PPKM, Krisis & Marahnya Risma!

PPKM, Krisis & Marahnya Risma!
©MI

Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 di Jawa dan Bali hingga 2 Agustus 2021 mendatang. PPKM level 4 berarti ada kelonggaran kepada usaha kecil untuk beroperasi sampai pukul 21.00 WIB. Tentu saja dengan protokol kesehatan yang ketat.

Kebijakan Presiden Jokowi ini sangat realistis. Kasus Covid-19 di Indonesia masih belum terkendali. Masih ada tambahan kasus positif di atas 40 ribu per hari. Kasus kematian pun masih tinggi, sekitar 1400 orang sehingga kasus kematian akibat Covid sudah mencapai 83.279 orang. Data ini menunjukkan dua hal. Pertama, kita berada dalam krisis besar. Kedua, kebijakan PPKM ini memang harus didukung. Tidak ada pilihan lain. Ini yang paling realistis!

Kita bisa memahami pasti ada banyak orang yang tidak bisa menerima perpanjangan PPKM ini. Sebagian besar mengeluh karena kebijakan PPKM ini membuat mereka mengalami kelumpuhan ekonomi. Aktivitas mereka terhambat total. Keluhan mereka patut didengar.

Persoalannya, kemungkinan besar ada sebagian kecil orang yang menyalahgunakan situasi krisis untuk kepentingan, nafsu dan ambisi mereka pada kekuasaan. Mereka ini kaum immoral yang harus direspons dengan tegas, tetapi tanpa mengabaikan aturan hukum dan kaidah demokrasi kita.

Harus diakui, pemerintah tak punya pilihan. PPKM level 4 adalah pilihan paling bijak dan paling realistis. PPKM level 4 menunjukkan kehati-hatian pemerintah yang memperhatikan ancaman Covid dan persoalan ekonomi. Meremehkan Covid akan menghancurkan kita, tetapi menutup sama sekali peluang ekonomi melumpuhkan semua.

Dalam kondisi seperti ini ada 3 langkah yang harus dilakukan. Pertama, secara personal kita harus makin kreatif. Carilah aktivitas dan peluang ekonomi. Masih ada jutaan kesempatan yang bisa diraih. Masih banyak uang yang beredar. Yang dibutuhkan adalah keberanian dan kreativitas.

Langkah kedua, tingkatkan solidaritas anak bangsa dengan mengembangkan sikap saling tolong menolong. Hanya solidaritas ini yang bisa menyelamatkan kita semua.

Dalam upaya membangun solidaritas, institusi agama diharapkan perannya. Agama harus berubah dari orthodoxy menjadi orthopraxis. Dari kebiasaan umbar kata menjadi aksi nyata. Dari ritual menjadi pelayanan riel bagi semua. Relevansi dan signifikansi agama tampak dalam aksi. Tanpa aksi, agama seperti garam tawar yang pantas ditinggalkan atau, seperti kata Yesus, pantas diinjak orang.

Lalu, apa langkah ketiga? Peran dan kebijakan pemerintah yang efektif dan efisien untuk menolong mereka yang rapuh. Dalam konteks ini dibutuhkan pejabat dan birokrat pemerintah yang memiliki kreativitas, integritas, dan terutama memiliki keberanian dan kejujuran.

Dalam situasi krisis, dibutuhkan manajemen krisis. Sikap tegas bahkan keras diperlukan terhadap para pejabat pemerintah dan oknum birokrasi yang pasif, lambat, opportunis, cari aman dan terutama yang korup. Bangsa yang sedang mengalami multi krisis tidak membutuhkan para pemimpin dungu seperti ini.

Baca juga:

Dalam konteks ini kemarahan Mensos Risma di Tuban adalah kemarahan suci. Kemarahan seperti ini dibutuhkan, meski juga harus terkontrol kata-katanya.

Mungkin perlu ‘senjata’ yang lebih efektif agar kemarahan ini bisa diwujudkan dengan menerapkan kebijakan publik yang mampu mengenyahkan pejabat dan birokrat manapun yang bermental sampah. Merekalah virus sesungguhnya!

Albertus Patty
Latest posts by Albertus Patty (see all)