Prabowo Subianto, sosok yang tak asing lagi di pentas politik Indonesia, kembali menggemakan namanya di jagat pemilu 2024. Tak pelak, bayang-bayang Soeharto, mantan presiden yang telah lama berkuasa, hadir dalam setiap langkahnya. Seiring dengan desas-desus mengenai ambisi politiknya, kekhawatiran dan antisipasi pun mengemuka di kalangan masyarakat. Akankah Prabowo benar-benar mengikuti jejak sang monumen otoritarian itu, atau justru ia berupaya menawarkan sesuatu yang lebih segar?
Di panggung politik yang dinamis, Prabowo menyusun strategi dengan penuh perhitungan. Ia mengklaim ingin membawa perubahan, berbeda dari era Orde Baru yang ditandai dengan unjuk kekuasaan dan pengekangan terhadap kebebasan. Janji-janji politiknya mengonfirmasi harapan akan adanya regenerasi dalam caranya memimpin dan berinteraksi dengan rakyat. Namun demikian, pernyataan-pernyataan ini sering kali datang beriringan dengan sorotan publik yang skeptis. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah perubahan yang dijanjikan Prabowo benar-benar akan muncul, atau hanya sekadar kosmetika politik semata?
Di balik citra tegas dan karismatik yang dibawanya, terdapat narasi rumit tentang latar belakang dan pengalaman yang membentuk pandangannya. Prabowo, sebagai mantan jenderal, memiliki paradigma yang kental dengan pendekatan meritokrasi militer. Rara-rara, pemimpin yang kuat dan terencana sering kali mengedepankan pendekatan top-down, mirip dengan gaya kepemimpinan Soeharto. Dalam konteks ini, penilaian akan ketokohan Prabowo pun tak terhindarkan dari perbandingan dengan pendahulunya yang terkenal otoriter.
Penegasan identitas politik Prabowo juga terlihat melalui gagasannya mengenai nasionalisme. Ia mengedepankan idealisme tentang “kemandirian” dan “kedaulatan”, yang mengingatkan banyak orang akan retorika Soeharto tentang stabilitas nasional. Pesannya sangat jelas: sebagai bangsa, Indonesia harus berdiri tegak di atas kaki sendiri, tidak tergantung pada pengaruh asing. Namun, di balik semangat itu, muncul keraguan apakah pemahaman konvensional ini akan menciptakan kemakmuran untuk seluruh lapisan masyarakat atau hanya menguntungkan elit tertentu.
Masih ada lagi tantangan yang harus dihadapi Prabowo: isuis terkait hak asasi manusia. Meskipun kini ia berusaha menampakkan wajah progresif dengan menjalin ikatan lebih kuat dengan berbagai komponen masyarakat sipil, bayang-bayang masa lalu—terutama keterlibatannya dalam berbagai insiden pelanggaran HAM—masih menghantui. Bagaimana menghadapi kritik yang pedas dan terus berlanjut ini menjadi satu aspek yang krusial dalam menciptakan citra politik yang lebih positif. Di sinilah perjalanan Prabowo menjadi lebih pelik dan menarik untuk diperhatikan.
Sikap pragmatisme yang dipamerkannya dalam berpolitik makin menarik perhatian, utamanya ketika ia mengambil langkah mendekatkan diri kepada berbagai kalangan. Perubahannya dalam berstrategi menunjukkan keinginan untuk beradaptasi di tengah realitas politik yang kian kompleks. Hal ini berpotensi melahirkan kekuatan baru dalam dinamika kekuasaan. Namun, adakah itu murni keinginan untuk melakukan transformasi? Atau sekadar langkah strategis untuk meraih kekuasaan dengan cara yang lebih efisien, mirip dengan pendekatan yang diambil Soeharto di masa lalu?
Mendalami lebih jauh, terdapat soal ekonomi yang tak kalah krusial. Prabowo berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program yang bersifat progresif. Namun, benarkah ia mampu mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut dalam praktiknya? Selama ini, Indonesia diliputi oleh persoalan ketimpangan pembagian kekayaan, dan janji-janji itu menjadi tantangan nyata untuk diwujudkan. Dengan pendekatan yang cermat, tak dapat dipungkiri bahwa Prabowo perlu merangkul kebijakan yang inklusif, menelusuri jejak ekonomi yang lebih berkeadilan.
Jika dilihat dari sudut pandang kepemimpinan, Prabowo juga perlu mempertanyakan sejauh mana ia akan menjaga moralitas dalam kekuasaan. Dalam sejarahnya, Soeharto terjebak dalam korupsi dan penyalahgunaan kuasa, mungkin Prabowo memiliki kesempatan untuk belajar dari kesalahan tersebut. Mampukah ia mendorong transparansi dan akuntabilitas di lingkungan pemerintahannya? Rakyat Indonesia sangat berharap agar pemimpin baru mengedepankan etika di atas pragmatisme ekonomi semata.
Di tengah semua ketidakpastian ini, satu pertanyaan tetap menggelitik pikiran banyak orang. Akankah Prabowo Subianto mampu menjadi sosok yang mengedepankan pembaharuan, atau justru mengulangi pola diskriminatif era yang telah berlalu? Jelas, perjalanan politiknya menyajikan banyak tantangan dan sandiwara. Selalu ada spekulasi, namun pada akhirnya, keputusan ada di tangan rakyat. Dengan pilihan di depan mata, Indonesia harus bersiap untuk tidak hanya memilih, tetapi juga mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari pemimpin yang akan datang.






