Sajadah Lusuh dan Pak Tua

Sajadah Lusuh dan Pak Tua
©Alif

sajadah lusuh itu adalah istana pak tua
saat ia tersimpuh dalam-dalam
bermunajat sebagai nikmat abadi
sejenak,
sebelum ia tersadar kembali
hiruk-pikuk jalanan yang
menyingkirkannya dari lakon utama

sajadah lusuh pak tua
adalah memoar,
mengabadikan sujud-sujud pilu
yang terselip berjuta kisah haru

namun, sajadah lusuh pak tua
kini makin memudar
corak warnanya
menjadi bercak-bercak air mata

benang yang terajut,
merangkai sajadah lusuh itu
satu-dua terberai
seiring jalannya pak tua yang kian gontai

“tapi sajadah lusuhku akan abadi,”
Kata pak tua
Dibawanya kemana-mana dengan bangga
Dari masjid ke masjid
Hingga nanti terbenam dalam pusara

Dan sajadahnya,
Adalah amal setia.

Kau Ini Manusia Macam Apa?

Kau ini manusia macam apa?
Bahkan kayu, pohon, dan batu
Dengan takdimnya bergantian mengirim salam,
Ingin menyapamu

Unta-unta pilihan manawarkan diri dengan menjulurkan leher-lehernya
Demi tersentuh pedangmu

Awan di langit menjelma payung
Layaknya malaikat-malaikat membentangi sayapnya
Untuk meneduhkanmu

Kau ini manusia macam apa?
Kekayaan justru kau tukar dengan kemelaratan
Kekuasaan malah kau tolak demi janji masa depan
Wanita-wanita biduan bahkan kau campakkan demi sebuah teladan

Kau ini manusia macam apa?
Saat raja-raja nun jauh di sana dengan sombongnya memamerkan kemewahan
Sebagai simbol keculasan dan lambang kekuasaan
Istana mereka emas
Permadani mereka emas
Baju mereka emas

Kau yang  bahkan raja diraja seluruh alam
Justru tak sepeserpun uang berani kau simpan
Rumahmu kumal
Kasurmu kumal
Bajumu tak terhitung berapa kali kau tambal

Kau ini manusia macam apa?
Kasih sayangmu tiada dua
Bahkan untuk orang yang tak pernah bertemu denganmu
Kau merindukannya

Kau dermawan tiada banding
Ketika hanya mempunyai sepotong roti saat lapar
Dan melihat si miskin terkapar
Kau justru memberinya tanpa ambil pusing

Kau ini manusia macam apa?
Mengapa semua orang mencintaimu melebihi dirinya?
Saat pedang teracung,
Dada-dada mereka seketika menjadi tameng
Agar kau bisa berlindung

Cipratan darah mereka adalah isyarat
Nyawa-nyawa mereka adalah bukti
Beritahu aku pengorbanan cinta mana yang lebih hebat dari ini, selain untukmu?

Kau ini manusia macam apa?
Saat kau mendapatkan kelas eksekutif, manusia maksum yang terjaga dari segala angkara dan dosa
Justru di setiap detak jantungmu tak lepas dari rasa takut kepadaNya

Malam-malam di mana yang lain mendengkur
Kau jauhkan lambungmu dari kasur
Dan kau sibukkan dirimu dengan tadzakkur

Kau ini manusia macam apa?
Semesta raya dan tak luput sang pencipta
Bersolawat kepadamu dengan suka cita

Tuhan tak sudi menerima persaksian manusia
Tanpa bersaksi bahwa kau adalah kekasihNya

Kau ini manusia macam apa?
Memang kau bukan manusia biasa!
Allahumma sholli ‘ala muhammad

(Jika) Ini Adalah Akhir

Jika ini adalah akhir
aku takkan berharap banyak
sebab aku tak kuasa menyebutnya cinta
pun tak rela hendak dilupa

Aku cukup menyebutnya “kebingungan”
yang minimal mewakili gengsi,
menerjemahkan segala kepengecutan yang ada

bohong jika aku bisa jujur pada puisi
sebab aku tak mampu memahami diri sendiri
anehnya, pada puisi lah
kata-kata itu menjadi pendengar terbaik hati ini

Jika ini adalah akhir,
kuingin segala
kebingungan, keresahan dan apapun
yang didengar kata dari rasa
berlabuh padamu,

barangkali aku pengecut,
mempersulit, atau bahkan menyiksa
aku minta maaf,
karena inilah aku,
aku yang ada

namun jika ini bukan akhir,
ketahuilah, bahwa perjalananku takkan pernah
benar-benar berakhir
dan melupakanmu hampir mustahil.

Sajak Tertahan

(I)

Aku (masih) tak bisa
Merangkai aku dan kamu menjadi kata “kita”
Karena “kita”, bagiku adalah diksi
Yang selalu ingin ku enyahkan dari hati

Hingga kini
diksi itu masih saja nyaman bersembunyi
Dibalik debaran-debaran perasaan yang sunyi

Bisakah kita, terangkai “kita” esok hari?

(II)

Kita memang dekat
Sedekat ujung bibir yang saling bertemu
Untuk membuka perbincangan yang kaku
Juga yang malu-malu

Dibalik itu,
kita juga dipisahkan oleh ruang pertapaan terasing
Yang tak bisa di intervensi masing-masing

Kita sama punya relung
dan juga sama terselubung
namun isinya bisa saja berbeda
relungku terpenuhi olehmu
dan relungmu terpenuhi oleh sesuatu
yang entah, aku tak tahu

(III)

tak ada yang bisa diharapkan
dari sajak yang tertahan
Hanya bisa menjerit dengan kata
Tak bisa didengar, apalagi dirasa

Seperti saat ini
Mengaku mengharap padamu
Tapi lidah ini cukup ngilu untuk mengucapkan itu

Wildana Rahmah Azzuhri