Sekali Berziarah, Dua Tiga Makam Terlampaui

Sekali Berziarah, Dua Tiga Makam Terlampaui
©Dok. Pribadi

Jika ada peribahasa yang mengatakan, “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”, maka perjalanan berziarah aku dan keluarga kemarin setali tiga uang dengan peribahasa tersebut.

Kami seharian berziarah di makam-makam. Kurang lebih ada sekitar tujuh lokasi makam yang kami ziarahi. Mulai dari makam di daerah Batulaya, Napo, Samasundu, Tangnga-tangnga, Buttu Ciping, Kandemeng, sampai Lamasariang yang semuanya terletak di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Awalnya kami menyiarahi makam “orang selamat” atau juru selamat yang bagi kami suku Mandar menyebutnya dengan kata “to salama”; makam seorang yang dipercaya sebagai salah satu wali di Mandar dengan gelar “to salama Batulaya” (juru selamat yang berada di daerah Batulaya).

Ketika kami bertanya pada juru kunci makam (kuncen) siapa nama asli juru selamat ini, ia tidak mengetahui secara pasti. Namun, ada cerita-cerita tentang karamah beliau yang kami juga dapatkan dari bapak kuncen dan dari keluarga kami sendiri yang juga menceritakan hal yang sama.

Kabarnya, roh beliau meninggalkan makamnya di daerah Batulaya dengan pergi ke pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur. Hal ini ditandai dengan berongganya makam dan dikabarkan beliau juga pernah hidup di pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur.

Di areal makam ini, terdapat banyak makam tokoh-tokoh terkenal di Mandar, seperti Puang Dzoro yang dikisahkan sebagai orang yang bijaksana, menikah dengan bidadari. Ada makam leluhur yang hebat-hebat dengan gelar seperti berikut ini; orang yang jatuh dari bulan, to ra’da di bulang. Ada juga makam orang yang dijatuhi bulan, to na radai bulang.

Ada makam orang yang dipotong-potong, to ni tatta  yang berarti kebal. Ada khalifah to salama Batulaya, yang bergelar orang yang rukuk di salatnya (rajin salat), to rukuk di sambayanna. Sampai makam-makam tuan-tuan keluarga bangsawan, pappuangang, salah satunya bergelar si jubah hitam.

Kemudian kami melanjutkan ke lokasi makam yang kedua, makam raja pertama Balanipa, yang bergelar Todilaling. Ketika kami menuju ke makam beliau, kami harus melewati tangga. Tangga itu dikenal dengan nama seribu tangga walaupun jumlahnya tidak sampai seribu.

Baca juga:

Untungnya tangga itu sudah dimodifikasi karena sebelumnya hanya tangga yang disemen kemudian sekarang diberi pegangan besi dan diwarnai dengan warna merah yang sangat cantik sehingga sangat kontras dengan pemandangan alam yang hijau menghampar.

Makam I Manyambungi atau yang lebih dikenal dengan gelar Todilaling berada di atas perbukitan. Makam asli beliau terletak di dalam pohon beringin yang dikabarkan berusia ratusan tahun.

Dikatakan oleh Ridwan Alimuddin (kak Iwan), seorang pegiat literasi melalui komentarnya di Facebook saat aku membagikan foto-foto ziarah ini, bahwa makam asli Todilaling berada dalam pohon, bukan pada batu penanda yang merupakan replika makam yang sering dijadikan tempat menyiramkan air, memberikan minyak, atau menaruh daun pandan.

Sebelum berziarah ke sini, kakak perempuan kami menceritakan bahwa ia pernah berziarah ke sini. Ketika ia asyik berbaring di lantai tegel areal makam, angin sepoi-sepoi dari pohon beringin membuatnya sempat tertidur. Saat itu ia bermimpi bertemu dengan perempuan cantik berbaju adat Mandar yang menyapanya dan menyuruhnya ketika datang ke sana untuk menggunakan sarung Mandar, lipa sabe, yang merupakan sarung khas tenunan dari sutra.

Akhirnya, kami ke sana dengan memakai sarung Mandar berwarna hitam; dan sebelum ke makam, kami telah melakukan tradisi membaca doa untuk arwah-arwah leluhur di rumah dengan menyediakan pisang, nasi putih, nasi lemang, ayam kari, telur goreng, telur rebus, dan lain sebagainya.

Kami dan kebanyakan dari orang Mandar lainnya mengetahui cerita jika raja Todilaling dimakamkan bersama empat puluh (40) orang dayang-dayangnya yang terbagi dalam dua puluh (20) orang laki-laki pemain musik, penabuh gendang, dan dua puluh (20) orang perempuan yang semuanya berprofesi sebagai penari ikut dimasukkan ke dalam makamnya yang mengiringi kematiannya dengan membunyikan alat musik dan menari. Sehingga, mereka pun meninggal satu per satu di dalam peristirahatan raja.

Dari makam Todilaling, kami ke lokasi makam yang ketiga, Puang Langngarang, yang berlokasi di Desa Samasundu, Kecamatan Limboro, Kabupaten Polewali Mandar yang dikabarkan punya tujuh (7) lokasi makam yang berbeda.

Dalam buku “Sosialisasi Siri’ Etika & Estetika di Mandar” yang ditulis oleh H. Ahmad Asdy, tertulis bahwa di Balanipa datang pula seorang penyebar Islam yang bergelar Tuan Langngarang yang juga bergelar Tuan di Labuang Pandang yang melanjutkan penyebaran Islam di kerajaan Balanipa yang konon kabarnya bahwa Tuan Langngarang adalah keturunan Sunan Bonang (wali songo).

Halaman selanjutnya >>>
Zuhriah