“Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka. Telah wafat Buya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif pada Jumat, 27 Mei 2022, pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah, Gamping, Yogyakarta. Semoga beliau husnul khatimah, diterima amal ibadahnya, diampuni kesalahannya, dilapangkan kuburnya, dan ditempatkan di Jannatun Na’im. Mohon dimaafkan kesalahan beliau dan doa dari semuanya. Pemakaman dan lain-lain informasinya menyusul. Haedar Nashir, PP Muhammadiyah.”
Begitu kalimat yang disebarkan melalui broadcast yang kudapatkan dari teman, Lasti, di grup WhatsApp (WA) “Antologi Cerpen Maarif”, ruang penulisan cerpen alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan (SKK-ASM 3) angkatan ketiga, 2019, Buya Ahmad Syafii Maarif (ASM).
Kami semua yang tergabung di grup internal itu sebagai anak-anak ideologis buya merasa kaget, sedih, dan sangat kehilangan. Apalagi aku dan beberapa teman-teman dari SKK ini berencana bertemu di Jogja dan ingin bersilaturahmi dengan buya karena ketika kami bersekolah di sini, SKK beberapa dari kami belum sempat bertatap muka langsung dengan buya.
Rasanya memang agak janggal sebagai anak ideologis buya namun belum pernah bertemu dengan beliau. Saat itu, Desember, 2019, pihak pengelola sekolah Maarif belum bisa mempertemukan kami di sekolah dengan buya, padahal aku sangat berharap bisa berguru langsung pada beliau.
Walaupun aku secara pribadi hanya mengenal buya secara selintas sebagai ketua PP Muhammadiyah karena aku pernah kuliah S1 di kampus Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Kemudian, aku pun pernah melihat buya melalui suatu foto di Facebook (FB) yang disharing oleh seorang teman yang melakukan perjumpaan dengan buya dalam rangka memberikan “wejangan” keberagaman kepada kaum muda.
Dilalah, seorang adik kelas di CRCS UGM almamaterku, Taufani yang akrab dipanggil dengan Opan, mengajakku mengikuti event “Sekolah Maarif” yang diselenggarakan oleh Maarif Institute yang intinya untuk mengajak kaum muda membumikan pesan-pesan keislaman dan kebangsaan Ahmad Syafii Maarif dalam konteks pemikiran Islam kontemporer. Opan telah menjadi peserta sekolah Maarif angkatan pertama.
Ketika aku mengikuti seleksi tahap kedua, aku belum dinyatakan lolos. Baru di tahap ketiga, aku berhasil menjadi peserta sekolah ini yang menjadi peserta perwakilan dari Sulawesi Barat.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi setiap peserta termasuk yang paling penting adalah mengumpulkan dua (2) tema tulisan, tema wajib dan tema pilihan. Tema wajibnya yaitu, Sikap Intelektual, Spritualitas, dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif dan tema pilihan yang kupilih saat itu adalah bertema gender, agama, dan kebudayaan. Tema tulisan wajibku berjudul “Sejatinya Buya Ahmad Syafii Maarif”, dan tema pilihanku berjudul “Stigma Perempuan Cantik sebagai Perwujudan Siluman, To Poppoang”.
Baca juga:
Ketika aku menulis tema wajib ini, aku mencari berbagai macam informasi tentang buya itu tersendiri, apalagi pemikiran-pemikiran beliau yang termaktub dalam berbagai jenis macam dan bentuk buku. Dan buku yang paling kusuka kubaca yang merupakan autobiografi beliau berjudul “Ahmad Syafii Maarif Memoar Seorang Anak Kampung.” Dari buku ini tergambarkan pribadi buya ASM yang memiliki karakter yang original, menjadi diri sendiri. Beliau menyebutnya autentik.
Akan tetapi, itulah aku dalam keadaan polos, dalam keadaan apa adanya. Aku memang tidak berbakat menjadi aktor, pandai bertanam tebu di bibir. Umpamanya, sebelum berkunjung ke rumah si kecil (istri beliau), aku pinjam pakaian, dan sepatu teman untuk menunjukkan bahwa aku orang berada agar kelihatan sedikit perlente bukanlah caraku, sekiranya di Padang aku punya teman. Jika itu aku lakukan, tentu aku adalah seorang pemain sandiwara yang suka berpura-pura demi gengsi, tetapi tidak autentik.
Keautentikan buya ASM juga tergambarkan jelas ketika beliau melakukan pembelaan terhadap Ahok yang dituduh menghina Alquran, yang menurut buya, Ahok tidak menghina Alquran, namun ada pihak yang menggunakan ayat-ayat Alquran sebagai alat politisasi. Beliau sebagai tokoh agama berani bersuara dan bersikap di tengah-tengah pihak agamawan yang ikut terbelah menjadi dua.
Buya ASM Mengirimiku Pesan
Di tahun 2020, aku pernah memberikan buku yang kutulis sendiri kepada buya tentang “Imam Lapeo, Wali dari Mandar, Sulawesi Barat”. Aku juga mengirimkan serta bersama buku yang berjudul Literasi Kewargaan, Kewargaan Kritis di Era Krisis Kewargaan, suatu buku antologi yang ditulis oleh seorang teman, Hartono Tasir Irwanto, dan aku ikut berkontribusi di dalamnya. Buku-buku itu aku kirimkan melalui pos kepada buya untuk memperkenalkan diriku kepada beliau.
Tak disangka, beberapa hari kemudian, aku mendapatkan sms dari nomor WA buya ASM langsung. Beliau berkata; “Terima kasih atas kiriman dua bukunya, semoga Zuhriah menjaga kesehatan di masa pandemi ini, Maarif.”
Aku takjub, seorang buya ASM benar-benar memiliki pemikiran yang terbuka, mengapresiasi buku yang aku kirimkan dan memberikan aku nasihat yang baik untuk menjaga kondisi di masa Covid-19. Aku makin bersemangat ke Yogyakarta, apalagi aku sudah janjian dengan teman-teman alumni SKK untuk meet-up, reuni SKK 3 di Jogja nanti.
Namun, waktu memang harus berlalu, manusia berencana, Tuhan menentukan. Kami belum sempat ke Yogyakarta dan berkunjung ke rumah buya. Semoga kami bisa berziarah di makam beliau nanti. Ada suatu yang pasti yang aku pegang dari buya ASM sampai hari ini bahwa, Hubungan satu nafas! Hubungan Islam, Keindonesian, dan Kemanusian harus ditempatkan dalam satu nafas.
Selamat jalan, buya. Terima kasih atas ilmumu untuk bangsa ini. Semoga pemikiranmu yang moderat, inklusif, pluralis, dan toleran menjadi prinsip sekaligus sebagai karakter kami.
Lapeo, 270522
- Sepenuh Hati Memenuhi Panggilan Berziarah - 19 September 2023
- Diri Sejati Kita Adalah Sesuatu yang Tak Terbatas - 16 September 2023
- Orang yang Terhijab dari Pada The Truth itu Sudah Pasti Terhijab dari Pada Agama - 6 September 2023