Rasa

Rasa
Ilustrasi: Lumbung Puisi

I

Engkau datang ketika semua hampir sirna
Coba kuingat tentang masa silam
Dulu, kita pernah saling menyapa
Bercanda ria
Berbincang tentang masa depan yang tuhan pun tak tentu mengijabah

Lama..
Lama sekali perbincangan itu terus kita lontarkan—setiap hari
Pun kita saling menjaga
Rasa, nama, asa, dan bahagia
Berharap semuanya abadi walau kelak

Hampir aku lupa tentang sedih yang kerap orang perbincangkan
Tapi, siapa yang tahu tentang badai yang bisa saja datang tanpa permisi?
Dalam waktu lama, tanganmu tak akan lagi menggenggam tanganku
Dekapmu tak lagi menghangatkanku

Kita mesti melepas bahagia walau terpaksa
Engkau mesti tinggal nun jauh di sana
Jauh sekali, bersama Ayah dan Bunda
Hampir tak mungkin aku menjamah
Kata mereka, kau mesti menjadi besar

Pagi itu, kuhantar kau menuju kapal
Tertunduk syahdu menahan rasa
Engkau mulai menjauh

Mesin kapal mulai berisik, memberi cemas
Air biru bergemuruh

Benar saja, perlahan memberi jarak
Menjauh—kapal melaju
Engkau terus melambai tangan
Sesekali mengusap pipi

Tidak, aku tidak mau membalas tangismu
Aku hanya balas lambaianmu
Aku akan menahannya
Aku tunjukkan padamu bahwa aku baik-baik saja

Kau, tetaplah bahagia
Jangan pikirkan cemasku

Jarak mengaburkan pandanganku
Perlahan engkau menjauh
Terlihat tenang, tapi menghilang

Pada masa-masa itu, rasaku mulai sesak
Cukup lama, lama sekali
Rindu memuncak
Sesekali memejam mata dan membayang tentangmu

II

Hampir aku lupa tentangmu
Hidupku pernah ada tentang dirimu rupanya

Beberapa waktu lalu, tiba-tiba hadirmu mengingatku
Di mana harapku lagi patah parah
Bahkan lebur, hampir menjadi debu tak berarti

Pesan singkatmu memaksaku berpikir, “siapa gerangan?”
Engkau ingatkan tentang masa lalu—sadarlah aku
Hanya saja, aku takut kalau-kalau ini hanya mimpi
Seperti malam yang sudah-sudah
Aku ingin bergegas pada alam nyata

Eh, rupanya aku sedang tidak terlelap
Kau ketuk pintu berjeda
Di balik jendela, kuintai dan bertanya, “siapa di sana?”
Berkali-kali kau tak menjawabnya dan aku mulai kesal
Kubuka saja pintu dengan tergesa

Di depanku, senyummu menawan
Maaf, aku tak segera membalasnya
Aku tak percaya itu kau
Yah, kau

Aku harus menerka-nerka lagi tentang dirimu
Sebab sedikit berbeda
Ada janggut tipis dan kulitmu tampak lebih bercahaya
Gigimu masih sama—tertata rapi
Juga rambutmu masih aku suka

Hanya saja, tubuhmu masih melampauiku—menjulang
Senyumku merekah…
Aku ingat itu kau

Hai pujangga…
Kau datang di waktu yang tepat
Di mana hatiku lagi patah-patahnya
Dan senyumku hampir sirna

Terimakasih tetap memintaku untuk bersamamu
Tak perlu sesali tentang kepergianmu waktu itu
Yang pasti, kini kau di sini, bersamaku
Inilah bahagia tiada tara

III

Asa yang sempat tertunda, kini laju kembali

Pujangga…
Kau tak perlu siapkan yang mewah-mewah
Sampaikan juga pada Ayah dan Bunda
Sebab pihakku sudah setuju
Kita hanya butuh dua kata: Ijab dan Qabul saja

Pujangga…
Yang terpenting bagiku adalah kehidupan setelahnya
Kita butuh orang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya
Sebagai pembuat kegaduhan di rumah
Buah hati yang kerap kita nanti bahkan di masa silam

Aku ingin mereka hadir dari darahmu dan terawat baik di rahimku
Mereka mesti tumbuh di antara kita dengan sebaik-baiknya
Kau pernah berujar bahwa kelak mereka harus dirawat oleh tanganmu dan tanganku
Oleh sayangmu dan sayangku

Pujangga…
Aku juga ingin mereka tumbuh dan mencintai hidup
Juga berdampingan dengan buku-buku dan mencintainya
Mereka mesti membara
Menghidupkan kehidupan yang kini tak terarah

Pujangga…
Mereka mesti menjadi aktor bukan hanya penonton di pelataran
Mereka harus dibutuhkan

Pujangga…
Jika kau berkenan, ingin aku tanamkan sikap setia dan pantang menyerah
Pada hidup, pada rasa

Jika itu tercapai, aku harap mereka menjadi bijak bersikap

___________________

*Klik di sini untuk membaca sajak-sajak lainnya.

Uci Susilawati
Latest posts by Uci Susilawati (see all)