
Di luar, malam makin larut. Jalanan tampak sepi pengendara, yang tersisa hanya penjaja nasi goreng di seberang jalan. Akhirnya tugas berhasil dirampungkan. Sudah saatnya bagiku, Hana, dan Pak Kamto menutup malam ini dengan bermimpi di tempat tidur masing-masing.
Demi mengingat komitmen yang baru dikemukakan oleh Hana, aku merasa tidak salah juga mengutarakan keinginanku. Pak Kamto yang menyadari sikapku memberi isyarat untuk menunggu waktu yang tepat dan aku menyetujuinya. Pak Kamto menutup tokonya dari dalam, sebab kamarnya berada di belakang. Hana pulang mengendarai mobilnya sendiri, dan aku pulang diantar angkot.
Enam bulan sejak pengakuan malam itu, hubunganku dan Hana pun kian membaik. Kami terbilang sering bertemu, di ruang kerja, di kantin, bahkan di tempat-tempat baru yang kami sepakati.
Jika tidak sibuk, beberapa kali masih kusempatkan ke toko Pak Kamto demi mendengar nasihatnya. Ada perasaan sejuk saat ia memberi wejangan bagaimana membangun keluarga yang baik.
Entah yang kesekian kali aku mengujungi Pak Kamto di tokonya, ketika itu ia menyarankan sudah waktunya menyatakan keinginankan kepada Hana. Aku mengangguk dan pulang dalam perasaan bahagia. Ketika kutanya konsepnya seperti apa, Pak Kamto malah menyerahkan seutuhnya padaku.
***
Ombak lagi-lagi menghempas. Menampar karang-karang keras. Cahaya purnama yang menggantung di langit benderang menyinari permukaan bumi.
“Aku sanggup,” ungkapku menerima tantangannya.
“Aku ingatkan,” kata Hana seraya menatapku. Ia mencari-cari keseriusan atas jawabanku. “Jangan berusaha menyanggupi sesuatu yang tidak kau yakini,” tambahnya. Barangkali ia sedang mengetes seberapa besar keinginanku untuk menikah dengannya.
“Dengar, Hana! Aku tak pernah bermain-main dengan kata-kataku. Aku yakin kau mengerti, selama ini aku tak menjalin hubungan apa pun dengan perempuan lain. Sepantasnya bagi laki-laki berkomitmen, sebab perempuan yang akan menjadi istrinya juga akan menjadi pendamping hidupnya dan juga ibu bagi anak-anaknya. Mana mau aku bermain-main dengan hal serius seperti itu? Itu bukan permainan. Selain ada hati, juga ada hubungan antarkeluarga yang akan hancur jika terjadi keretakan sebab rapuhnya keseriusan.”
“Kau sekali lagi benar.”
“Terus, apa aku layak menjadi suamimu?”
Aku tidak bermaksud mendesaknya. Itu kulakukan mengingat malam yang kian memuncak. Mengingat pemandangan laki-laki dan perempuan berduaan bukanlah suatu hal yang dimaklumi dalam keluargaku. Tetapi Hana terus diam. Ia mengalihkan pandangannya.
“Aku bingung……….” Itu membuat nyaliku menciut.
“Bingung kenapa?” Desahku tak karuan.
“Aku tak percaya kenapa Tuhan begitu baik mengirimkan sayap terbaiknya untuk menemani masa depanku. Sungguh, kurasa ini karunia terbesar yang ditawarkannya. Dan tentu aku tidak mau menyia-nyiakannya.”
Sepulang dari pantai, kami menghubungi keluarga masing-masing untuk mengutarakan niat baik dan mempersiapkan segala keperluan. Tidak sulit untuk memperoleh persetujuan, sebab sudah saling mengenal.
Resepsi diadakan sederhana saja. Yang hadir hanya keluarga dan teman kantor. Pak Kamto turut diundang karena ia sudah kami anggap sebagai bagian dari keluarga sendiri.
Di akhir acara, Pak Kamto mendekati kami berdua dan membisikkan sesuatu; “Jangan merusak hubungan karena hal-hal sepele. Berusahalah saling memahami. Ingat! Kalian berasal dua dunia yang berbeda.”
- Pemberhentian Terakhir - 24 Juli 2019
- Bukan Seorang Budak - 23 Juli 2019
- Sebuah Cerita tentang Kita #3 - 21 Juli 2019