Pulang ke Pangkuan Ibu

Pulang ke Pangkuan Ibu
Ilustrasi: inilah.com

Aku berbaring pada hamparan yang menghijau. Menatap langit biru dengan segala keindahannya. Mentari tetap sama, setia dengan sinarnya yang menyilau. Inilah cara buatku mengenang pangkuan ibu, negeri pertiwi Indonesia.

Berbaring menatap langit, aku hendak melepas rindu akan kampung halaman. Alam yang elok, lautnya membentang luas. Segama macam bahasa dan adat-istiadat, lengkap beragam dengan makanan khas daerah di masing-masingnya. Semua kurindu. Tapi hanya pada senja aku berharap untuk mengurangi rasa-rasa itu.

Sudah terlalu lama aku tinggalkan tanah lahirku beserta mereka-mereka yang aku sayangi. Sepulah tahun sudah cukup bagiku untuk perjalanan ini. Saatnya kembali kepangkuan ibu, satu sosok dengan kelembutan yang tak terkira.

“Mau berapa lama lagi kamu tak pulang, nak,” tanya ibu tiga hari lalu.

“Nanti, bu. Ada saatnya putra ibu ini akan pulang,” jawabku sering sama setiap kali ibu tanyakan tentang kepulanganku.

“Pulanglah, nak. Adik-adikmu sekarang sudah menyelesaikan kuliahnya. Saatnya kamu pulang. Ibu sudah sangat rindu ingin bertemu,” pintanya.

Oh, ibu, siapa pula yang tak merindumu. Di tempat asing ini, dirimulah yang sangat kubutuh. Peluk hangat dan tatap sendumu, kian terus menjadi rinduku.

“Aku merindukanmu, bu. Sangat. Segera putramu ini akan pulang. Percayalah.”

***

Sepuluh tahun lalu aku mendapat beasiswa ke negeri Paman Syam ini. Kesempatan semacam ini adalah impian setiap insan sekaligus kebanggaan yang tak ternilai. Pun denganku yang sedari kecil sudah kutanam dalam-dalam hingga akhirnya terwujud jua.

Hanya saja, kebahagiaan yang kini kurasa tidak dirasakan oleh sang ibu. Kabar tentang kudapatkannya beasiswa adalah kabar buruk baginya. Wajahnya murung. Air matanya berlinang meski terus berusaha untuk menahannya.

“Ada apa, bu? Mengapa ibu menangis,” tanyaku waktu itu.

“Tidak apa-apa, nak. Ibu senang mendengar kabar gembira ini. Selamat, sayang. Akhirnya impianmu tercapai juga.”

Ibu merengkuhku, memeluk dengan erat. Saat itulah aku tahu, tangisan ibu bukan tangisan kebahagiaan atas capaianku. Tangis itu adalah tangis kepiluan akan berpisah.

“Pergilah, nak. Gapai impianmu dan segeralah kembali,” bisiknya.

“Hei, Daniel. Kau kenapa? Kau menangis?” ucap Nabila memecah lamunan itu.

“Oh, Ah. Aku tak apa-apa,” ucapku tergagap.

“Kurasa tidak. Sudahlah. Kau tak usah menjawab. Kurasa kau sedang memikirkan sesuatu,” ujarnya kembali sambil berlalu.

Dengan air yang terus berlinang pada mata, kenangan tentang ibu terus menyerua.

“Apakah kau baik-baik saja, ibu?”

***

Sudah terlalu lama aku meninggalkan ibu. Sejak kepergianku sepuluh tahun silam, aku tak pernah sekali pun punya kesempatan untuk pulang. Setelah lulus kuliah, aku langsung bekerja di sebuah perusahan ternama di negeri ini.

Sebagai seorang pendatang, tak mudah bisa bekerja dengan posisi manajer keuangan. Posisi  ini yang membuat aku mendapat gaji cukup tinggi, setidaknya bisa membiayai pendidikan adik-adikku.

Suatu keberuntungan memang bisa bekerja di posisi yang demikian. Akan tetapi, posisi itu pula yang membuat waktuku terkuras habis. Hampir setiap hari aku harus kerja lembur. Sampai-sampai tak memberiku kesempatan untuk pulang walau hanya sekali.

Aku memang sangat mencintai pekerjaan, dan memang harus. Itu pesan ibuku. Sebab, ibu bilang, hidup paling bahagia adalah dengan mencintai pekerjaan.

Tapi, entah kenapa kalimat itu tak lagi mujarab padahal dulu ia membuatku tak pernah mengeluh. Kalimat itu seakan berganti: hidup terlalu mencintai pekerjaan akan membuat sengsara.

