Ibarat sebuah tanaman, akar adalah bagian yang paling penting dalam proses pertumbuhan tanaman. Apabila akar dari sebuah tanaman tidak kuat, maka bisa jadi batang dan daun dari tanaman tersebut tidak akan tumbuh yang mengakibatkan tanaman menjadi mati. Ilustrasi ini sebenarnya menggambarkan strategi sultan dalam membentuk citra yang demokratis di mata publik.
Langkah pertama yang dilakukan sultan adalah penguatan akar tanaman dengan melakukan demokratisasi di lingkungan yang paling vital, yaitu keraton sebagai tempat tinggalnya, termasuk di beberapa wilayah kekuasaannya. Caranya adalah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan demokratis dalam kapasitasnya sebagai seorang raja (Widyatama, 2017).
Salah satu kebijakan demokratis itu adalah pembaruan di bidang pemerintahan dengan memberikan otonomi kepada kabupaten-kabupaten yang ada di Yogyakarta, yaitu Sleman, Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo. Pemberian otonomi kepada beberapa kabupaten tersebut menjadi tanda bahwa Hamengku Buwono IX sebagai penguasa Yogyakarta memberikan kewenangan kepada kabupaten-kabupaten untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri secara mandiri dalam batas-batas yang telah ditentukan.
Dengan demikian, melalui otonomi yang diberikan, pemerintah kabupaten memiliki kebebasan untuk menentukan jalannya pemerintahan sehingga mampu memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat (Widyatama, 2017).
Dalam hal ideologi, warisan Hamengku Buwono IX, ketika dinilai sepanjang karirnya, lebih sulit untuk didefinisikan. Terlepas dari nasionalisme anti-kolonialnya, ia menjadi terkemuka awalnya sebagai seorang pembaru yang progresif, menggabungkan berbagai desa menjadi unit-unit yang lebih praktis, bersikeras agar lebih banyak lembaga perwakilan dibentuk di seluruh provinsi, menyalurkan energi dari para pemuda ke dalam laskar, menjaga berbagai hubungan produktif dengan banyak pemimpin republik, dan memberikan tanah untuk universitas pertama Indonesia yang diciptakan oleh pribumi.
Peran-peran di atas merupakan beberapa peran Hamengku Buwono IX yang diceritakan di dalam buku “Raja di Negara Republik”. Ada banyak peran dan kisah yang diceritakan dalam buku tersebut. Dari buku ini setidaknya kita bisa mengetahui sedikit banyak tentang perjuangan bangsa Indonesia melewati berbagai halangan dan rintangan menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.
Meski sosok yang diceritakan adalah sosok yang memiliki privilege tersendiri sebagai seorang raja yang berbeda dengan status sosial kebanyakan masyarakat Indonesia, justru dengan privilege tersebut seorang Sultan Hamengku Buwono IX tidak tinggal diam atas keterpurukan bangsanya. Ia tetap mengambil peran sebagai masyarakat yang ingin melihat bangsanya berdiri tegak di kancah internasional dengan mengutip ucapan Bung Karno, “samen bundeling van alle krachten van de natie” (pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa).
Daftar Referensi
Widyatama, B. (2017). Demokrasi Sebagai Siasat (Tapak Politik Sultan Hamengku Buwono IX). Yogyakarta: Penerbit PolGov.
- Judul: Raja di Negara Republik
- Penerbit: Biography
- Penulis: John Monfries
- Tahun: April, 2018
- ISBN: 978-602-5638-18-3
- Konsep Petatah-Petitih Sunan Gunung Jati dan Relevansinya bagi Kehidupan Manusia - 31 Oktober 2023
- Darah Arab dalam Perang Diponegoro (1825-1830) - 27 Oktober 2023
- Sayyid Danoeningrat Basyaiban dan Komunitas Arab di Magelang - 11 Oktober 2023