
I
Engkau datang ketika semua hampir sirna
Coba kuingat tentang masa silam
Dulu, kita pernah saling menyapa
Bercanda ria
Berbincang tentang masa depan yang tuhan pun tak tentu mengijabah
Lama..
Lama sekali perbincangan itu terus kita lontarkan—setiap hari
Pun kita saling menjaga
Rasa, nama, asa, dan bahagia
Berharap semuanya abadi walau kelak
Hampir aku lupa tentang sedih yang kerap orang perbincangkan
Tapi, siapa yang tahu tentang badai yang bisa saja datang tanpa permisi?
Dalam waktu lama, tanganmu tak akan lagi menggenggam tanganku
Dekapmu tak lagi menghangatkanku
Kita mesti melepas bahagia walau terpaksa
Engkau mesti tinggal nun jauh di sana
Jauh sekali, bersama Ayah dan Bunda
Hampir tak mungkin aku menjamah
Kata mereka, kau mesti menjadi besar
Pagi itu, kuhantar kau menuju kapal
Tertunduk syahdu menahan rasa
Engkau mulai menjauh
Mesin kapal mulai berisik, memberi cemas
Air biru bergemuruh
Benar saja, perlahan memberi jarak
Menjauh—kapal melaju
Engkau terus melambai tangan
Sesekali mengusap pipi
Tidak, aku tidak mau membalas tangismu
Aku hanya balas lambaianmu
Aku akan menahannya
Aku tunjukkan padamu bahwa aku baik-baik saja
Kau, tetaplah bahagia
Jangan pikirkan cemasku
Jarak mengaburkan pandanganku
Perlahan engkau menjauh
Terlihat tenang, tapi menghilang
Pada masa-masa itu, rasaku mulai sesak
Cukup lama, lama sekali
Rindu memuncak
Sesekali memejam mata dan membayang tentangmu
II
Hampir aku lupa tentangmu
Hidupku pernah ada tentang dirimu rupanya
Beberapa waktu lalu, tiba-tiba hadirmu mengingatku
Di mana harapku lagi patah parah
Bahkan lebur, hampir menjadi debu tak berarti
Pesan singkatmu memaksaku berpikir, “siapa gerangan?”
Engkau ingatkan tentang masa lalu—sadarlah aku
Hanya saja, aku takut kalau-kalau ini hanya mimpi
Seperti malam yang sudah-sudah
Aku ingin bergegas pada alam nyata
Eh, rupanya aku sedang tidak terlelap
Kau ketuk pintu berjeda
Di balik jendela, kuintai dan bertanya, “siapa di sana?”
Berkali-kali kau tak menjawabnya dan aku mulai kesal
Kubuka saja pintu dengan tergesa
Di depanku, senyummu menawan
Maaf, aku tak segera membalasnya
Aku tak percaya itu kau
Yah, kau
Aku harus menerka-nerka lagi tentang dirimu
Sebab sedikit berbeda
Ada janggut tipis dan kulitmu tampak lebih bercahaya
Gigimu masih sama—tertata rapi
Juga rambutmu masih aku suka
Hanya saja, tubuhmu masih melampauiku—menjulang
Senyumku merekah…
Aku ingat itu kau
Hai pujangga…
Kau datang di waktu yang tepat
Di mana hatiku lagi patah-patahnya
Dan senyumku hampir sirna
Terimakasih tetap memintaku untuk bersamamu
Tak perlu sesali tentang kepergianmu waktu itu
Yang pasti, kini kau di sini, bersamaku
Inilah bahagia tiada tara
III
Asa yang sempat tertunda, kini laju kembali
Pujangga…
Kau tak perlu siapkan yang mewah-mewah
Sampaikan juga pada Ayah dan Bunda
Sebab pihakku sudah setuju
Kita hanya butuh dua kata: Ijab dan Qabul saja
Pujangga…
Yang terpenting bagiku adalah kehidupan setelahnya
Kita butuh orang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya
Sebagai pembuat kegaduhan di rumah
Buah hati yang kerap kita nanti bahkan di masa silam
Aku ingin mereka hadir dari darahmu dan terawat baik di rahimku
Mereka mesti tumbuh di antara kita dengan sebaik-baiknya
Kau pernah berujar bahwa kelak mereka harus dirawat oleh tanganmu dan tanganku
Oleh sayangmu dan sayangku
Pujangga…
Aku juga ingin mereka tumbuh dan mencintai hidup
Juga berdampingan dengan buku-buku dan mencintainya
Mereka mesti membara
Menghidupkan kehidupan yang kini tak terarah
Pujangga…
Mereka mesti menjadi aktor bukan hanya penonton di pelataran
Mereka harus dibutuhkan
Pujangga…
Jika kau berkenan, ingin aku tanamkan sikap setia dan pantang menyerah
Pada hidup, pada rasa
Jika itu tercapai, aku harap mereka menjadi bijak bersikap
___________________
*Klik di sini untuk membaca sajak-sajak lainnya.
- Pandemi dan Ruang Cerita - 6 Juni 2020
- Walaupun Kau - 23 Juli 2018
- Yang Tak Lagi - 19 Juli 2018