***

Kring…kring…kring…,” telpon berbunyi.

“Pak, ada  telpon dari Indonesia,” ucap sekretarisku memberitahu.

“Ok, sambungkan segera,” jawabku.

“Halo, kak,” sapa adik tertuaku, Rena, mendahului.

“Halo. Bagaimana, Rena? Sehat? Ibu bagaimana?” tanyaku langsung.

“Baik, kak, tapi rasanya ibu tidak,”

“Syukurlah. Ada apa dengan ibu, Ren? Sakit?”

“Tidak, kak. Di luar ibu tampak sehat, tapi tidak di dalam.”

“Maksudnya?” tanyaku bingung.

Sambil terisak ia pun menjawab, “Iya. Ibu kelihatannya baik-baik saja. Tapi akhir-akhir ini, ibu sering bersedih, apalagi kalau melihat makanan kesukaan kakak. Ia juga sering mengurung diri dalam kamar sambil menatap foto kakak. Ia sangat rindu pada kakak.”

Mendengar ini, aku hanya bisa terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.

“Pulanglah, kak. Sudah cukup sepuluh tahun kakak tinggalkan ibu. Sudah cukup pengorbanan itu. Toh kami juga sudah menamatkan pendidikan. Sudah bisa membiayai diri sendiri juga ibu. Pulanglah, kak, meski hanya sebentar. Ibu kian renta. Rena tak tega melihat wajah murung dari ibu. Pulanglah, Rena mohon,” pintanya dengan tangisan.

“Rena, tak perlu menangis lagi. Kakak akan pulang tahun ini. Kakak janji.”

“Benarkah, kak? Rena senang mendengarnya. Ibu juga pasti akan sangat senang mendengar itu.”

Aku hanya bisa tersenyum. Renaku, peri kecil itu sudah dewasa.

***

“Nabila, aku akan pulang,” ucapku saat makan siang.

“Benarkah? Kapan? Aku pun sangat ingin. Tetapi tahun ini lagi-lagi tak mungkin bisa pulang, Niel.”

“Lusa, Bil. Adakah yang kau mau titip untuk kelurgamu,” ujarku.

Hah, serius? Bukannya hari libur masih lama?” tanyanya heran.

“Iya. Aku serius. Lagipula hal ini telah aku bicarakan dengan bos. Surat pengunduran diri juga sudah aku serahkan pagi tadi. Dan hari ini hari terakhir aku kerja,” jawabku.

“Daniel, kau serius dengan keputusanmu itu? Coba dipikir lagi. Aku tahu kamu sangat merindukan ibumu. Tetapi melepas pekerjaan ini bukanlah pilihan yang tepat,” ujarnya memberi saran.

“Tak ada yang perlu dipikirkan lagi, Bil. Keputusanku sudah bulat. Semua sudah aku selesaikan. Tanggungjawabku untuk adik-adikku sudah selesai. Mereka sudah mampu mencukupi diri mereka sendiri. Itu artinya bahwa sudah waktunya untuk aku pulang, kembali ke pangkuan ibuku,” ucapku mantap.

Hmm, kalau memang itu sudah keputusanmu, apa boleh buat. Pulanglah. Ibumu pasti senang kau kembali. Dan jangan lupa, salam untuknya dariku.”

“Terima kasih, Bil. Sampai bertemu di lain waktu. Ku tunggu kepulanganmu juga.”

“Iya, Niel. Pasti.”

***

Hari yang kutunggu akhirnya datang  jua. Hari kepulanganku setelah sepuluh tahun di negeri rantau. Kini saatnya kembali ke pangkuan ibu. Wajah dengan senyum merekah menyambut kepulangaanku kian terbayang.

Sebelum berangkat, aku mencoba menghubungi Rena, memberitahu kabar kepastian kepulangan ini. Tetapi Rena tak bisa dihubungi. Entahlah. Aku tak terlalu memikirkan itu. Lagipula Rena juga sudah mengetahuinya.

“Rena, kakak pulang. Beritahu ibu kalau putranya sudah pulang,” tulisku melalui email ke Rena.

Setelah delapan belas jam perjalanan, akhirnya aku tiba di bandara Soekarno-Hatta. Tinggal menempuh satu jam perjalanan lagi dengan taksi, aku akan sampai ke rumah.

Wajah ibu tak bisa lepas dari pandangku. Membayangkan tangis haru ibu atas kepulanganku, membuat bola mata ini terus berlinang dengan air mata.

“Oh, ibu, putramu akhirnya kembali,” bisik hatiku.

