Sejarah Pahit Di Balik Hubungan Erat Indonesia Tiongkok

Dwi Septiana Alhinduan

Hubungan Indonesia dengan Tiongkok telah menjadi tema yang kompleks dan kaya akan sejarah. Sepanjang perjalanan waktu, interaksi antara kedua negara ini tidak lepas dari nuansa pahit yang melatarbelakangi persahabatan, perdagangan, hingga konflik. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi jalur sejarah yang berbelit ini, menyoroti berbagai momen yang telah mendefinisikan hubungan erat antara Indonesia dan Tiongkok.

Untuk memahami hubungan ini, kita perlu menyusuri jejak sejarah yang dimulai jauh sebelum kedua bangsa ini merdeka. Tiongkok, sebagai salah satu peradaban tertua di dunia, telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan di Asia Tenggara. Dalam konteks Indonesia, hubungan ini bermula dengan kedatangan para pedagang Tionghoa yang menjalin jaringan perdagangan yang menguntungkan. Namun, kedatangan mereka tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Ada ketegangan yang sering kali muncul akibat perbedaan budaya dan pandangan. Dalam banyak hal, interaksi awal ini menciptakan fondasi bagi hubungan yang bersifat ambivalen.

Selanjutnya, kita mencatat masa penjajahan Belanda yang turut mempengaruhi dinamika hubungan ini. Pada abad ke-19, kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Hindia Belanda menimbulkan rasa ketidakpuasan dan ketegangan. Resentimen ini berakar dari perlakuan tidak adil di mana komunitas Tionghoa sering kali dipandang sebagai rival oleh masyarakat lokal. Akibatnya, pengasingan dan marginalisasi menjadi bagian dari sejarah yang pahit. Ketegangan ini berlanjut hingga masa-masa politik kolonial, di mana situasi semakin rumit dengan diperkenalkannya sistem segregasi.

Momen puncak dari dilema ini dapat kita lihat setelah Indonesia merdeka. Pada tahun 1965, terjadi tragedi kemanusiaan yang menewaskan banyak orang yang diidentifikasi sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam gejolak ini, warga Tionghoa menjadi sasaran scapegoating, di mana mereka dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas negara. Hal ini turut memperburuk citra komunitas Tionghoa di Indonesia, yang kemudian memasuki fase sulit di mana mereka harus menghadapi diskriminasi sistemik. Kebijakan yang diambil oleh negara selepas peristiwa tersebut menciptakan jarak yang lebih besar antara masyarakat Indonesia dan Tionghoa.

Perubahan signifikan terjadi dengan reformasi tahun 1998 yang membawa angin segar bagi hubungan Indonesia dan Tiongkok. Dihapusnya beberapa kebijakan diskriminatif melahirkan harapan baru. Kedua negara mulai menjalin kerja sama yang lebih erat di berbagai bidang, seperti ekonomi, diplomasi, hingga budaya. Namun, meski terdapat kerja sama yang meningkat, bayang-bayang sejarah kelam tetap menghantui. Ketegangan tetap ada meskipun kedua negara berupaya menyelesaikannya melalui dialog dan diplomasi.

Saat ini, Indonesia dan Tiongkok terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur yang ambisius. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah Partisipasi Tiongkok dalam proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia, termasuk pelabuhan, jalan raya, dan kereta api. Hal ini tidak lepas dari peran Tiongkok sebagai salah satu kekuatan ekonomi global yang kini memasuki kawasan Asia Tenggara. Namun, ini juga menimbulkan pertanyaan serius terkait kedaulatan dan ketergantungan ekonomi. Ada kekhawatiran bahwa pergeseran menuju hubungan ekonomi yang lebih erat dapat menimbulkan kurangnya ruang gerak bagi Indonesia dalam menentukan kebijakan luar negeri.

Bukan hanya aspek ekonomi, tetapi juga budaya yang turut memainkan peran penting dalam hubungan ini. Budaya Tionghoa telah menjadi bagian dari mosaik budaya Indonesia, meski sering kali ditinggalkan oleh narasi kebangsaan. Munculnya kembali perayaan tahun baru Imlek sebagai hari libur resmi pada tahun 2002 merupakan langkah penting dalam pengakuan terhadap keberagaman. Hal ini menunjukkan adanya usaha untuk merekonsiliasi masa lalu yang kelam dengan upaya membangun masa depan yang lebih inklusif.

Tidak dapat dipungkiri, hubungan Indonesia dan Tiongkok merupakan hubungan yang berada di persimpangan antara kerja sama dan ketegangan. Residual pahit dari sejarah terus berlanjut, menciptakan tantangan yang rumit dalam membangun kepercayaan dan saling menghormati. Ketika Indonesia bersiap memasuki era moden yang dipenuhi dengan tantangan global, penting bagi kedua negara untuk belajar dari sejarah, mengatasi prasangka, dan berkolaborasi menuju masa depan yang lebih cerah.

Dengan demikian, meskipun sejarah pahit sering menghadirkan bayang-bayang di atas hubungan Indonesia-Tiongkok, dua bangsa ini memiliki potensi yang sangat besar untuk maju bersama. Perjalanan menuju rekonsiliasi dan kerja sama yang lebih baik memerlukan komitmen dari kedua belah pihak untuk saling memahami dan mengapresiasi satu sama lain. Ke depan, akan menjadi tanggung jawab bersama untuk terus mengupayakan hubungan yang lebih harmonis, demi kestabilan dan kemakmuran di kawasan Asia Tenggara.

Related Post

Leave a Comment