Dengan segala kesederhanaan itu, Gandhi berjuang secara damai (Satya Graha), tanpa menggunakan kekerasan (Ahimsa) dan selalu hidup mandiri, tidak bergantung kepada siapapun (Swadesi). Ketiga prinsip di atas, dipegangnya secara teguh dan dikemudian hari menjadi ajaran-ajaran Gandhi berarti bagi umat manusia.
Mencermati fenomena kekerasan dan konfliktual yang terjadi di Indonesia, maka prinsip-
prinsip etis masyarakat yang dikembangkan oleh Gus Dur (Pribumisasi Islam dan Kemanusiaan) dan Gandhi dalam ashram serta keyakinannya bahwa “semua manusia bersaudara”, menjadi menemukan titik relevansinya bagi masyarakat Indonesia yang menginginkan terbentuknya masyarakat sipil (civil society). Prinsip dasar yang hendak dibangun dalam masyarakat sipil adalah pengarus-utamaan tema-tema kepentingan bersama dan kepentingan individu pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Memang, kesenjangan kaya dan miskin sangat besar, dan kalau ada pemimpin yang mau membuang segenap peluang untuk menjadikan diri melarat seperti si miskin, maka hal itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Gus Dur dan Mahatma Gandhi adalah contoh hidup dari sikap ingin membela “orang kecil dan tertindas”.
Dan pemikiran Gus Dur diatas di teruskan oleh komunitas “GUSDURIAN”, sementara Mahatma Gandhi diteruskan oleh para pemimpin seperti, Vinoba Bhave dan Prakash Narayan, salah seorang pendiri partai sosialis di India. Berkat kesediaan para pemimpin itu untuk hidup serba sangat sederhana, maka Indonesia dan India tetap damai dan melawan kekerasan hingga hari ini.
Penting juga bagi penulis untuk dicatat, menurut Gus Dur, memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan universum formalistiknya. Dengan memperjuangkan nilai-nilai yang ada dalam Islam, maka Gus Dur bisa mengatakan bahwa dia sedang memperjuangkan Islam. Di mata Gus Dur, Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral, bukan sebagai sistem sosial dan politik yang berlaku secara keseluruhan.
Dengan kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. Islam dalam maknanya yang legal formal tidak bisa dijadikan sebagai ideologi alternatif bagi cetak biru negara bangsa Indonesia. Islam merupakan faktor pelengkap di antara spektrum yang lebih luas dari faktor-faktor lain dalam kehidupan bangsa.
Alhasil, visi Gus Dur tentang Indonesia masa depan adalah sebuah Indonesia yang demokratis. Misalnya, adanya kedudukan yang sama bagi semua warga negara dari berbagai latar belakang agama, dan etnis manapun serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Baca juga:
- Pribumisasi Islam Adalah Idealisme Gus Dur (1)
- Kenaifan Ariel Heryanto Klaim Gus Dur Ditakuti Para Jenderal
- Rahasia dan Tingkatan Puasa Ramadan - 18 Maret 2024
- Antara Sekolah dan Masyarakat - 26 Desember 2023
- Pentingnya Keteladanan dan Meneladani - 18 Desember 2023