Satu Gurauan Politik dan Suguhan Metafora Bakal Terjadi di 2024

Tetanggaku dan mungkin juga tetangga Anda ada yang berprofesi tukang bakso. Jualan di samping toko campuran, di sudut kanan pagar tetangga, dan di seberang jalan poros. Ada tukang bakso yang menjual dengan jarak sekitar dua ratus meter dari rumah. Semuanya terasa enak. Mau coba?

Saban hari, mereka menjual bakso bukan hanya sajian menu dinikmati pelanggan. Rasanya maknyus! Tetapi juga, mereka menikmati kehidupan di area jualan. Sebagai simfoni kehidupan, laris atau tidak itu hal biasa.

Menyangkut tajir melintir, ia jauh dari mimpi itu di siang bolong. Apalagi, bukan satu dari 10 weton dalam artikel diprediksi bakal kaya raya di kampungnya menurut primbon Jawa.

Mereka sudah mensyukuri apa adanya. Meski tidak jarang dari mereka yang meningkat taraf hidupnya, berhasil mengembangkan usahanya termasuk tukang bakso di negeri rantau. Sambil melayani pelanggannya, si tukang bakso mengulum senyum. Pelanggan merasa kepincut kembali jika dalam dua pekan tidak mampir mencicipi hidangan bakso di warung mereka.

Demi menghormati tukang bakso, kami lebih memilih kata simfoni ketimbang kata balada. Simfoni kehidupan simbolik yang digunakan tanpa melupakan kata-kata gurauan politik menjadi sebuah permainan bebas tanda dari bahasa gurauan politik dari bu Megawati, nomor wahid PDI Perjuangan. Kehidupan simbolik berarti tukang bakso dan tanda berarti elite politik bu Mega.

Pernah terjadi, di atas kendaraan kami melihat tukang bakso gerobak lagi mangkal dalam area sebuah tempat. Di bagian bilik gerobaknya yang terbuat dari kaca terjulur kata-kata “bakso goyang lidah.” Cuilan ini bukanlah untuk membayangkan ‘tulisan-suara’ politik bu Mega.

Bahagianya tukang bakso gerobak karena laris manis jualannya. Kami pun mengurungkan niat untuk membeli bakso gegara keburu habis terjual.

Salah satu bahasa politik dari bu Mega adalah frasa tukang bakso yang disalahpahami apa maksudnya. Terlepas apa ia sekadar “keseleo lidah”, gurauan, simbol atau majas. Yang jelas, sebutan tukang bakso ada maksudnya. Ia masih teka-teki. Yang tahu persis, bu Mega sendiri.

Di era 90-an, lagu cilik yang berjudul Abang Tukang Bakso mengingatkan kita pada era kejayaannya. Ia bukan hanya lagu hits di eranya, tetapi juga mengantarkan kita pada peristiwa politik menjelang Pemilu 2024.

Yang pertama, lagu tersebut mengungkap kegembiraan. Lagu tidak terbersik sentilan atau ejekan terhadap pihak lain. Para penjual bakso tidak berkomentar, sensi atau merasa tersinggung.

Kedua, tukang bakso bukan sebuah tembang lagu, melainkan kata polos, yang dimainkan dalam dunia lain. Karena kata sensi, lontarannya dari bu Mega membuat pihak lain menanggapi, sensi hingga tidak menerimanya lantaran ungkapannya dianggap meremehkan jenis pekerjaan.

Ketiga, melalui tangan terampil tukang bakso, menunya mengundang selera. Jenis selera seperti dari rasa pedas dan rasa tambah lagi. Lontong, telur, dan pelengkap lain menambah selera. Bakso khas yang menciptakan selera. Ia seakan-akan berkata, “Lupakan yang lain!”

Keempat, tatkala sering dibicarakan orang, bahwa ada bakso yang enak rasanya. Dari mulut ke mulut akan menyebar. Calon pelanggan bisa penasaran soal apa rasanya bakso yang diceritakan oleh teman, tetangga, penumpang bus angkutan umum, pembeli di pasar, di mall, dan sebagainya.

Majas “bakso goyang lidah” berhadapan dengan “goyangan” politik hasil rekayasa membuat tanda ekspresi bagi pihak lain. Goyang, mas! Betulkah? Sepanjang hal itu menyenangkan, maka kendalikanlah diri Anda, kita semua!

Apa tanda ekspresinya? Sebagian pembaca atau warganet dan tukang bakso mengelus dada atas lontaran kata-kata dari bu Mega. Cepat kiranya melupakan atau mengacuhkan saja dari elite politik dan gurauannya lebih penting daripada membalasnya.

Apa jadinya jika elite politik juga ditentang bernada candaan dari tukang bakso. Dalam unggahan video melalui akun instagram @rumpi_gosip menunjukkan pembalasan spontan dari tukang bakso terhadap guyonan bu Mega. “Hah? Bu, belum tentu aku juga mau punya mertua macam ibu,” ujarnya.

Halaman selanjutnya >>>
Ermansyah R. Hindi