tata kelola perkotaan yang baik selama berdinas di Kota Pahlawan. Risma dinilai mampu membuat Surabaya menjadi bersih dan rapi dan kerap kali turun ke lapangan langsung untuk meninjau kinerja armadanya.

Tidak hanya itu, Risma juga punya perhatian yang tinggi pada pemangkasan birokrasi dan efektivitas anggaran. Bahkan tak jarang Risma terlihat sangat emosional ketika mengetahui adanya kesalahan yang dilakukan oleh anak buahnya. Ketegasan macam itu ditengarai bisa meredam carut-marut yang sudah terlalu dalam merasuki kawasan Jakarta.

Karakter Risma yang tegas dan blak-blakan adalah sesuatu yang tidak dipunyai petahana Gubernur DKI saat ini, Anies Baswedan. Walaupun dikenal mengusung gaya komunikasi publik yang tenang dan kalem, Anies selama ini dianggap cenderung kompromis dan mengorbankan berbagai aspek ketertiban dan kerapian yang sempat dijadikan prioritas utama oleh gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama.

Kendati sikap kompromis Anies dianggap tidak cocok untuk menata sengkarut Jakarta, tidak bisa dimungkiri jika pendekatan populis yang diterapkan olehnya sejak masa kampanye Pilkada DKI 2017 silam adalah salah satu faktor penentu yang mengantarkan sepupu Novel Baswedan itu untuk menempati jabatannya saat ini sebagai Gubernur DKI Jakarta. Gaya komunikasi publik Anies yang rileks dianggap lebih disukai oleh masyarakat Jakarta, terutama kalangan menengah ke bawah yang mendominasi lumbung suara politik ibukota.

Rival berat Anies dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada 2017 lalu, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa dengan panggilan Ahok, mengusung persona yang tegas dan cenderung berapi-api. Tampaknya, gaya komunikasi yang ditunjukkan oleh Ahok belum bisa diterima seutuhnya oleh publik.

Masalahnya, Risma selama ini juga mengusung persona sebelas-dua belas dengan Ahok. Selain itu, sebagai seorang perempuan, Risma sangat rentan tersandung politik primordial yang santer digaungkan di Jakarta dalam beberapa tahun terakhir dikarenakan adanya sejumlah basis religius konservatif yang menolak kepemimpinan perempuan.

Untuk perkara itu, apabila Risma serius akan maju bertempur di DKI, ia harus pintar-pintar membangun relasi dengan kelompok agamawan seperti halnya kepala daerah lain seperti Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo yang memilih pasangan wakil gubernur yang berasal dari kalangan religius. Kemudian, masa bakti Risma di kantor Kementerian Sosial harus digunakan baik-baik olehnya untuk mempublikasikan sisi humanis yang ada dalam dirinya.

Selain dekat dengan pusat kekuasaan yang menjadikan segala tindak tanduk Risma kini lebih terekspos, kedudukannya sebagai Menteri Sosial tentu saja bisa dimanfaatkan untuk bisa lebih sering terjun ke lapangan dan meninjau problematika sosial yang ada di masyarakat, khususnya Jakarta, dalam rangka meraih simpati dari kalangan ekonomi pra-sejahtera yang mana langkah tersebut telah ia tempuh setelah melakukan berbagai kegiatan blusukan ke berbagai titik kumuh di Jakarta selama sepekan terakhir.

Wacana Risma menuju kursi DKI 1 seakan diperkuat dengan ambisi PDIP untuk kembali merebut kursinya yang mereka anggap telah direbut secara kontroversial pada 2017 lalu akibat kuatnya arus politik identitas yang terjadi di Jakarta kala itu. Ditambah dengan ketiadaan tokoh PDIP ataupun kalangan nasionalis lainnya yang mumpuni untuk menandingi daya pikat Anies makin menguatkan posisi dan modal politik Risma untuk dijagokan maju mewakili kalangan progresif pada 2022 mendatang.

Selain posisi Gubernur DKI Jakarta, posisi Gubernur Jawa Timur yang akan kembali dilakukan pemilihan kemungkinan besar pada 2023 mendatang juga cukup menjanjikan untuk Risma. Meskipun sempat menolak maju dalam Pilkada Jawa Timur 2018, iklim kompetisi di Jawa Timur dinilai lebih ramah untuk Risma ketimbang di DKI Jakarta.

Sebagai putra daerah, Risma punya kans besar untuk unggul di kampung halamannya sendiri. Wacana tersebut lagi-lagi diperkuat dengan keinginan PDIP untuk berkuasa di Jawa Timur setelah calon yang diusungnya pada 2018 silam, Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno, kalah dari pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak.

