Rakyat: Subjek Demokrasi, Bukan Objek

Misalkan, sejak Indonesia merdeka pada 1945, melalui konstitusi menegaskan kebebasan berekspresi. Kebebasan itu tercantum dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Percakapan yang dimaksud ini bertujuan semua warga masyarakat (rakyat) bisa mempercakapkan sesuatu antar satu atau kelompok dengan yang lain untuk membuat sesuatu menjadi jelas, dan dapat menjadi pemahaman. Dengan begitu, antar rakyat dengan negara tidak ada lagi saling curiga, karena adanya keterbukaan lewat percakapan itu.

Wempy Hadir (2017) menjelaskan, dalam demokrasi sangat mutlak dibutuhkan masyarakat komunikatif. Dalam masyarakat komunikatif sangat dimungkinkan terjadi dialog antar warga untuk membicarakan kepentingan umum demi terwujudnya kesejahteraan bersama. Dengan demikian, semua warga terlibat aktif untuk membahas bagaimana sebaiknya kehidupan bersama dikelola untuk kebaikan bersama.

Dampak dari masyarakat komunikatif ialah terwujudnya demokrasi yang partisipatif. Ia tidak lagi menjadi hegemoni sekelompok orang. Karena itu, jika masyarakat tidak aktif dalam membicarakan urusan publik, dapat dipastikan bahwa kelompok tertentu yang cenderung mementingkan kelompok atau golongannya memanfaatkan situasi ini demi kepentingan pribadi ter-utama bagi mereka pemburu rente kekuasaan.

Oleh karena itu, sesama warga negara harus rajin-rajin membangun argumen atau pendapat untuk dipercakapkan demi menghidupkan komunikasi publik. Supaya ada transaksi pikiran dan percakapan antar warga bangsa. Di situlah, sekali lagi, demokrasi akan tumbuh dan akan tercipta suasana kehangatan.

Menentang Arus

Pada alam demokrasi dengan konsep, ciri, dan tujuannya haruslah mendatangkan kesadaran baru dan menghasilkan kritikal thingking dari rakyat sebagai manusia berpikir yang mampu menilai benar tetap benar, yang salah tetap salah. Sebagai upaya menentang arus kekuasaan yang berbicara atas nama status quo yang tidak mau dikritik agar ada perubahan. Bahwa praktiknya yang amburadul, money politik dalam setiap momentum pemilu, mengkerdilkan hak-hak rakyat, dan semacamnya hanya akan merusak kualitas kehidupan demokrasi di negara ini.

Pemilihan umum (pemilu) yang kita maknai sebagai wujud nyata dari demokrasi di mana rakyat bisa menyalurkan hak-hak politiknya, saya pikir itu terlalu berlebihan, sebab pemilu hanya bagian kecil dan sangat bersifat prosedural. Apalagi corak pemilu kita yang seakan digunakan sebagai ajang mengganti kekuasan saja. Tetapi, belum bisa melahirkan suatu konsensus terhadap perbaikan kehidupan sosial, ekonomi, hukum dan politik, negara bangsa.

Ketika kebebasan rakyat semakin hari semakin dibatasi oleh penyelenggara negara. Maka itu adalah upaya untuk  menghambat prinsip-prinsipnya.

Baca juga:

Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia mengungkap hasil survei terbaru tentang kebebasan berpendapat. Melalui survei yang dilakukan pada 11-21 Februari 2022 itu menunjukkan sebanyak 62,9 persen masyarakat merasa takut berpendapat.

Ketakutan berpendapat yang dirasakan oleh masyarakat bukanlah sesuatu yang tanpa alasan. Tapi negara menjadi aktor utama dibalik ketakutan itu dengan kebijakan dan aturan yang dibuat dimana aturan serta kebijakan tersebut berasal dari pemerintah sebagai penyelenggara itu sendiri. Hal ini mesti dikritik dengan argumentasi rasional-ilmiah sebagai pengingat bahwa negara tidak bisa diatur sesuai selera sendiri.

Ktirik kepada pemerintah baiknya lahir dari suara rakyat sebagai kolektifitas yang mempunyai peran central dalam negara demokrasi. Agar apa yang menjadi cita-cita para leluhur, masa depan para generasi–para penerus, yang tertuang dalam pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dapat terwujud dengan rill.

Latest posts by Nardi Maruapey (see all)