
Setiap individu manusia memiliki seperangkat hak individu yang melekat pada kediriannya sebagai manusia. Libertarian menyebutnya sebagai hak atas self-ownership. Aktivis HAM menyebutnya hak atas kebebasan sipil dan politik. Termasuk dalam hak-hak ini adalah kebebasan berpikir, berpendapat dan berhati nurani, kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat.
Kewajiban negara adalah menjamin terlindunginya semua hak individu tersebut tanpa membeda-bedakan pemegang hak berdasarkan ras, gender, abilitas fisik dan mental, etnis, agama. Libertarian menyebutnya equality under the law, aktivis HAM menyebutnya prinsip non-diskriminasi.
Hukum karenanya adalah instrumen penting dalam menjamin terlindunginya hak individu yang negara laksanakan sebagai pengemban tugasnya. Atau, dalam bahasa libertarian, tugas negara dengan supremasi hukum (rule of law) adalah menjamin kebebasan, bukan mengambilnya.
Masalah dalam kehidupan beragama di Indonesia—intoleransi, radikalisme, terorisme, dan berbagai reaksi terhadapnya yang tidak dapat tersangkal nyaris seluruhnya terkait dengan muslim dan pola-pola keislamannya—berpangkal pada ambiguitas hukum di hadapan hak-hak warga.
Ambiguitas ini adalah efek dari ketidakjelasan moral reasoning di balik suatu aturan hukum. Ini mengakibatkan bukan hanya banyaknya pasal karet dalam perundang-undangan, tetapi juga favoritisme dalam penegakan hukum.
Masalah pertama adalah ketika gagasan-gagasan keagamaan tidak bisa kita kritik karena kesakralannya terlindungi secara profan dengan pasal-pasal penodaan agama (dan belakangan juga dengan UU ITE). Bukan rahasia lagi bahwa implementasi aturan-aturan hukum ini bias Islam. Dan bahwa pihak yang paling sering memanfaatkan aturan-aturan hukum ini adalah muslim yang anti-dialektika dan gampang tersinggung oleh kritik.
Inilah bentuk favoritisme ganda dalam hukum, yang terjadi pada level teori dan praktik penegakannya.
Bukannya menghilangkan favoritisme hukum, pemerintah selama puluhan tahun dari presiden ke presiden justru memelihara aturan-aturan bias ini. Dengan memenjarakan para kritikus agama yang umat Islam laporkan atas dasar pasal-pasal ini, pemerintah bukan hanya tidak menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat, tetapi juga terlibat atas nama hukum dalam pelanggaran kebebasan berpendapat.
Baca juga:
Lebih jauh, dengan memenjarakan para kritikus agama, pemerintah turut membiarkan wacana-wacana intoleran dan radikal tumbuh berkembang tanpa lawan. Sehingga begitu memadati ruang publik dan akhirnya mendorong aksi-aksi terorisme.
Masalah kedua adalah ketika intoleransi, radikalisme, dan akhirnya terorisme menjadi sangat merepotkan dan melukakan. Pemerintah bukannya segera memperluas kebebasan berpendapat agar kritik atas radikalisme agama bisa leluasa kita ajukan sehingga lebih banyak orang bisa “terbuka” pikirannya melalui proses dialektika wacana yang berimbang, tetapi justru mengambil shortcut dengan pendekatan represi. Ini berpotensi melanggar lebih banyak lagi hak-hak sipil, terutama pada mereka yang memiliki “kedekatan simbolik” dengan aksi-aksi terorisme.
Saya sepakat dengan Ali A. Rizvi bahwa kita harus bisa membedakan antara (1) mengkritik Islam dan (2) kebigotan dalam mendemonisasi muslim. Aturan hukum kita harusnya berpijak pada kesadaran moral bahwa berpendapat secara kritis terhadap suatu agama adalah hak, sementara mendemonisasi pemeluknya adalah pelanggaran hak. Bukan sebaliknya, melarang orang berpendapat, tetapi mendemonisasi orang yang berpendapat kritis maupun mengeskpresikan simbol-simbol tertentu yang kaitannya dengan aksi terorisme masih harus kita buktikan di hadapan hukum.
Islam adalah seperangkat gagasan. Dari mana sumber gagasan-gagasan Islam berasal? Jawabannya bergantung pada posisi teologis/ateologis orang yang melihatnya. Misalnya, apakah ia adalah seorang muslim atau nonmuslim, atau seorang believer atau non-believer.
Sebagai seperangkat gagasan, Islam seharusnya bisa kita bahas secara terbuka—termasuk dikritisi. Bukan hanya oleh internal pemeluknya, tetapi oleh siapa saja yang berhubungan dan menerima dampak—baik positif maupun negatif—dari gagasan-gagasan Islam sebagaimana yang pemeluknya hayati.
Adapun muslim adalah sebutan untuk sekelompok manusia yang mengasosiasikan diri dengan Islam. Secara praktis, sebutan ini berlaku, baik untuk mereka yang berasosiasi atas alasan iman maupun atas alasan-alasan administrasi maupun kultural. Seperti setiap individu manusia, setiap muslim juga memiliki seperangkat hak individu yang terjamin secara konstitusional oleh undang undang HAM Indonesia.
Adalah perkembangan baik bahwa dari kalangan muslim sudah makin banyak yang mengakui secara terbuka bahwa pelaku terorisme sebagian besar adalah muslim. Dan bahwa para teroris muslim ini terinspirasi oleh unsur-unsur kekerasan dalam ajaran agama yang sudah seharusnya mereka tinggalkan.
Baca juga:
Ketimbang mencemooh mereka sebagai muslim hipokrit yang sebaiknya murtad, akan lebih bermanfaat jika kita semua, terutama dari barisan humanis sekuler, mendukung mereka menyebarluaskan narasi damai dalam Islam yang mereka yakini sebagai “Islam yang benar”. Dan, menghargai ekspresi-ekspresi simbolik keagamaan mereka dalam batasan-batasan hak mereka sebagai manusia beragama.
Tentu juga, demi keseimbangan wacana di ruang publik dalam meng-counter narasi intoleran dan radikal yang menginspirasi aksi-aksi terorisme, perlu kebesaran hati umat muslim progresif untuk turut berteriak lantang menuntut pencabutan pasal-pasal hukum yang membelenggu kritik atas gagasan-gagasan agama.
- Mob Justice Merusak Kepastian Hukum - 13 September 2021
- Kepemilikan Pribadi Atas Properti - 11 November 2020
- ‘Barang Publik’ di Masa Covid-19 - 27 Agustus 2020