Sanksi Sosial, Bukan Hukuman Tambahan

Sanksi Sosial, Bukan Hukuman Tambahan
©Nastroy

Nalar Politik – Direktur INDEKS Nanang Sunandar memberi penjelasan terkait sanksi sosial kepada mantan narapidana. Melalui keterangannya di media sosial, sanksi tersebut layak dilayangkan selama tidak berisi upaya memengaruhi lembaga negara untuk memberikan hukuman tambahan bagi yang bersangkutan.

“Sah-sah saja jika masyarakat memberikan sanksi sosial secara moral kepada mantan terpidana, orang yang pernah berbuat kriminal dan telah menerima sanksi hukum atas perbuatan kriminalnya. Yang bermasalah adalah ketika sanksi sosial itu diarahkan kepada upaya untuk memengaruhi lembaga negara untuk memberikan hukuman tambahan yang tak pernah dinyatakan dalam vonis hakim,” tulis Nanang (9/11).

Dan yang terparah, menurut peneliti beraliran libertarian ini, adalah jika kemudian lembaga negara tersebut terpengaruh dan tunduk pada kemauan massa, hingga secara sadar mengeluarkan keputusan politik populis untuk menambah hukuman kepada mantan terpidana yang telah menjalani hukuman atas perbuatan kriminalnya.

Ketika lembaga negara mengambil keputusan politik untuk memberikan sanksi tambahan di luar vonis pengadilan yang telah dijalani terpidana karena sekelompok orang yang tidak puas atas vonis mendesaknya, tegas Nanang, saat itulah hukum dan peradilan kehilangan kepastian.

“Bayangkan Anda pernah ditangkap karena menggunakan narkoba. Misalnya, Anda sudah menjalani hukuman sesuai vonis, lalu tiba-tiba penegak hukum membuat edaran kepada institusi-institusi swasta agar tidak pernah menerima Anda bekerja karena Anda pernah dipidana.”

Terkait kepastian hukum, Nanang turut menjelaskan bagaimana logika hukum akan kehilangan kepastiannya ketika retorika memihak korban “coba kalau Anda/keluarga Anda yang…” dijadikan sebagai acuan untuk menambah sanksi hukum di luar keputusan pengadilan yang telah dijalani pelaku tindak pidana.

Retorika, menurutnya, dibangun di atas dan menyasar emosi orang per orang yang subjektif sifatnya. Ketika retorika digunakan sebagai argumen untuk menambah sanksi di luar vonis pengadilan, ia dapat berlaku nyaris bagi tindak pidana apa saja, tergantung tindak pidana apa yang paling tidak disukai oleh Sang Retoris—apa pun alasan ketidaksukaannya.

“Yang paling problem itu model mob justice. Ketika sudah ada vonis di pengadilan berkekuatan hukum tetap, diputuskan berdasarkan UU, sudah dijalani oleh pelaku tindak pidana sesuai ketentuan, tapi di belakang massa melakukan mob justice agar pelaku yang sudah menjalani sanksi hukum itu diberikan sanksi tambahan. Rusak kepastian hukum kalau begini caranya.”

Baca juga: