
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menginjak usia ke-68 tepat pada 23 Maret 2022, merupakan salah satu organisasi yang dibilang lama hingga eksis di abad ke-21 ini.
Melacak dari akar historis, bahwa momentum awal Pendirian GMNI di pertengahan abad ke-20 (23 Maret 1954) merupakan kesepakatan para the founding organisation pada momentum kongres I di Surabaya, hasil dari fusi dari ketiga organisasi 3 daerah yang telah berdiri sebelumnya yakni Gerakan Mahasiswa Merdeka (berbasis di Surabaya), Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (berbasis di Jakarta), dan Gerakan Mahasiswa Marhaen (berbasis di Yogyakarta).
Seiring dengan perkembangan zaman, secara umum bahwa GMNI mengalami dinamika yang amat luar biasa dalam menghadapi tantangan zaman dalam proses pasang dan surutnya.
Secara periodik, di era Presiden Soekarno, bahwa GMNI mampu berdiri dan berkembang pesat dalam proses penyebarannya, serta dapat memobilisasi dan mengorganisir massa, hingga menjadi salah satu organisasi mahasiswa yang berpengaruh dalam seantero republik Indonesia.
Bahkan pada zamannya, GMNI mendapatkan slot menjabat sebagai anggota legislatif pada zamannya dari unsur mahasiswa, representatif keterwakilan dari PNI (yang pada saat itu GMNI menjadi underbow), karena kader GMNI mempunyai nalar kritis dan memberikan sumbangsih penuh dalam wacana kemajuan bangsa Indonesia. Meskipun produk dari GMNI bergerak di ruang politik, jurnalis, hingga akademisi.
Secara singkat, tantangan GMNI makin nyata, ketika peralihan kekuasaan kepresidenan dari Soekarno (Zaman Revolusi Kemerdekan) ke Soeharto (Orde Baru) menjadi tantangan yang memberatkan di tubuh GMNI. Sehingga terpecah menjadi dua yakni GMNI versi Ali – Surachman (Berideologi Marhaenisme) dan GMNI versi Osa – Usep (Berideologi Pancasila Asas Tunggal versi Orde Baru).
Tentu amat berat bagi GMNI yang konsisten dengan ajaran Marhaenisme yang dicetuskan oleh Bung Karno. Pasalnya, dugaan De-Soekarnoisasi dan dugaan pemusnahan ajaran Soekarno era Orde Baru menjadi tantangan bagi kalangan Marhaenis. Sehingga ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan partai Nasioanlis (difusikan menjadi PDI tahun 1973), pada kongres GMNI di Salatiga pada 1976, memutuskan secara kelembagaan menjadi organisasi bersifat independen dan tidak terafilisasi dengan partai politik mana pun.
Ketika Soeharto mengundurkan diri menjabat sebagai Presiden terlama di Indonesia kurang lebih sekitar 32 tahun, menjadi angin segar bagi GMNI dalam menyebarkan sayapnya untuk menjadi organisasi mahasiswa kader yang setia terhadap marhanisme sebagai asas perjuangan. Konsolidasi organisasi, baik skala internal maupun eksternal, tentu dimanfaatkan secara baik oleh organisasi mahasiswa berhaluan nasionalis.
Baca juga:
- Pengkhianatan GMNI Yogya sebagai Lumbung Ideologi; Sebuah Kesaksian
- Arjuna GMNI: Agama Bukan Musuh Pancasila
Pasalnya, GMNI menjadi organisasi yang dikenal “Progresif-Revolusioner” harus menjawab segala macam problematika yang terjadi di masyarakat maupun negara. Dalam konteks inilah bahwa pentingnya sinergitas antara kader GMNI, unsur masyarakat maupun negara (lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif) dalam membangun wacana dan implementasi kebangsaan yakni bangsa Indonesia.
Namun, hal tersebut bukanlah perkara mudah. Pasalnya, seiring dengan perkembangan zaman, GMNI mengalami proses dinamisasi dalam gerakannya. Tergantung melihat dari sudut pandang yang mana di antara keberagaman dalam perspektif? Meskipun secara internal dan eksternal GMNI dihadapkan dengan wacana pro dan kontra. Lantas apa yang terjadi?
Penulis dengan harapan bahwa segala macam persoalan atau problematika yang ada, dapat diselesaikan dengan permusyawaratan permufakatan, hilangkan egosentris ambisius yang destruktif, menghilangkan intrik politik organisasi yang menghambat laju organisasi, serta menjadi kader yang argumentatif dialektis dengan paradigma yang sistematis dan terstruktur (tidak terjebak dalam baperisasi, mudah reaksioner, stigmaisasi negatif, dan sejenisnya).
Bedah Tema Sesuai dengan Perkembangan Zaman
Melihat secara realitas, bahwa penulis dan juga kader GMNI se-Indonesia harus adil sejak dalam pikiran, melihat segala macam realitas yang terjadi di tubuh GMNI. Dinamika dalam organisasi bagi penulis adalah suatu hal yang wajar.
Perbedaan dalam gagasan yang variatif inilah merupakan proses pendewasaan diri dari kader GMNI dalam rangka membangun rumah organisasi ini, sehingga pendewasaan diri inilah menjadi bekal untuk mengabdi di elemen kebangsaan di Indonesia. Baik mengabdi di lembaga negara, lembaga swadaya masyarakat, partai politik, lembaga pendidikan hingga jurnalistik.
Ya, kita harus jujur pula bahwa dinamika tidak dapat dihindarkan atau dibenturkan sehingga menghasilan gagasan yang dual-kontradiktif. Sehingga tidak hanya berhenti pada wacana dinamika yang menghambat jalannya organisasi, melainkan bagaimana membangun paradigma yang kokoh dan konstruktif.
Banyak sekali orang yang penulis kenal dan menurut saya baik. Pasalnya, hampir secara keseluruhan pemikirannya baik untuk kemajuan organisasi.
Momentum dies natalis GMNI yang ke-68, mengutip dari Instagram DPP GMNI @dpp_gmni, dengan tema “Mempertajam Gerakan Renaissance – Pedagogie untuk Kejayaan Nusantara”, dipertegas dengan pernyataan:
Halaman selanjutnya >>>
- Fikih Peradaban dan Upaya Deradikalisasi di Perguruan Tinggi - 28 Juni 2023
- Pemikiran Pluralistik KH. Yahya Cholil Staquf - 19 Februari 2023
- Quo Vadis Nasionalisme Islam? - 5 November 2022