
Nalar Warga – Pada awalnya Soeharto adalah anti-Islam. Keinginan beberapa tokoh Masyumi untuk merehabilitasi organisasinya yang dibubarkan oleh Soekarno tidak pernah diperkenankan. Inilah kebijakan Orde Baru yang berjalan hingga akhir 1980-an.
Akan tetapi, pada awal 1990-an, terbukti Soeharto adalah seorang yang pandai membaca tanda-tanda zaman. Setelah komunisme runtuh dan akibatnya politik global berubah secara cepat, dia segera beralih haluan kepada Islam.
Dia tahu, satu-satunya sandaran bagi kekuasaannya saat itu adalah politik identitas yang dalam konteks Indonesia tiada lain kecuali Islam. Hanya Islam yang bisa dijadikan sarana mobilisasi massa yang efektif dalam rangka mempertahankan kekuasaan.
Maka, kekuatan politik Islam Masyumi yang dulu tersingkir dikumpulkan. Mereka diwadahi, di antaranya ke dalam ICMI. Mereka juga menyebar di partai-partai di politik yang ada, termasuk di Golkar. Mereka sangat modern, tetapi sektarian.
Pada umumnya, karena ingatan kolektif yang masih terus-menerus dirawat dalam pikiran, mereka menyimpan kekhawatiran terhadap pengaruh Kristen dan Cina/Tionghoa dalam ekonomi politik Indonesia.
Di era transisi dari Orde Baru ke orde setelahnya, kekuatan Islam yang dikumpulkan oleh Soeharto di akhir masa kekuasaannya ini mengalami sedikit kebingungan. Mereka sadar bahwa zaman telah berubah, demokrasi telah mekar, tetapi mereka tidak mau kehilangan posisi ekonomi politik yang belum lama digenggam.
Apalagi pada saat yang sama antusiasme terhadap Islam tradisional ala NU dan romantisme terhadap nasionalisme ala Soekarno kembali dibangkitkan. Sesuatu yang tidak mereka kehendaki sejak awal.
Belakangan, muncul Prabowo dari pengasingannya. Dengan jargon ultra-nasionalismenya, dia berhasil menarik kalangan Islam politik yang sedang kebingungan karena ketiadaan pemimpin yang kuat di antara mereka.
Dalam hal ini, tugas Prabowo tidak terlampau berat karena kekuatan kalangan ini telah diaktifkan oleh Soeharto pada awal 1990-an. Dia hanya perlu menyuntikkan logistik agar mereka lebih giat berpolitik berbalut misi dakwah Islam.
Oleh karena itu, jika hari ini sebagian umat Islam mendukung Prabowo, maka hal itu tidak perlu diherankan. Soal apakah Prabowo bisa membaca Alquran atau mengimami salat berjamaah, bukan urusan.
Bagi Prabowo, ini adalah peluang. Sedangkan bagi kalangan Islam, ini adalah kesempatan. Cocok, ketemu jodohnya, saling memanfaatkan, meski sesungguhnya mereka tidak tahu siapa yang akan mendapat keuntungan!
___________________
Artikel Terkait:
- Saiful Mujani: Tutup Celah untuk Lahirnya Diktator
- Ingat, Usia Gak Pernah Bohong
- Rian Ernest PSI Nilai Gerindra Tak Kredibel karena Inkonsisten
- Mungkinkah Gerindra Akan Menggeser Posisi PDIP? - 29 September 2023
- Murid Budiman - 1 September 2023
- Budiman Sudjatmiko, Dia Pasti Adalah Siapa-Siapa - 30 Agustus 2023