
Diskriminasi terhadap ateis di Indonesia sudah demikian banal, sehingga orang cenderung tidak menganggapnya sebagai kewajaran, bukan diskriminasi.
Ulasan Buku – Indonesia merupakan satu di antara banyak negara demokrasi yang telah meratifikasi instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasional dan mengadopsi berbagai instrumen HAM tersebut dalam sistem perundang-undangan nasional.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia berkewajiban secara moral untuk menjadikan kedaulatan rakyat sebagai dasar bagi perumusan regulasi dan kebijakan publik. Sebagai negara yang telah meratifikasi dan mengadopsi HAM, Indonesia berkewajiban secara hukum untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar warganya.
Obligasi moral dan hukum harus dipenuhi melalui perluasan akses warga terhadap kebebasan—sumber dari sebagian besar, jika bukan seluruhnya, hak-hak setiap individu yang fundamental.
Indonesia sempat mendapatkan status negara “bebas” berdasarkan hasil penilaian Freedom House pada 2013, yang mengindikasikan kemajuan penting dalam proses demokrasi dan advokasi HAM sejak reformasi 1998. Namun, tahun 2014, Indonesia terpuruk ke status negara “setengah bebas” dan terus mengalami penurunan indeks kebebasan.
Mengacu pada Laporan Freedom House, skor kebebasan sipil di Indonesia menurun secara drastis, dari (4) pada 2015 menjadi (2) pada 2016. Survei Kinerja HAM yang dilakukan Setara Institute juga mencatat penurunan indeks kebebasan pada 2016, khususnya dalam hal berekspresi dan beragama.
Faktanya, memang restriksi terhadap kebebasan beragama masih kerap terjadi, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas agama dan/atau keyakinan seperti Ahmadiyah, Syiah, Gafatar, dan agama-agama lokal. Sangat bisa dimengerti—dan memang sudah seharusnya—bahwa banyak organisasi masyarakat sipil mendorong banyak inisiatif promosi atas isu kebebasan beragama.
Namun, berbagai inisiatif ini, disadari atau tidak, agaknya mengandung bias pemahaman konsep kebebasan atas agama (freedom of religion), yang cenderung direduksi semata-mata menjadi kebebasan beragama (religious freedom), freedom for religion, namun abai terhadap kebebasan untuk tak beragama, freedom from religion.
Alhasil, energi promosi dan advokasi tersedot nyaris seluruhnya kepada pembelaan atas kebebasan meyakini dan mengekspresikan keyakinan, seraya, sebagai implikasinya, mengabaikan kebebasan untuk tidak meyakini dan mengekspresikan ketakyakinan.
Baca juga:
Dalam satu kalimat: ateisme adalah isu yang terpinggirkan, jika bukan terlupakan, dalam upaya-upaya promosi dan advokasi isu-isu HAM di Indonesia—khususnya dalam konteks freedom of religion.
Padahal, sebuah survei di tahun 1990-an menyebutkan bahwa sekitar 1,5% dari populasi penduduk Indonesia adalah ateis. Angka yang sangat signifikan untuk kelompok minoritas dan, layak diduga, lebih tinggi dari angka beberapa kelompok minoritas agama yang menjadi “langganan” advokasi HAM.
Ungkapan ateis tidak akan dipersoalkan selama tidak “berisik” bukan satu dua kali saya dengar, disuarakan termasuk oleh mereka yang biasa digolongkan sebagai “aktivis” dalam forum-forum HAM, seolah ateisme bukanlah isu HAM.
Secara agak gegabah, cukup banyak juga aktivis yang berargumen dengan menyebut ateis bukanlah prioritas karena tidak menjadi korban diskriminasi dan kekerasan layaknya Ahmadiyah dan Syiah. Saya katakan “gegabah” karena anggapan ini mengabaikan realitas kondisi ateis dan ateisme di Indonesia yang tidak mendapatkan akses yang cukup untuk berekspresi di ruang publik, sejak Orde Baru hingga Orde Paling Baru sekarang ini.
Dalam “pendiaman” ini, tentuk tampak sulit mengidentifikasi individu-individu ateis yang menjadi korban pelanggaran HAM, meskipun bukan tak mungkin. Pasca pemidanaan seorang CPNS yang men-declare status ateis dan pandangan-pandangan ateisme, individu-individu ateis di Indonesia harus berpikir dua kali atau bahkan lebih untuk mengekspresikan identitas dan pandangan-pandangannya secara terbuka.
Diskriminasi terhadap ateis di Indonesia sudah demikian banal, sehingga orang cenderung tidak menganggapnya sebagai kewajaran, bukan diskriminasi.
Maraknya pemrosesan hukum atas kasus yang dilaporkan sebagai dugaan penodaan agama sebetulnya menunjukkan secara nyata hambatan terbesar atas kebebasan untuk tidak percaya dan menyatakan ketakpercayaan di ruang publik Indonesia.
Ironis bahwa kecuali pihak yang diduga adalah figur publik seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) baru-baru ini, misalnya, atau kelompok-kelompok minoritas keyakinan favorit, upaya advokasi atas individu-individu yang dipersoalkan atas dugaan penodaan agama sangat minim. Padahal, di sinilah sebetulnya terbuka ruang yang sangat besar bagi pelanggaran HAM individu-individu ateis, mengingat pandangan kritis mereka terhadap sakralitas agama dalam hampir seluruh dimensinya.
Halaman selanjutnya >>>
- Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi - 28 Februari 2023
- Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar - 23 Februari 2023
- Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal - 22 Februari 2023