Menariknya lagi, Khofifah yang saat ini mengisi pos Gubernur Jawa Timur juga sempat mengemban jabatan sebagai Menteri Sosial pada periode 2014-2018. Kondisi geopolitik Jawa Timur yang didominasi oleh kelompok nasionalis dan Islam moderat juga akan menciptakan situasi yang lebih welcome untuk Risma, karena Khofifah sebagai perempuan terbukti bisa meraih suara mayoritas masyarakat Jawa Timur pada 2018 yang lalu.

Terakhir, adalah wacana untuk memajukan Risma dalam kontestasi tingkat nasional pada 2024 mendatang. Berakhirnya masa jabatan Joko Widodo yang sudah dua periode memimpin republik menjadikan suksesi kekuasaan berpotensi akan sengit.

Saat ini, terdapat tiga tokoh yang konsisten merajai survei pilihan presiden, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, serta Anies Baswedan. Meskipun melejitnya elektabilitas Ganjar semestinya menjadi kabar baik untuk PDIP, tampaknya sang ketua umum, Megawati Soekarnoputri, belum memberi restu bagi Ganjar untuk menunggangi PDIP sebagai kendaraan politik utama menuju kursi RI 1.

Usut punya usut, Megawati santer dikabarkan punya kecenderungan untuk memajukan trah Soekarno pada 2024 mendatang. Dalam hal ini, kemungkinan besar mandat sakral itu akan jatuh pada putrinya, Puan Maharani, yang saat ini mengampu jabatan strategis sebagai Ketua DPR RI. Akan tetapi, elektabilitas Puan hingga saat ini belum cukup kuat.

Walaupun posisi Ganjar hingga saat ini masih unggul atas Puan, kepopuleran Ganjar justru berpotensi menghadirkan masalah lain bagi PDIP. Karena level elektabilitasnya yang tinggi, nilai tawar yang dipunyai Ganjar justru berpotensi melebihi PDIP, yang mana konsekuensinya PDIP tidak leluasa untuk mengendalikan Ganjar. Megawati tampaknya khawatir akan mendapat “perlawanan” seperti yang dilakukan oleh Jokowi sejak 2014 lalu dengan cara merangkul cukup banyak jenderal militer dan polisi seperti Luhut Panjaitan, Wiranto, Moeldoko, dan Tito Karnavian untuk membentengi diri dari intervensi Megawati.

Perlawanan alot dari Jokowi pernah disindir oleh Mega yang mengatakan apabila Jokowi sebagai presiden harusnya juga harusnya mengambil peran sebagai petugas partai. Latar belakang tersebut kiranya akan menyulitkan Ganjar yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah untuk mendapatkan restu politik dari Megawati untuk maju lewat PDIP.

Dalam hal ini, Ganjar perlu effort lebih untuk meyakinkan loyalitasnya pada partai, khususnya pada Megawati. Lain halnya dengan Risma yang memang menjalin kedekatan personal dengan Megawati. Risma juga disebut-sebut sebagai representasi Megawati di Jawa Timur.

Bahkan beberapa waktu lalu ketika ditanyai perihal kemungkinannya memangku jabatan sebagai Menteri Sosial, Risma terus menjawab apabila ia akan bersedia apabila mendapat arahan dari Megawati. Sikap seperti ini adalah gambaran nyata loyalitas Risma pada Megawati. Apabila elektabilitas Puan dirasa masih belum memadai untuk dimajukan pada 2024 mendatang dan rasa kekhawatiran Mega terhadap potensi Ganjar akan mbalelo masih meliputi lubuk hatinya, Risma bisa menjadi pilihan alternatif.

Walaupun kepopuleran Risma belum bisa menyamai Ganjar, agaknya Risma bisa menghadirkan benefit serupa untuk partai yang diekpektasikan pada Puan Maharani, karena selama ini Risma sudah menunjukkan komitmen dengan sepenuh hati untuk partainya, lebih-lebih Megawati. Risma saat ini juga mengampu posisi yang cukup tinggi di struktural PDIP, yakni sebagai Ketua Bidang Kebudayaan DPP PDIP. Dengan demikian, bukan hal yang mustahil pula jika kita kelak akan melihat Risma melaju berebut kedudukan sebagai RI 1 atau RI 2.

Namun sebelum tiba waktunya itu, sudah menjadi kewajiban Risma untuk menjalankan tanggung jawab sebagai Menteri Sosial dengan sebaik-baiknya. Alih-alih semata-mata memandang jabatannya sebagai batu loncatan, yang utama bagi Risma adalah justru untuk tidak melupakan nilai yang paling esensial dari pengukuhannya sebagai anggora kabinet, yakni mengindahkannya sebagai suatu pengabdian.

Damar Senoaji
Latest posts by Damar Senoaji (see all)