Sesampainya di rumah, bukan tangis haru kerinduan ibu dan adik-adik yang menyambutku. Yang menyambutku justru isak tangis kepiluan, persis seperti saat beranjak pergi waktu itu. Kian lama, tangis itu kian histeris.

“Ibu di mana? Mengapa ia tak menyambutku?”

Bukannya menjawab, adik-adikku justru semakin terisak. Mereka merangkulku kuat-kuat, memeluk dan memeluk lagi dengan tangis yang histeris.

“Lisa, ibu di mana?”

“I.. ibu, ibu, ibu sudah tiada, kak,” jawabnya terbata. Satu bahasa yang membuat duniaku seketika hancur. Badanku linglung. Pelukanku melepas dan aku terduduk.

“Iya, kak, ibu telah pergi,” ucap menguatkan Dian.

“Ibu telah meninggalkan kita semua kak. Ibu sudah pergi,” sambung Rena.

“Kapan? Mengapa tak satu pun dari kalian yang memberitahu kabar itu?” cecarku menyesali.

“Kami sudah coba menghubungi berkali-kali, tetapi tetap tak bisa dihubungi. Ibu sudah pergi tiga hari yang lalu, kak,” jawab Rena.

Hancur. Senyu hangat dan kebahagiaan dari wajah ibu yang aku bayangkan menyambut kepulanganku, berganti dengan isak tangis adik-adikku. Wajah sendu dan mata sayunya tak lagi bisa menyambutku. Kepulangan dan kerinduanku hanya tinggal di samput pusara.

“Ibu, putramu ini telah pulang. Ia tak akan pergi ke mana-mana lagi. Kenapa tega meninggalkanku untuk selamanya sebelum bertemu? Maafkan putramu ini, bu,” bisik hatiku di pusara ibu.

Sepucuk Surat

“Kak, sebelum pergi, ibu titipkan ini untuk kakak,” ucap Rena sembari menyerahkan titipan dari ibu.

Anakku, ibu tahu kau akan pulang. Ibu sangat senang mendengar kabar itu dari adik-adikmu. Akhirnya doa ibu dikabulkan.

Anakku, ibu tahu kau sangat merindukan ibu. Sama halnya dengan ibu yang sangat merindukanmu.

Ibu juga tahu, kau bekerja untuk membiayai pendidikan adik-adikmu. Itu sebabnya ibu tak penah memintamu untuk pulang meskipun ibu harus menanggung beban rindu yang berat itu.

Anakku, ibu tahu saat kau membaca ini, ibu sudah tiada. Ibumu sudah kembali pada-Nya.

Anakku, maafkan ibu yang tak bisa menyambut kepulanganmu. Maafkan ibu yang tak bisa memberi senyum hangat dan peluk kasih untuk kepulanganmu. Maafkan ibu, anakku.

Anakku, jangan salahkan dirimu atas kepergian ibu. Semua ini sudah menjadi suratan takdir dari-Nya.

Anakku, ibu senang mendengar kabar kepulanganmu. Sangat senang. Akhirnya putra ibu kembali pada bumi pertiwinya, kembali ke pangkuan ibunya. Ibu sangat senang, nak.Tak ada yang bisa menggambarkan kegembiraan ibu mendengar kabar kepulanganmu itu.

Setiap hari ibu berdoa agar diberi umur walau hanya sampai kepulanganmu saja. Hanya itu, anakku. Ibu sangat ingin menyambut kepulanganmu. Akan tetapi, sepertinya Tuhan sangat menyayangi ibumu ini, sehingga memanggilnya terlebih dahulu sebelum bertemu denganmu.

Anakku, percayalah, hingga akhir hayat, ibu tak pernah menyalahkanmu atas semua yang terjadi pada ibu.

Anakku, jangan sesali kepergian ibu. Kepergian ibu ini bukan berarti menutup pengabdianmu pada ibu.Pengabdianmu selama ini sudah sangat besar, pada ibu, juga pada adik-adikmu.Ibu tetap berharap, pengabdianmu setelah ibu pergi tetap sama, anakku. Doa-doamu yang berantai akan sangat ibu harapkan.

Anakku, tetaplah kuat. Jangan bersedih terlalu berlarut atas kepulangan ibu ini. Kau harus kuat. Kau adalah anak lelaki dan panutan adik-adikmu.

Anakku, jika kau merindukan ibu, cukup kirimkan doa pada ibu dan datanglah sesekali kepangkuan ibu. Pusara itulah pangkuan yang tersisa untukmu, anakku. Ibu titip adik-adik padamu. Jaga mereka untukku.

*Peka Tariska adalah Mahasiswa Universitas Sarjana Winata Yogyakarta; Anggota IKPM Riau.

Kontributor