
Selama ini, aku pernah beberapa kali masuk ke dalam goa. Goa-goa yang aku masuki adalah goa yang sudah terkenal, sekaligus menjadi objek wisata yang dikelola oleh masyarakat setempat. Sehingga, ketika aku masuk ke dalamnya sudah bersama pemandu atau penjaganya. Sebut saja goa Surowono yang terletak di desa Canggu, kecamatan Badas, kabupaten Kediri, Jawa Timur, aku ke sana berwisata bersama tutor dan teman-teman kursusku ketika berada di kampung Inggris, Pare.
Aku juga pernah ke goa Maharani yang sangat cantik. Goa ini terletak di jalan Paciran, kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Aku ke sini karena ajakan temanku yang merupakan putri asli Lamongan yang ayahnya seorang pendiri salah satu pondok pesantren yang cukup terkenal di sana. Kemudian, aku juga pernah ke goa Mampu yang terkenal sebagai goa patung. Goa yang terletak di desa Cabbeng, kecamatan Duaboccoe, kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini kudatangi bersama ibu, dan kedua adikku ketika dulu bertugas sebagai Pendamping Desa (PD) di kecamatan Libureng, Bone.
Setiap goa yang kumasuki memiliki keunikannya dan kekhasannya masing-masing. Seingatku, di kawasan goa Surowono yang katanya bagian dari suatu kerajaan. Aku memasuki empat goa (pintu). Pintu pertama, dapat aku lewati dengan mudah. Aku masuk dengan santai dengan posisi berdiri dan perjalanan ke pintu keluarnya mungkin hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Pada pintu kedua, aku harus beberapa kali membungkuk dan perjalanan didalamnya hanya lima sampai sepuluh menit.
Pada pintu ketiga, aku harus duduk dan untuk mencapai pintu keluarnya, tidak terlalu lama juga seperti pintu pertama dan kedua. Dan yang paling unik adalah pintu terakhirnya, aku harus merunduk, dan berbaring diatas air karena melewati arus sungai.
Walau perjalanan dalam goa ini cukup singkat hanya lima menit tapi aku cukup panik juga karena teman perempuanku yang tepat berada di depanku merasa sesak nafas ketika dalam goa ini. Teman laki-laki yang lain pun langsung menendangnya dengan sengaja agar perempuan tadi segera mencapai pintu keluar untuk dapat bernafas kembali dengan lega.
Di goa Maharani, aku serasa memasuki sebuah istana warna-warni seingatku banyak warna pink dan putih. Seperti namanya Maharani, goa ini sangat indah banyak ornamen stalaktit dan stalagmit. Menurut ceritanya, goa ini dijaga oleh Putri Maharani. Beliau berpesan kepada seseorang, goa ini bisa dibuka untuk umum namun harus dijaga dan dipelihara.
Kemudian, ketika aku ke goa Mampu ada makam raja di dalam dan banyak sekali batu atau patung yang berbentuk sesuatu. Misalnya, perempuan, kelambu, dan lain sebagainya. Mitosnya, perempuan tersebut putri raja yang dikutuk menjadi patung.
Dikisahkan putri yang sedang menenun dan menjatuhkan alat tenunnya ke tanah. Namun, sang putri malas mengambil alat tenunnya. Sehingga, sang putri pun berkata, “Jika yang mengambilkan alat tenunku adalah seorang perempuan, ia akan kujadikan sebagai saudara. Jika ia seorang laki-laki akan kujadikan sebagai suami.” Seketika yang datang mengambilkan alat tenun itu adalah seekor anjing liar (seperti cerita Dayang Sumbi tapi Plot Twist-nya beda).
Namun, putri mengingkari janjinya karena baginya tidak mungkin menikah dengan seekor anjing. Ternyata, anjing itu sakti dan mengutuk kerajaan itu sehingga semua penduduknya menjadi batu itulah yang menjadi goa Mampu.
Namun, goa yang terakhir kumasuki minggu ini adalah goa yang sesungguhnya. Kukatakan goa yang sesungguhnya karena aku ke goa ini serasa uji nyali karena goa ini bukanlah salah satu destinasi wisata dan jarang sekali orang yang masuk kedalamnya. Aku pun masuk ke goa ini bukan hanya sekedar masuk saja, mungkin ini lebih tepat dikatakan dengan menyusuri goa “untuk mencari sesuatu yang spiritual”.
Kukatakan menyusuri karena aku dan sahabatku butuh pemandu yang biasa masuk ke goa dan kami butuh peralatan seperti senter kepala (head lamp), senter tangan, sepatu laras, dan beberapa persiapan lainnya.
Awalnya, aku mendengar goa ini dari beberapa orang yang mengatakan goa ini merupakan ruang bersemedi atau berkhalwat orang selamat (tosalama) Imam Lapeo, seorang yang dipercaya sebagai wali Allah di Mandar, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Beliau pernah berada didalam goa di dekat laut tersebut. Namun, bukan hanya goa ini tempat Imam Lapeo berkhalwat tetapi ada juga dalam bentuk pohon besar, dan ruang – ruang yang lain.
Dulu, ketika selesai kuliah, aku sempat bertanya pada keluarga di mana goa tersebut. Namun, banyak yang tidak tahu keberadaannya dan juga hanya mendengar cerita. Aku pun mencari tahu, dan berencana masuk ke dalam goa bersama beberapa kenalan dan anak-anak muda yang mengetahui lokasinya dan mereka juga suka berpetualang.
Tapi, perjalanan itu kandas, karena aku ditakut-takuti oleh keluarga yang lain dengan sesuatu yang misterius di goa yang bukan saja dihuni oleh mahluk halus semacam jin, tapi juga hewan buas seperti ular. Sehingga, aku pun jadi patah semangat.
Kini, ketika aku kembali bertemu sahabatku, Danar yang suka berpetualang yang juga sedang belajar mencari jejak-jejak kewalian, ia dengan semangat mengajakku mencari keberadaan goa itu untuk masuk kedalamnya. Ia kemudian mencari tahu dengan pergi ke lokasi yang dimaksud orang-orang. Lalu, setelah ia mendapatkan informasinya dari orang yang bisa mengantarnya menuju goa yang dimaksud, karena di sana ada beberapa goa.
Dialah Kak Ipin, penjaga daerah tersebut. Ia meminta kami untuk membawa orang lain dan peralatan. Hari itu, ketika aku pertama kali ke sana hanya cek lokasi. Aku juga masuk beberapa meter di pintu goa. Perasaanku bercampur aduk, aku awalnya sangat bersemangat menjadi takut, nyaliku ciut, apalagi melihat koloni kelelawar dan ada kulit ular kering karena ganti kulit.
Halaman selanjutnya >>>
- Konstruksi Kewalian Imam Lapeo di Masyarakat Mandar - 3 November 2023
- Kakek Bantal, Aku Datang! - 31 Oktober 2023
- Kita ke Mana? Ke Wali Tosora-lah! - 19 Oktober 2023