Sekali Lagi: Revolusi Belum Selesai

Sekali Lagi: Revolusi Belum Selesai
©Estetikapers

Menjadi sangat akut ketika memasuki revolusi industri 4.0 atau era digitalisasi.

Seumpama pelukis yang menyatakan diri dalam karyanya, begitu pula dengan mahasiswa. Perbedaannya: jika seorang pelukis mewujudkan diri melalui lukisan-lukisannya di atas kanvas, maka seorang mahasiswa menyatakan diri dengan aksi perubahan dalam panggung sejarah.

Kepeloporan mahasiswa dalam kancah politik nasional menjadi ritus penting dalam sejarah perkembangan bangsa. Dari pergolakan melawan kolonialisme Belanda, Jepang, Inggris, yang memuncak pada 17 Agustus 1945, sampai pada penumbangan otoritarianisme rezim Orde Baru. Mahasiswa tetap menjadi aktor utama tanpa menafikan sokongan rakyat dari belakang.

Tidak keliru jikalau Herbert Marcuse memosisikan mahasiswa sebagai tonggak revolusi, juga Antonio Gramsci menyebutnya sebagai intelektual organik atau pemikir yang berpihak, pembebas massa rakyat. Malah lebih ngeri lagi jikalau menggunakan sebutan “Rausyan Fikr” ala Ali Syari’ati, yang berarti pemikir tercerahkan. Seperti itulah kemewahan seorang mahasiswa.

Namun ironis, ketika memasuki reformasi, mahasiswa jusru kehilangan marwahnya sebagai tonggak perubahan setelah berhasil menumbangkan Orde Baru pada 21 Mei 1998. Degradasi di dalam tubuh mahasiswa menjadi sangat jelas ketika wacana intelektual mulai sepi di pelataran kampus.

Aksi advokasi kasus-kasus kerakyatan mereka anggap kuno. Hanya berhuru-hara dalam selebrasi isu politik elektoral seiring berjubelnya mitos agent of change. Bahkan mungkin memperlanggeng penindasan dalam wujud arogansi senioritas pada momen Penerimaan Mahasiswa Baru.

Bila kita coba membandingkan keberanian seorang Minke yang Pramoedya Ananta Toer tulis dalam Tetralogi Buru melawan Pemerintah Hindia-Belanda dengan ketajaman pena dan organisasi. Hingga ia rela terasingkan berkali-kali dan mati dalam kondisi depresi oleh siksaan kolonial Belanda.

Atau Tan Malaka yang kita kenal sebagai Bapak Republik, hidup dalam pengasingan, jadi buruan agen Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet, Pemerintah Hindia-Belanda. Ia lari dari negara satu ke negara lain hingga akhirnya meregang nyawa di negeri sendiri pada 21 Februari 1949 oleh timah panas yang pribumi tembakkan pasca-kemerdekaan.

Mereka berdua adalah contoh dari ratusan bahkan ribuan barisan martir perubahan. Sedangkan mahasiswa kini apa? Jika terus berdiam diri, tidak salah kalau kita mengatakan bahwa mahasiswa adalah pecundang yang beruntung mengenyam pendidikan.

Baca juga:

Mestikah kiranya kita urai satu per satu mengapa keberanian dan keberpihakan mahasiswa teramat kita butuhkan di bangsa ini? Saya rasa, tanpa menjadi mahasiswa pun, ketimpangan sosial adalah fakta yang tidak terbantahkan. Dari pengangguran yang dominan lulusan SMK sederajat yang berjumlah 136,8 juta (lihat data Kemenakertrans akhir November 2019) sebagai buntut dari swastanisasi dan privatisasi pendidikan.

Penguasaan aset nasional oleh segilintir elite dan asing, seperti data yang Credit Suisse himpun bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 45,4% kekayaan nasional. Sementara 10% orang terkaya menguasai 74,8% kekayaan nasional.

Penentuan upah minimum yang tidak sesuai kebutuhan hidup layak (KHL) yang melahirkan upah murah. Iuran BPJS kian tahun makin bertambah memberatkan masyarakat untuk mengakses kesehatan. Beban utang dari rezim sejak Konferensi Meja Bundar 1949 sampai di era pemerintahan 2019. Jikalau dikalkulasi, 13-14 juta/penduduk dan masih banyak lagi persoalan yang tidak bisa kita sebutkan satu per satu mengingat begitu kompleksnya problem yang kita hadapi.

Lantas kepada siapa kemerdekaan tertuju? Bukankah kita punya UUD 1945 yang sudah mengatur jaminan kesehatan yang ditanggung oleh negara sampai soal ekonomi yang harus dikelola bersama berdasarkan asas kekeluargaan?

Jikalau dirunut, masalah di atas adalah buntut proyek liberalisasi yang diprakarsai korporat-korporat internasional yang berpaham kapitalisme melalui lembaga-lembaga internasional. Entah itu bermodus perdamaian dunia melalui PBB, perdagangan dunia melalui WTO (World Trade Organization) atau International Monetary Fund (IMF).

Lembaga-lembaga ini sengaja dibentuk untuk memperlemah kedaulatan negara demi kepentingan free trade market (pasar bebas), modus investasi hingga utang-mengutang yang melahirkan defendensi (ketergantungan). Sampai pada penghancuran ekonomi negara-negara berkembang oleh negara-negara maju (lihat; John Perkins, pengakuan bandit ekonomi ‘Confessions of an Economic Hit Man’).

Lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang membenarkan pengelolaan sumber daya alam oleh swasta asing hingga 40 tahun. Swastanisasi dan privatisasi pendidikan melalui UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Semuanya adalah sepenggal perundang-undangan yang bertentangan dengan semangat kemerdekaan.

Halaman selanjutnya >>>

Syam