Dalam beberapa tahun terakhir, krisis kemanusiaan di Rakhine State, Myanmar, telah menarik perhatian internasional, terutama di kalangan negara-negara dalam perhimpunan ASEAN. Di tengah tantangan yang sepenuhnya mendemonstrasikan kerentanan manusiawi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan perlunya intervensi kolektif. Pernyataan beliau berjudul “Jokowi Dorong ASEAN Ikut Atasi Krisis Rakhine State” tidak hanya mencerminkan komitmen pribadi surat kebijakan, tetapi juga mengisyaratkan urgensi yang jauh lebih besar. Krisis ini bukan sekadar masalah domestik Myanmar, melainkan tanggung jawab bersama seluruh negara di kawasan.
Kebangkitan kesadaran global tentang situasi di Rakhine State seharusnya mendorong para pemimpin ASEAN untuk menanggapi dengan penuh perhatian. Konsekuensi dari ketidakpedulian terhadap krisis ini bukan hanya berdampak pada Myanmar, tetapi juga akan menciptakan gelombang migrasi massal, konflik regional, dan ketidakstabilan sosial di negara-negara tetangga. Dengan demikian, kita perlu melihat permasalahan ini dengan perspektif yang lebih luas, mengingat berbagai dimensi kemanusiaan yang terlibat.
Jokowi menekankan bahwa ASEAN tidak bisa diam. Ini bukan sekadar retorika, tetapi sebuah seremoni moral yang harus dihadapi secara langsung. Realisasi dari pesan tersebut merujuk pada komitmen untuk merangkul kerjasama yang lebih strategis. ASEAN sebagai organisasi regional harus bertransformasi dari sekadar pengamat menjadi pelaku aktif dalam mengatasi krisis. Waktu untuk bercerita dan menunggu telah usai—sekarang saatnya untuk bertindak.
Lebih jauh lagi, dukungan solidaritas antar negara anggota ASEAN bisa diupayakan melalui berbagai mekanisme. Dalam konteks Rakhine State, pendekatan diplomasi yang inklusif perlu diprioritaskan. Semua pihak—baik pemerintah, masyarakat sipil, maupun organisasi internasional—harus terlibat dalam dialog yang konstruktif. Sebuah resolusi yang layak harus melibatkan satu pemahaman mendalam tentang sejarah, budaya, dan dinamika sosial yang membentuk latar belakang krisis ini.
Hal yang sering diabaikan adalah kenyataan bahwa krisis kemanusiaan ini bukanlah akhir dari justifikasi moral. Sebaliknya, ia adalah panggilan untuk menjawab tantangan yang ada di depan kita. Ketidakadilan yang dialami oleh etnis Rohingya harus menjadi sesuatu yang menggugah nurani. Penghapusan stigma dan peningkatan pemahaman seputar masalah ini adalah langkah-langkah penting untuk mendorong partisipasi aktif dari semua anggota masyarakat.
Inisiatif Jokowi untuk menggalang dukungan ASEAN sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Pancasila dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam menjalankan misi ini, kita dapat menciptakan program-program bantuan yang tidak hanya bersifat sementara, tetapi juga berkelanjutan. Pendekatan ini mencakup pemerintahan yang inklusif, penyediaan layanan dasar, serta pengakuan terhadap hak asasi manusia yang harus diperoleh secara adil oleh semua warga negara, tanpa kecuali.
Lebih dari sekadar dukungan materi, penguatan basis masyarakat sipil akan memberikan dampak yang lebih signifikan dalam jangka panjang. Mengaktifkan jaringan non-pemerintah di seluruh kawasan juga dapat merevitalisasi perhatian terhadap Rakhine. Masyarakat internasional, melalui lembaga non-pemerintah, harus berkolaborasi untuk memberikan solusi yang berkelanjutan. Tindakan ini menunjukkan bahwa semua orang memiliki peran, terlepas dari batas-batas wilayah dan hukum internasional yang terkadang membatasi.
Penting untuk diingat bahwa, meskipun upaya regional sedang dilakukan, dampak dari respons krisis ini akan jauh lebih besar apabila ada jaminan dari tingkat global. Begitu banyak elemen eksternal yang dapat memengaruhi situasi di Rakhine State, mulai dari ekonomi global hingga dinamika geopolitik yang kompleks. Oleh karena itu, panggilan Jokowi untuk tidak berdiam diri ini mengundang perhatian besar, bukan hanya dari pemimpin-pemimpin negara ASEAN, tetapi juga dari dunia.
Respons yang lebih aktif dan berani terhadap krisis kemanusiaan di Rakhine State akan menciptakan dampak yang monumental. Dengan memandang persoalan ini dari perspektif kemanusiaan yang holistik, kita bisa merangkai jalinan solidaritas antarnegara yang bermakna. Rangkaian aksi ini, pada gilirannya, akan memberikan angin segar bagi kawasan dan memperkuat identitas ASEAN sebagai komunitas yang peduli dan responsif.
Akhir kata, seruan untuk aksi bersama di tingkat ASEAN haruslah menjadi momentum penting untuk menyikapi krisis Rakhine State. Pesan Jokowi adalah panggilan untuk tidak sekadar berdiam diri, tetapi untuk menggebrak keheningan dengan tindakan nyata yang mengutamakan kemanusiaan. Sejarah akan mencatat bagaimana kita dan para pemimpin ASEAN bertindak menghadapi tantangan ini—apakah kita akan memilih untuk terbelenggu oleh ketidakpastian, atau kita akan bertransformasi menjadi kekuatan positif? Ternyata, semua bergantung pada pilihan kita hari ini.






